Mengulik Jiwa Peradaban

Sontani dan Sunyi Bumi

Amat dingin udara terasa. Sambil membawa seikat bunga, kau berjalan menuju pekuburan kota; tempat dimakankan seorang pengarang dan penulis naskah drama. Saat berjalan ke sana, sambil tetap terpukau pada apa yang ditangkap mata dan telinga, kau teringat pada sebuah film yang kau saksikan ketika masih menjadi mahasiwa jurusan sastra;

Puisi Joni Hendri, S.S

Kata-kata jadi poster, pada pohon literasi Sekolah. Namun ujung jari kaku seketika, saat perayaan mulai tiba, kata-kata mulai liar. Berloncatan sepanjang gedung-gedung, meleleh bagai cat yang mulai dioleskan.
Kini kita masih di depan Laptop, mengetik keinginan hampa!

SUMPENA

Nalika dimatke, Bantar kaya wis nate weruh wewujudan kijing mau. Banjur dheweke mlaku nyedhak, kepengin nyatakake apa sejatine wewujudan jaran putih kang isa malih dadi kijing. Njegreg lir reca kang sinabda, kagyat penggalihe sawise weruh apa kang tinulis ana kijing.

Simulakra dan Paradoks Manusia Urban

DARI peristiwa-peristiwa keseharian yang luput dari perhatian  manusia kebanyakan, puisi-puisi Hilmi Faiq ditulis. Ia memanfaatkan bahasa sehari-hari, sindiran, kritik, yang meminta ruang perenungan pembaca.  Saya menemukan dua hal yang menarik dalam buku Peristiwa-Peristiwa Nyaris Puitis (Gramedia Pustaka Utama, 2023) ini.

Orang Mardika dan Mitos Para Peri

Malaikat yang sekarat itu meraih tubuh kawannya yang terus terisak. Ia ingin membasuh lukanya, “dengarkan aku! Orang Mardika, riuh perang akan berhenti jikalau kalian semua berhenti menghamili kebencian,” bicaranya tersendat oleh ulu hatinya yang terus mengucur, “Kita bukan hanya membenci, tetapi jatuh cinta dan bersenggama dengan benci. Ia dengan bengisnya membunuh, dan kau berkata mayat itu begitu indah.”