
Puisi-Puisi Wisnu Maulana Yusuf
Sialang Musim
Jika air mengalir dengan tenang
ketenangan apa gerak berkuasa
yang tersisa menjadi derap
kaki kuda dipacu kecemasan
sialan sayang, sialan mencabik separuh usia kita
jika perdu tumbuh; kering mencacah ranting
sebab bintik gerimis berkunjung telat
dan awan sedang dikendarai angin
ini musim nyaris berdenyut abadi
siapa-siapa haus, siapa-siapa berburu madu
tapi sialang sayang, sialang mana berteguh ada?
tih! memesrakan ulu hati bersabung nasib
sementara keringat dikucur habis
disimpan rapat-rapat dalam buyung
tempat anjing kita meluruhkan dahaga
wahai welas asih ulu hatiku
saksikanlah hari merangkak lamban
memangku tubuh, menopang pijak
menetak rahang musim menjadi bisu
maka kita diam sayang, berdiam di balai kehampaan.
Yogyakarta, 2020
Ubo Rampe
di hadapan Merapi, kau turunkan rekah lembah
pada musim jeluak lambung gunung dan
kepal api mengepul jadi malam
yang ayal menjelanak di bawah semak
kita adalah hutan, katamu, tapi
dilahirkan dengan tandus
mencuri hijau dari tubuh daun
lalu membakarnya dengan sentuhan
“Semudah kau meludah,” katamu.
seperti kemarau, kita selalu ditolak alam
menyulut dendam pohon-pohon
menetak punggung gunung,
meretakkan tanah sampai pecah
pada saudara-saudaramu,
suatu ubo rampe telah dilabuhkan
syair-syair pujian mengalun, menggemakan
sudut-sudut bangsal Sri Menganti
terkadang untuk memadamkan
kita butuh gumpalan awan
maka kau memanggil mereka
dengan setangkup ubo rampe
dari sinjang cangkring, sinjang kawung kemplang
hingga dhestar daramuluk
“kita adalah akar pohon yang tersesat ke dalam ngarai.”
kemudian di sejenak pagi itu, kau menghadap Merapi
bercakap-cakap dengan bahasa purba
sambil melingkarkan kelingking pada ranting kering
2020
Bara Tongkang
Di tepian, di Bagansiapiapi tongkang berderak
bunyi paling agung adalah letup kayu yang berapi
dan pundak leluhur memikul abu
yang tekun berhambur dalam kepala
Telah bertuankan lidah yang kalah
bertarung melawan mulutnya
kepada kelu yang menyimpan
panas dari liuk bara tongkang
maka ceruplah kepul hitam itu
sampai basah paru-paru timpas
dan alat penglihat mulai tempias
Sementara garam lindap di parak siang
dan bau laut semakin fasih terhidu
maka tenangkanlah segala yang ombak
hingga nasib buruk, tergulung diri sendiri
2019
Tiwah Moyang
Kami basuh raga moyang
dengan perasan sari pati anggur
di bawah lembar daun huyung
yang lingsir ke tubuh tanah
pada sela jari mereka, kami menyisipkan
lonceng gadang dari binara
yang julang mengawai langit
hingga dentangnya terdengar
ke segala jantung manusia
Debar. Di buritan, pada tempat ritual berteduh
kami antar mereka ke gapura Lewu Tatau
dan tulang-tulang telah puih
reput relai bertuankan paras waktu
sementara belulang tampak kepam
layaknya tatal ketam berupa kayu tipis-tipis
Telah kami tunaikan tubuhnya yang basi
sekalipun biji-biji dosa berlempuk karat
dan hidup perlu sebuah penebusan
2019
Hikayat Anak Merapi
Di tapal batas subuh
puisi ini ditulis saat embun bekerja
sejuknya menuntun sajak
untuk bercerita tentang anak-anak merapi:
usia tujuh, saling jumpa di petak-petak sawah
bersama lambaian daun-daun padi
dan silir-semilir angin pagi
mengantar mereka ke pintu sekolah
seperti kata bapak, “ilmu itu merapi.”
usia tujuh, bersenandung dan mengaji
di pondok-pondok bambu
lima langkah dari senja
yang tenggelam sebelum alif ba ta
seperti kata bapak, “ilmu itu merapi.”
usia tujuh, selepas berguru
di sana beracah-acah
layang-layang diulur jauh
tinggi dan tanpa buai
seperti kata bapak, “ilmu itu merapi.”
usia tujuh, hari terus berganti
saatnya pergi ke lembah
menggembala anak-anak sapi
milik peternak bukan milik sendiri
seperti kataku, “bapak ibu telah dimakan abu,
sejak aku berhenti mengikat tali sepatu.”
2019
Lapar
Telah aku usir lapar penghuni perut
dengan ikat kain getas warna biru
hanya biru. persis laut dan langit
yang sedang mengintipku melilit lambung
dan malam akan tandang, mengantar hari pada kelam
sementara mimbar dipenuhi orang bertengkar
menghempas-hempaskan doku dalam saku
membesarkan mulut mengecilkan telinga
mereka menggema, seakan mengucurkan racun
dari bibir ke tempurung kepala pengikutnya
Telah aku usir jauh lapar penghuni perut
dengan piring kosong
kutelan isinya pelan-pelan
mengalir dari kerongkongan sampai ke rahim
jadi lemak jadi daging pada tubuh orang lain
telah kutelan tak terkira jumlahnya
agar kau tahu bahwa yang lapar
dapat mengenyangkan lambung lain
lambung orang-orang berhidung tumbuh
Wahai lapar yang terhormat
yang betah menghuni perut bangsai
pergilah ke lempuk lemak orang mimbar
agar mereka tahu bahwa merdeka
tidak sekenyang domba yang digembala
2019
Pemungut Ikan
Detak jantungku adalah gorong-gorong
tempat pengemis menyajikan mimpi
Riuh. Pesta malam minggu bersama
sekawanan burung yang sedang memotong
daging bangkai. Terbingkai dari ulu hati
sampai ke gigi berkabut asap tembakau
Jantungku berdetak ketika haluan nahkoda
diputar seketika. Mengikuti gelombang kekanakan
yang bermain-main hingga penjuru pantai
Di beberapa kelok, gemercik ombak terdengar
begitu parau. Retak. Membelah permukaan
sampai kota-kota didedah menjadi pasir
Ombak memikul barang-barang dagangan
Memukul pembeli dari punggungnya saat berlari
Pesta masih didendangkan pengemis
sambil bergurau bersama pendeta
“Lihatlah. Sepertiga bumi sedang tertawa
melihat kita memungut ikan.”
2019
Seorang Penjual Gerakan
Kau simpan bulan pada ceruk dada
yang menggunung. Berlembah gempal
daun-daun kering dan desau angin
bersinggung dengan pohon-pohon
yang mengakar dari selangkangan wanita tua
Rambut kau ikat bagai jangkar pelaut
Hanya laut. Pemukiman paling pirus
yang berkilau di antara keriput kulit limau
Hanya kau. Seorang penjual gerakan
dari tubuh lunglai bersama ular berseruling purba
Hanya seruling. Suara kesedihan menjadi
gelap yang gemerlap pada tiap-tiap
lekuk tubuh seorang penari
yang menjentikkan jemari sembari
berupaya menahan air mata
2019
Selembar Kusut Linau
sementara kau membaca buku.
bagian paling penting adalah
halaman demi halaman sudah
dibangun gedung-gedung. trotoar, bangku-bangku
dan selembar daun linau: tempat tidur bagi pengemis
yang menyimpan setangkup remah roti
pada saku bajunya. barangkali
tuhan berada di seberang jalan.
menyaksikan lalu-lalang pejalan
kaki yang menggigit ilalang di bibirnya.
kau turut menyaksikan sambil
menutup buku, menatap lesu awan
yang berarak dari selatan. bahwa
kabar rintik datang sejak kilau
lampu merah terlihat samar. dan
kacamatamu mengembun. jalanan
menguap, menjadi bagian pengiring
lagu yang dinyalakan perpustakaan kota.
kau bertanya seandainya hari
dijenguk linang langit, siapa
penanggung jawab yang membuat
remah milik pengemis menjadi
bubur atau selimut tidur yang riuh
akan kegigilan?
barangkali tuhan di seberang jalan,
katamu. sambil menyaksikan
orang-orang melepas ikat payung
dan langkah kaki yang lupa cara
membenarkan tali sepatu.
2019
Penulis
Wisnu Maulana Yusuf adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang menyukai baca, tulis dan diskusi. Puisinya tersusun dalam buku yang berjudul Kabar Dusta dari Surga (CBK, 2018).