Feature
Kiai Kampung, Kesalehan Sosial-Ekologis, dan Gerakan Perlawanan Kaum Tani

Kiai Kampung, Kesalehan Sosial-Ekologis, dan Gerakan Perlawanan Kaum Tani

Imam Zuhdi, demikian nama lelaki itu. Ia adalah kiai sederhana nan kharismatik dari Desa Setrojenar, Urutsewu, Kebumen. Sehari-hari, Kiai Imam Zuhdi mengurus langgar, masjid, dan musala di desa-desa. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk membangun hubungan kultural dengan masyarakat lokal[1]. Selain tercatat sebagai anggota organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama, ia juga menjadi ketua Gerakan Petani Setrojenar—sebuah gerakan sosial yang bertujuan untuk memperjuangkan lahan dari perampasan aparatus militer.

Nama Kiai Imam Zuhdi melambung ketika ia tampil di garis depan dalam konflik lahan yang melibatkan petani dengan negara dan korporasi. Bersama dengan kelompok masyarakat sipil, ia memobilisasi kekuatan untuk melawan struktur kekuasaan yang ingin merampas lahan milik masyarakat. Baginya, agama tidak dapat berdiri di ruang hampa: memerlukan tanah dan air sebagai penyangganya. Membela dan mempertahankan tanah-air dengan segala upaya, dengan demikian, sama seperti membela agama.

Sengketa Tiada Akhir
Konflik lahan di Urutsewu telah dimulai sejak tahun 1998. Pada saat itu, Tentara Nasional Indonesia–Angkatan Darat (TNI-AD) mengajukan kontrak kepada pemerintah daerah untuk menggunakan lahan pesisir Urutsewu sebagai tempat latihan uji coba senjata. Dalam perkembangannya, TNI-AD melakukan pemetaan tanah lalu menamai secara sepihak area lapangan tembak tersebut sebagai “Tanah Milik TNI-AD”. Parahnya lagi, Kodam IV Diponegoro juga menerbitkan izin penambangan pasir besi selama sepuluh tahun kepada PT Mitra Niagamatama Cemerlang (MNC). Perusahaan tersebut diberikan izin produksi di atas lahan seluas 317,48 hektar yang diakui milik TNI-AD dari total 591,07 hektar yang ada.

Penyerobotan lahan secara sepihak yang disertai kongkalikong dengan korporasi tambang pasir besi itu amat melukai hati para petani. Pasalnya, para petani membuktikan bahwa mereka adalah pemilik sah lahan: memiliki sertifikat, SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), dan surat keterangan kepemilikan tanah yang berlaku sejak tahun 1963. Sementara itu, dalam melakukan klaim kepemilikan tanah, TNI-AD hanya memiliki surat izin penggunaan lahan yang ditandatangani pemerintah desa serta tidak terdaftar dalam catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Secara telak, penyerobotan lahan dan pemberian izin operasi perusahaan tambang pasir oleh TNI-AD cacat di mata hukum.

Untuk melawan ketidakadilan itu, petani Urutsewu melakukan aksi penolakan latihan uji coba senjata oleh TNI-AD. Para petani melakukan blokade jalan dan melakukan ziarah ke makam korban meninggal akibat ledakan bom mortir oleh TNI-AD. Namun, hal itu justru direspon secara represif. Sejak tahun 2011, tindak intimidasi, kekerasan fisik, bahkan perusakan harta benda milik petani kerap dilancarkan oleh TNI-AD. Pemagaran permanen yang dilakukan TNI-AD juga menghalangi akses petani ke lahan pertanian serta mengganggu aktivitas bertani dan pengembalaan ternak. Lebih jauh lagi, petani terancam oleh persoalan ekologis berupa water interruption yang membuat air laut (air asin) masuk ke daratan sehingga mengganggu aktivitas bercocok tanam.

Aksi Heroik Kiai Kampung
Melihat timpangnya relasi kuasa dan lemahnya negosiasi antara masyarakat sipil (petani) dengan pelaku perampasan lahan (TNI-korporasi), Kiai Imam Zuhdi kemudian maju sebagai salah satu pelopor gerakan perlawanan kaum tani. Sebelumnya, tokoh masyarakat sipil lainnya juga telah membentuk organisasi Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) yang menjadi manifestasi gerakan kaum tani untuk merebut hak atas lahan yang menjadi tempat dan sumber penghidupan mereka. Kiai Imam Zuhdi bersama FPPKS dan para santri kampung kemudian membangun keresehan bersama dengan seluruh lapisan masyarakat. Mereka melakukan konsilidasi, mengatur strategi, dan menggalang kekuatan lewat berbagai pertemuan yang diadakan di langgar dan masjid-masjid kampung.

Gerakan perlawanan terhadap struktur yang menindas kaum tani itu diekspresikan dalam beragam bentuk. Demonstrasi yang melibatkan 10.000 massa pada tahun tahun 2009 di depan Kantor Bupati Kebumen yang dipimpin langsung oleh Kiai Imam Zuhdi adalah contoh paling heroik. Aksi itu dilakukan setelah adanya Rencana Peraturan Daerah Tata Ruang dan Tata Wilayah yang menempatkan Urutsewu sebagai kawasan pertahanan dan pertambangan. Sebagaimana serial Marvel, Kiai Imam Zuhdi bukan satu-satunya aktor tunggal yang berjuang atas nama keadilan bagi kelompok marjinal (re: kaum tani). Bersama dengan para pekerja seni, akademisi, aktivis, dan berbagai elemen masyarakat pejuang agraria, Kiai Imam Zuhdi ikut memobilisasi kekuatan yang diekspresikan dalam berbagai bentuk ekspresi kultural dan tradisional. Aksi itu dimanifestasikan ke dalam sebuah gerakan sosial bernama “Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urutsewu”.  Pagelaran Pentas Budaya Rakyat dan Mujahadah yang digelar pada tahun 2014 silam adalah bentuk perjuangan paling nyata dari gerakan tersebut. Kiai Imam Zuhdi secara langsung memimpin Mujahadah yang digelar dalam rangka memperingati tragedi penembakan petani Urutsewu oleh TNI-AD pada tahun 2014. Berbagai kegiatan seperti pertunjukan ogoh-ogoh, workshop menulis cerita dan puisi, workshop membatik untuk perempuan, pagelaran seni musik Lesung tradisional, dan lain-lain berhasil dilangsungkan. Kepemimpinan dan kepiawaian sang kiai dalam menggerakan massa menjadi kunci keberhasilan gerakan tersebut.

Sebagaimana jalan aktivisme yang diliputi isak duka, perjuangan Kiai Imam Zuhdi juga tidak pernah lepas dari berbagai fitnah, intimidasi, serta pengalaman-pengalaman yang sarat muatan kekerasan. Sudah puluhan tahun ‘pendudukan’ militer atas lahan milik petani Urutsewu berlangsung, selama itu pula semangat Kiai Imam Zuhdi untuk mengembalikan hak kaum tani atas lahan terus berkobar. Konsistensi di jalan perjuangan itu menunjukkan bahwa Kiai Imam Zuhdi tidak hanya mampu membaca ayat-ayat Al-Quran secara qauliyah (sebagai rutinitas semata), melainkan juga mampu membacanya secara kauniyah: memahami realitas (konteks) sosial, budaya, dan politik yang mengancam basis kehidupan kelompok marjinal. Gerakan perlawanan petani Urutsewu yang selama ini dipimpinnya barangkali akan terus berlangsung selama ratusan bahkan ribuan hari ke depan. Dalam perjuangan itu, peran sentral dan kepemimpinannya yang andal sangatlah diperlukan. Terlebih lagi, Kiai Imam Zuhdi memiliki modal sosial sebagai priayi dengan pengalaman modernisasi dan pengalaman hidup di luar Urutsewu—ia mondok di Jawa Timur selama bertahun-tahun. Hal itu membawa corak tersendiri dalam perjuangan kaum tani Urutsewu, yaitu homogenitas kepentingan untuk merebut kembali kuasa atas lahan.

_____________

[1] Secara umum, kalangan Nahdhiyyin mengkategorikan kelompok kiai ke dalam dua kategori, yaitu kiai pesantren dan kiai kampung. Kiai pesantren bercirikan mengasuh santri, memiliki pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan. Sementara itu, kiai kampung bercirikan mengelola masjid, musala, atau langgara dan hidup dekat dengan masyarakat

Daftar Referensi
https://indoprogress.com/2014/04/peringatan-tragedi-setrojenar-16-april-2014-dan-intervensi-tentara/
https://www.nu.or.id/post/read/51701/prasangka-media-massa-di-urut-sewu
https://issuu.com/jaringangusdurian/docs/selasar_edisi_12/2
https://islambergerak.com/2019/09/bagaimana-islam-memandang-perampasan-tanah-di-urutsewu/
https://www.mongabay.co.id/2019/09/24/konflik-lahan-petani-dan-tni-di-urutsewu-berlarut/
https://www.inikebumen.net/2020/01/berani-selesaikan-konflik-tanah-gus.html


Penulis:
Abdullah Faqih adalah mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Ia pernah menjuarai kompetisi menulis “ASEAN Literary Festival Tahun 2017” yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kompetisi “Indonesia Infrastructure Awards 2017” dari Tempo Institute, terpilih sebagai salah satu fellow dalam program “Climate Tracker Fellowship” oleh organisasi Climate Tracker di Jerman, dan sederet prestasi di bidang kepenulisan lainnya. Tulisan-tulisannya juga telah tersebar di berbagai media, seperti Republika, Magdalene, Anotasi, Konde, Arrahim, Majalah Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *