Cerpen
Gadis Manis di Seputar Pertigaan

Gadis Manis di Seputar Pertigaan

SEDIKIT demi sedikit bus bergerak, beranjak meninggalkan terminal Seutui. Angin segar mulai masuk lewat renggang terbuka kaca-kaca jendela. Suasana dalam bus yang tadinya panas sesak, kini nyaman bagai di lembah bukit. Barisan pertokoan sepanjang jalan Teuku Umar tampak seakan melambai-lambai seraya mengucapkan selamat jalan kepada semua penumpang yang sebentar lagi meninggalkan Kota Banda Aceh ke jurusan Pantai Timur.

“Selamat tinggal kalian. Hanya sebentar saja,” ucap mahasiswa itu dalam hati.

Dia masih acuh terhadap hal-hal kecil, padahal dia baru saja mengalami sesuatau yang kurang menyenangkan. Andai saja penumpang lain, tidak akan menganggapnya bukan-bukan, dia juga akan balas melambai-lambai pada jajaran pertokoan itu.

Begitu melewati perbatasan kota, bus berjalan agak cepat. Pepohonan yang tumbuh sepanjang tepi jalan terlihat semakin cepat pula berlari menuju arah berlawanan. Angin masuk menderu-deru. Penumpang merasa bagai sedang dikipas penampi beras. Apalagi setelah bus berada di jalan naik-turun, penumpang merasa diguncang-guncang.

Mahasiswa itu sangat menikmati perjalanan ini. Ada satu yang membuatnya sedikit kesal; gadis manis berbibir menthol yang kebetulan sebangku dengannya itu tak begitu selera kala diajak bicara. Coba saja kalau dia mau cuap-cuap, pasti bibirnya yang kemerah-merahan bagai orang kepedasan itu akan bergerak-gerak menambah romantisnya perjalanan, dan suaranya yang jernih pasti akan menambah indahnya suasana di sela-sela lagu Cintaku Terbagi Dua yang disetel Bang Supir.

Tadi, waktu di terminal, mahasiswa itu menyodorkan pertanyaan pembuka yang umum diajukan orang kalau berjumpa dalam bus. Namun, gadis itu menanggapi dengan jawaban yang kurang simpatik.

“Belum tentu. Mungkin jauh, mungkin dekat saja,” katanya.

Sebagaimana orang lain yang mendapatkan pertanyaan demikian, dia pun layaknya balik bertanya. Tapi, ini pun tidak. avg driver updater registration key list 2018

Gadis itu agaknya sengaja memberikan jawaban seperti itu untuk menutup kemungkinan terhadap pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Maka, dengan jawaban seperti tadi, agaknya, itulah usaha bijaksana meredam keusilan laki-laki yang kebetulan seperjalanan dengannya.

Mendapat jawaban demikian, suka-cita yang tadi menggelitik-gelitik jiwa mahasiswa itu langsung padam. Dia dapat merasakan, jawaban gadis itu sungguh tepat sebagai tameng. Geming wajahnya merupakan peringatan langsung bahwa dia tak suka diusik, meski hanya pertanyaan.

Begitupun, si mahasiswa sempat mengajukan pertanyaan kedua, “Di Banda Aceh ini, kamu tinggalnya di mana?”

Gadis itu cuma menjawab, “Tidak di mana-mana. Cuma sekadar pelesiran.”

Baru setelah itu si mahasiswa memilih bungkam. Dalam hatinya bergumam tanpa dia sendiri tahu maknanya.

Bus hampir memasuki Saree yang mungil. Lajunya sedikit dilambatkan. Sang supir membunyikan klakson beberapa kali dengan irama panjang, lalu bus berhenti. Perempuan-perempuan penjaja makanan berlarian ke bus. Mereka mendatangi setiap jendela bus sambil menyodorkan jualannya. Ada jagung rebus, ketela, kacang tojin, keripik ketela, keripik ubi, dan keripik ubi bersambal.

Mahasiswa itu membeli dua bungkusan keripik ubi bersambal. Satu untuknya sendiri dan satu lagi ditawarkan pada gadis sombong di sampingnya. Namun, gadis berambut lurus setengkuk itu seketika mengeluarkan uang recehan dan membeli sebungkus untuknya sendiri. Dengan demikian, tentu sangat berlebih-lebihan kalau mahasiswa itu menawarkan lagi keripiknya pada gadis itu.

Mendapat sikap yang rada-rada kompetitif seperti itu, perasaan mahasiswa itu agak kecut. Dengan wajah agak kebego-begoan, dimasukkannya kedua bungkusan keripik itu dalam tas pakaiannya.

Dia menghempaskan tubuh ke sandaran belakang dengan sikap seenaknya. Tak sengaja bahunya sedikit menyentuh bahu gadis itu. Si gadis segera menggeser tubuhnya lebih rapat ke jendela bus dengan sikap tak acuh.

Kalau dia acuh sedikit saja, tentu mahasiswa itu akan berujar, “Eh, maaf.” Dengan demikian tentu akan terbuka peluang awal untuk cuap-cuap. Tapi, ini tidak. Peristiwa kecil yang semestinya cukup bermakna itu berlalu begitu saja.

Bus bergerak meninggalkan Saree. Seketika lajunya cepat karena begitu hengkang dari pasar kecil pegunungan, bus langsung berada pada posisi menurun. Di dalam bus terdengar suara krap-krup mulut penumpang yang mengunyah keripik.

Kini bus melaju tenang di jalan berbukit-bukit dengan irama naik-turun, belok kiri-kanan, naik-turun lagi, persis irama biola Syeh Maneh, maestro biola dari Meureudu, sahabatnya Syeh Kadee dari Kembang Tanjong.

Beberapa saat laju bus dilambatkan. Ternyata Kota Kecamatan Padang Tiji yang mungil menghadang di depan. Sampai di sana bus berhenti, menurunkan seorang penumpang beserta barang-barangnya. Suasana dalam bus senyap karena semua penumpang baru saja di-nina-bobo perjalanan berkelok-kelok dan bergelombang.

Dari pintu belakang naik seorang anak laki-laki belasan tahun sambil menjinjing beberapa barang jualannya. Sebelum menjajakan ke setiap bangku, terlebih dahulu dia menyebutkan satu-persatu dagangannya dengan sangat lancar dan rada-rada unik.

Katanya, “Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, mari beli koran Serambi, majalah Femina, tabloit Citra, kacang tojin, telur rebus, Aqua juga ada.”

Semua penumpang bagai digelitik saraf tawanya. Suasana dalam bus seketika jadi ramai oleh gelak-tawa. Gadis yang duduk di samping mahasiswa itu juga ikut-ikutan tertawa. Wajah yang tadi bagai wajah serdadu di medan tempur itu, kini membentuk relief-relief sandi yang mengisyaratkan ajakan perdamaian.

Mahasiswa itu melirik ke gadis tersebut dengan mata berbinar-binar, seakan-akan sesuatu yang sudah lama dicari-cari kini ditemukannya di wajah gadis itu. Lalu, tanpa pikir dua kali dia buka suara, “Lucu, ya?”

“Mmm,” sambut gadis itu mengangguk.

“Suka lelucon?” tanya mahasiswa itu dengan semangat yang timbul kembali tanpa diduga-duga.

“Suka,” jawab gadis itu pendek saja.

“Oh, saya punya cerita anekdot. Lumayan lucunya. Mau dengar?” tawar mahasiswa itu tanpa perhitungan.

“Tidak. Terima kasih,” jawab sang gadis tanpa sungkan.

Seketika mahasiswa itu merasakan kulit mukanya kesemutan. Tatapan matanya berubah bagai kucing kepedasan. Dirinya seakan-akan badut tanpa penonton. Lalu, dengan wajah yang sukar dilukiskan, dia merebahkan dirinya kembali ke sandaran belakang.

Bus kembali putar roda meninggalkan kota kecil Padang Tiji. Melewati kota kecil Grong-grong, bus melaju tenang berkecepatan sederhana. Mahasiswa itu duduk bergeming, kaku bagai kehilangan ruh. Dia betul-betul sedang hanyut dalam khayalan tentang dirinya sebagai seorang badut tua yang tak lagi membangkitkan tawa.

Meresapi dirinya pada posisi demikian, tanpa sengaja dia mendesah disertai seringai senyum sehingga gadis itu segera menoleh ke arahnya.

“Anda menertawai saya?” tanya gadis itu dengan wajah memerah.

“Tidak!” sahut mahasiswa itu rada ketus.

“Lalu, apa yang Anda ketawai?” gadis itu penasaran.

“Kenapa saudari mau tahu?” tanya mahasiswa itu dengan tatapan tetap lurus ke depan.

“Saya merasa Anda sedang menertawai saya.” Gadis itu agaknya tersinggung.

“Saya sedang menertawai diri sendiri,” kata mahasiswa itu datar-datar saja.

Mahasiswa itu merasakan juga sikapnya tadi yang kurang sopan, dan lebih tak sopan lagi kalau pertanyaan terakhir gadis itu tak dijawabnya. Maka, berceritalah dia seenak mulutnya tentang apa yang membuatnya tersenyum sendiri. Tadi dia membayangkan betapa lelahnya para penumpang seandainya roda bus ini bersegi empat.

“Anda membohongi saya!” potong gadis itu, seakan-akan dia menuntut kejujuran laki-laki yang justru tak mau dikenalnya itu.

“Terserah Saudari mau percaya atau tidak,” timpal mahasiswa itu seenaknya. Kini malah dia yang bersikap tak acuh.

Gadis itu segera memalingkan wajahnya ke luar bus, seakan hendak membuang kekesalan hatinya pada lelaki di sampingnya. Tatapannya kosong. Persawahan hijau dengan tanaman kacang tanah yang masih dara tak masuk dalam perhatiannya sama sekali. Kemudian, saat bus hampir tiba di depan simpang jalan kabupaten yang menuju ke Garot, dia memberi isyarat pada kernet di pintu belakang untuk menghentikan bus tepat di depan pertigaan. Kiranya di situlah batas akhir perjalanannya.

Bus pun berhenti.

“Ternyata Anda sama saja!” ucap gadis itu ketika beranjak dari tempat duduknya.

“Apanya yang sama, Nona?” tanya mahasiswa itu dengan hati tak kalah bertanya-tanya.

“Semua laki-laki sama saja. Pembohong!” berkata gadis itu seraya turun.

Mahasiswa itu tersentak, lalu kaku di tempatnya. Dalam benaknya segera terlintas samar-samar sesuatu yang tersembunyi, yang melatar-belakangi kata-kata terakhir gadis itu.

Yang mendasari dialog mereka bukanlah peristiwa yang berlangsung secara kronologis, bukan pula secara akrab karena persahabatan sebelumnya hingga gadis itu sungguh tidak logis kalau mengakhiri percakapannya dengan kata-kata demikian. Agaknya ada semacam trauma pribadi yang membuatnya nekad berkesimpulan seperti itu. Berpikir-pikir demikian, tiba-tiba mahasiswa kita merasa kasihan pada gadis itu. Ketika bus berangkat kembali, dia menjengukkan kepalanya keluar jendela, ingin melihat gadis itu sekali lagi, untuk menghafal wajahnya baik-baik. Namun, sayang sekali, si gadis telah menghilang di seputar pertigaan tempat turunnya tadi.[]


Penulis:

MUSMARWAN ABDULLAH adalah ASN pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Kabupaten Pidie yang lahir tahun 1967 di Kembang Tanjong, Pidie, Aceh. Dia menyelesaikan kuliah di Fakultas Ilmu Administrasi UNIGHA, Sigli (2003). Sejak tahun 1989 menekuni sastra, terutama cerpen. Bukunya yang telah terbit adalah Kumpulan Cerita Satiris dan Inspiratif berjudul Dijamin Bukan Mimpi (Gramedia, 2016), Kita Terkadang, Ya, Begitulah… (Gramedia, 2019), dan Dijamin Bukan Sihir (Gramedia, 2019). Cerpennya Perempuan Penjual Kangkung terpilih sebagai Cerpen Pilihan Bumi Buku Edisi Kartini April 2013.

Sejumlah karya pernah dimuat di koran Republika, Serambi Indonesia, Waspada, The Atjeh Times, juga dalam buku antologi Seulawah, Remuk, esai Takdir-takdir Fansuri, antologi cerpen dan puisi Putroe Phang, antologi cerpen Bulan di Pucuk Magrove. Dia juga pernah mempresentasi makalah kepenulisan dan proses kreatif di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta (2007), Fakultas Sosiologi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (2014), Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, Banda Aceh (2014), dan pernah meraih Juara I Lomba Penulisan Cerpen Mahasiswa Se-Aceh oleh Balai Bahasa Banda Aceh (2001).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *