Esai
Kyai Song: Relasi Sastra, Kearifan Lokal, dan Wisata Kasongan

Kyai Song: Relasi Sastra, Kearifan Lokal, dan Wisata Kasongan

/1/

Di tengah semakin merebaknya jumlah penyair perempuan di Indonesia, nama Umi Kulsum patut mendapat tempat tersendiri. Umi Kulsum (UK) sebagai penyair yang berkiprah di Yogyakarta dianggap penting. Buku kumpulan puisinya berjudul Lukisan Anonim, diterbitkan oleh penerbit Interlude, Yogyakarta, 2016, sangat tepat dijadikan materi kritik sastra yang terkait relasi sastra dengan kearifan lokal, pariwisata, dan ekonomi kreatif.

Selain menulis sajak UK juga menulis esai, opini, dan cerita pendek yang pernah dimuat di Kompas, Suara MerdekaKedaulatan Rakyat, Solopos, dan Indopos. Dia bergiat pada Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta. Sejumlah sajaknya tergabung dalam antologi puisi bersama penyair lain: Menyisir Senja (2012), Pulang (2013), Parangtritis (2014), Jalan Remang Kesaksian (2015), dan Negeri Laut (2015).

Secara keseluruhan isi buku setebal 73 halaman ini menunjukkan kekuatan dan jati diri penyairnya. Meskipun dengan tema-tema yang sederhana tapi kekuatan diksinya sungguh luar biasa dan menjadi karakteristik tersendiri dalam gaya ucapnya. Dengan kekuatan metaforanya bahasa puisi UK menjadi semakin luas maknanya. Kejernihan dalam memilih diksi menjadi kekuatan yang terpancar pada sajak-sajaknya. Sajak-sajaknya jernih menjelma dari pengalaman jiwanya.

UK mampu untuk menghadirkan bahasa pengucapan sendiri yang memberikan makna terhadap kehidupan sehari-hari. Pilihan kata dianggap penting dalam sebuah sajak karena efek makna yang ditimbulkannya. Keraf (1982: 116) menjelaskan bahwa pilihan kata merupakan masalah yang sungguh-sungguh esensial untuk melukiskan segala sesuatunya dengan jelas serta menunjukkan interaksi detail-detail dalam  sajak.

/2/

Pada sajak-sajak UK tampak sekali didominasi kearifan lokal yang berkaitan dengan tradisi ziarah kubur sebagai temanya. Kearifan lokal merupakan pembentukan identitas yang inheren sejak lahir dan melibatkan emosional masyarakatnya. Menurut  Rahyono (2009: 13), orang Jawa yang masih menghayati ke-Jawa-annya memandang bahwa kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang adiluhung. Di saat orang Jawa mengajarkan pengetahuan, pranata, adat, norma-norma, ataupun nilai-nilai Jawa kepada generasi berikutnya tentu mereka menanamkan bahwa orang Jawa wajib melestarikan kebudayaan yang adiluhung itu.

Kearifan lokal di daerah Kasongan menjadi menarik dijadikan tema dalam penulisan sajak. Tema adalah sesuatu yang menjiwai cerita atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Tema juga dapat berarti ide dasar atau ide utama sekaligus pesan seorang pengarang/penyair yang ingin disampaikannya kepada orang lain atau pembaca melalui karyanya. Hartoko, et al. (1986:142)  berpendapat bahwa tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif konkret yang menentukan urutan-urutan peristiwa atau situasi tertentu.

Ada beberapa sajaknya bertema tentang kematian dan ziarah kubur. Di antaranya terdapat dalam sajak ”Menangkap Hujan” (hlm. 2), ”Menangkap Jendela” (hlm. 3), ”Yang Tak Kunjung Hilang” (hlm. 4), ”Yang Sempat Asing” (hlm. 6),”Ziarah”(hlm. 8), ”Di Makam Desa” (hlm. 22), ”Ziarah Perih”(hlm. 53).

Jika UK dalam sajak-sajaknya berbicara tentang kematian tidaklah mengherankan. Kematian merupakan tema yang dikenal dalam sastra maupun filsafat. Menurut Boris Pasternak semua filsafat merupakan ”usaha yang luar biasa besar untuk mengatasi masalah kematian dan takdir,” dan menjadi tema yang hampir selalu muncul dalam sastra.

Demikian pula tradisi ziarah kubur sebagai ritual sesudah terjadinya kematian. Pada setiap daerah tradisi ziarah kubur mempunyai sifat dan kebiasaan yang khas. Kebiasaan yang diwariskan turun-temurun secara tradisional menjadikan kearifan lokal bagi masyarakatnya. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.Kerarifan lokal berdasarkan budaya non materi dapat dikaji melalui ritual keagamaan dan upacara adat, di antaranya ziarah kubur ke makam keramat. Tradisi itu untuk mengingatkankepada kita bahwa di dunia hanya sementara, setiap yang hidup akan mati menghadap Sang Pencipta.

Menjadi sangat menarik membaca sajak-sajak UK tentang ziarah. Ziarah ke makam atau ziarah kubur merupakan sebuah tradisi yang berakar panjang dalam kehidupan seseorang. Setiap daerah memiliki tradisi atau kebiasaan yang berbeda-beda dalam melakukan ziarah kubur. Dalam ziarah kubur tidak hanya aspek ritual dan  sosial yang melekat namun juga bersinggungan dengan masalah keyakinan atau agama tertentu.

Niels Mulder (1984) berpendapat bahwa bangsa Indonesia, khususnya suku bangsa Jawa mempunyai sifat seremonial. Hampir pada tiap peristiwa yang dianggap penting, baik yang menyangkut segi kehidupan seseorang, baik yang bersifat keagamaan atau kepercayaan, maupun yang mengenai usaha seseorang dalam mencari penghidupan, pelaksanaanya selalu disertai upacara. Menurut Suseno (dalam Minsarwati, 2006: 6), orang Jawa tidak membeda-bedakan antara sifat religius dan bukan religius. Interaksi sosial sekaligus dinyatakan sebagai sikap terhadap alam yang mempunyai relevansi sosial. Oleh sebab itu, dengan sendirinya orang Jawa tidak mampu memisahkan urusan dunia sini (empirik) dengan dunia sana (metaempirik).

Dalam tradisi masyarakat Jawa, ziarah kubur di makam keluarga atau di makam desa kerap dilakukan saat tibanya Hari Raya Idul Fitri. Begitu pula yang dilakukan UK sebagai aku-lirik dalam sajak “Di Makam Desa”:

Bersama mereka kumasuki makam desa
angin pagi meluruhkan bunga Kamboja
di samping gunduk tanah tempat ibuku tidur
terjaga nisan seputih warna mukena

Ini bukan ziarah air mata
seusai takbir bergema
di serambi masjid tua

Bersama mereka
ramai-ramai mengetuk pintu yang dijaga malaikat surga
di tangan bukan bunga yang kugenggam
sejumput rinduku taburkan di hari rayaku.

Karangjati, Bantul, 2015
(hlm. 22).

Tidak perlu berbalut kesedihan dan berurai air mata ketika si aku lirik berziarah di makam ibunya. Kematian hanyalah serupa tidur yang panjang dalam gundukan tanah di alam fana. Lantas kita pun bisa memaknai keyakinan dalam ziarah kubur. Ada keyakinan perlu atau tidak untuk menaburkan bunga di pemakaman. Bagi Umi Kulsum: Bersama mereka/ramai-ramai mengetuk pintu yang dijaga malaikat surga/di tangan bukan bunga yang kugenggam/sejumput rinduku taburkan di hari rayaku//.

Dalam pandangan UK //di tangan bukan bunga yang kugenggam//. Ada makna khusus tentang bunga dalam persepsi UK dalam melakukan ziarah kubur. Bunga menjadi tidak bermakna sebab doa kubur-lah yang menjadi tanda bakti seseorang terhadap leluhurnya. Bahkan banyak orang yang meyakini bahwa tidak perlu melakukan ziarah kubur sebab bisa digantikan dengan doa yang dikirimkan dari rumah.

UK meyakini tidak perlu melakukan ziarah dengan menabur bunga. UK berani menawarkan sesuatu di luar kebiasaan orang-orang yang membawa bunga ketika melakukan ziarah.

Jangan dengan bunga, juga asap dupa
sebab cinta adalah serbuk doa
yang tertebar di gerbang sorga
dan pemetiknya
duduk di taman seindah cahaya.

Pokok-pokok kamboja
nisan dan cungkup di sana
bukan alamat sebenarnya
sebab hanya di hatimu
keikhlasan mengantarkan tuju

Bantul, 2015
(“Ziarah”, hlm. 8).

Dalam sajak di atas UK kembali menegaskan //jangan dengan bunga, juga asap dupa//. Artinya, bunga memiliki makna yang personal dalam kehidupan seseorang. Bunga juga bisa dimaknai secara berbeda-beda, misalnya dalam agama tertentu,  dinyatakan beberapa makna bunga ros, di antaranya  bermakna kesempurnaan. Bunga itu juga simbol dari kesuburan dan kesucian. Hall (1994:140) menambahkan bahwa dalam agama Kristen bunga ros adalah simbol dari kesempurnaan, dalam agama Katolik simbol dari Maria, sedangkan pada agama Islam  bunga ini simbol dari darah Nabi dan dua anaknya, Hasan dan Husein.

Mengkaji makna bunga menjadi tambah menarik. Kita bisa membandingkan makna bunga dalam sajaknya berikut ini:

Di atas tanggul
seorang anak menabur bunga
diiringi doa-doa besarnya
agar ayah dan ibu tetap tinggal di sorga.

Ia tak tak tahu lagi letak makam di mana
sebab di matanya
hanya hamparan lumpur dan asap semata
seperti gurun kosong dalam jiwa.

Jauh di sana terbayang jejak kampung
terkubur sebagai masa silam.

Pada dinding kamar
di sebuah panti asuhan
ia belajar melukis bintang
bermimpi malam jadi benderang.

Berkali-kali memandang gurat di telapak tangan
mencari-cari wajah Tuhan
sambil membuka buku kehidupan

Bantul, Maret 2014
(“Ziarah Perih”, hlm. 53).

Sajak di atas menempatkan kata “bunga” sebagai sesuatu yang utama ketika seseorang melakukan ziarah. Berbeda dengan sajak “Ziarah”, dalam sajak “Ziarah Perih” bunga mempunyai makna yang lain. //seorang anak menabur bunga/diiringi doa-doa besarnya//.

Artinya kita perlu memahami makna  “bunga”  yang  berkaitan dengan ziarah kubur. Dalam dua sajak di atas kata “bunga” memiliki makna yang berbeda bagi orang yang berbeda, pada waktu yang berbeda dan dalam konteks yang berbeda pula. Bunga akhirnya merujuk pada sebuah tanda. Sebuah tanda adalah sesuatu yang dapat diterima secara fisik oleh panca indera, yang melambangkan, atau menandai sesuatu (the referent) bagi seseorang (the interpreter) dalam suatu konteks.

UK tampaknya gemar sekali mencantumkan pilihan kata bunga dalam sajak-sajaknya. //Entah siapa yang membuka/setiap kali ia hendak menutup jendela/yang tertangkap seuntai bunga//(”Menangkap Jendela”, hlm, 3). Juga //Detak jam dan jarum-jarum panjang/sering jadi mimpi buruk/yang merampas keindahan/ketika kita merawat bunga-bunga//(”Jam Dinding”, hlm. 9).  Selain itu //Bersama mereka kumasuki makam desa/angin pagi meluruhkan bunga Kamboja/disamping gunduk tanah tempat ibuku tidur/terjaga nisa seputih warna mukena//(”Di Makam Desa”, hlm. 22).

 Selanjutnya //Di atas tanggul/seorang anak menabur bunga/diiringi doa-doa besarnya/agar ayah dan ibu tetap tinggal di sorga//(”Ziarah Perih”, hlm. 53). Masih ada lagi //Hatiku penghuni kastil/sebagai pertapa yang berbicara dengan bunga//(”Penghuni Kastil”, hlm. 65). Serta //Di sini/jiwaku tiba-tiba seperti bangunan kastil/dikelilingi kebun bunga//(”Lonceng”,hlm. 69). Juga masih muncul pada //tanpa kalungan bunga/tanpa pesta//(”Nikah Cahaya”, hlm. 70). Dan uniknya untuk menyebutkan negara Jepang pun digantikannya dengan sebutan bunga //diboyong dengan penuh cinta ke tanah Papua bahkan/Negeri Sakura//(”Kasongan”,hlm. 38).

Demikian pula UK meyakini adanya “kekuatan” yang dipancarakan di makam leluhur. Kita bisa bertolak dari pendapat Taylor dalam bukunya Primitive Culture yang mengemukakan bahwa tumbuhnya religi umat manusia berpangkal pada keyakinan terhadap adanya jiwa sebagai substansi yang menyebabkan adanya kehidupan. Apabila manusia itu mati, jiwa itu tetap hidup dan bertempat tinggal pada tempat-tempat tertentu. Jiwa yang melepaskan diri dari raga itu dinamai spirit yang dapat berbuat baik maupun buruk terhadap manusia.

Pernyataan Taylor tersebut sesuai dengan kepercayaan yang dianut sebagaian besar masyarakat di Indonesia, dalam berhadapan dengan dunia sekitarnya. Kita baca sajaknya:

Tuhan begitu bijaksana
Dijadikannya tanah ini sebagai milik pekundhi
yang begitu ikhlas dan khusuk
lantunkan doa-doa di liat lempung
dalam wirid yang diam-diam ditiupkan
pada tungku-tungku perapian

Jadilah genthong, celengan bahkan Semar
diboyong dengan penuh cinta ke tanah Papua bahkan Negeri Sakura
Tungku dapur Mbok Surti, Yu Jayem dan Kang Subur
riuh mengepul asap doa pada Hyang Empunya

Kyai Song di alamnya
barangkali tersenyum bahagia
kepal tanah liat yang ia tinggalkan
rimbunkan pundi-pundi Mbok Surti.

Kasongan, Bantul, 2014
(“Kasongan, hlm. 38).

Kita bisa memaknai sajak di atas dengan konsep pemujaan leluhur yaitu konsep keluhuran. Keluhuran adalah segala sifat yang bernilai mulia, agung, halus, dan tinggi. Bisa jadi sifat yang dimiliki oleh leluhur ini mengakibatkan masyarakat selalu melakukan kontak dengannya agar mendapatkan berkah keselamatan. Konsep keluhuran dapat kita cermati dalam kutipan //Kyai Song di alamnya/barangkali tersenyum bahagia/kepal tanah liat yang ia tinggalkan/rimbunkan pundi-pundi Mbok Surti//.Bahasa akhirnya menjadi referensial untuk menunjukkan realitas dan memberitakan kenyataan atas makna kematian tersebut. Berbeda misalnya jika kita bandingkan dengan sajak tentang ziarah karya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Duka-Mu Abadi (1969), yang memerlihatkan kemurungan dan tak keberdayaan manusia atas kematian.

Kepercayaan terhadap Kyai Song sebagai leluhur masyarakat desa Kasongan merupakan manifestasi keteguhan hati yang berakar kuat di masyarakat  Kasongan.  Bagi masyarakat Kasongan, konon Kyai Song yang makamnya ada di dusun Kajen, Kasihan, Bantul ini dianggap sebagai leluhur orang Kasongan, Bantul. Pasca penangkapan P. Diponegoro oleh Belanda membuat Kyai Song sebagai pengikutnya melakukan perlawanan secara diam-diam dengan mengajak warga agar tidak bertani, tetapi beralih profesi menjadi pekundhi atau pembuat peralataan dapur dari tanah liat.

Ajakan Kyai Song agar warga tidak lagi bertani disebabkan sebagian hasil pertanian masyarakat saat itu harus disetorkan kepada Pemerintah Belanda. Dengan menjalankan strategi perjuangan nonfisik sebagai pekundhi menjadikan persawahan di sekitar Kasongan menjadi tidak subur dan tidak bisa ditanami sebab tanahnya diambil untuk bahan baku pembuatan gerabah.

Kyai Song sebagai leluhur masyarakat Kasongan sampai kini dianggap membawa berkah tersendiri. //Kyai Song di alamnya/barangkali tersenyum bahagia/kepal tanah liat yang ia tinggalkan/rimbunkan pundi-pundi Mbok Surti//.

Setiap orang memiliki identias yang dibangun oleh budaya, maka kearifan lokal yang diwariskan oleh Kyai Song menjadi tidak asing bagi UK untuk dituliskan dalam sajaknya. UK yang bertempat tinggal di Kasongan memiliki keterlibatan secara emosional. Masyarakat setempat pun hingga kini memertahankan kearifan lokal yang mereka warisi bersama dengan menjadi pekundhi. Tradisi ini menjadi penopang hidup sekaligus kelangsungan kehidupan masyarakat setempat.

UK mencoba menuangkan pemikiran atau gagasan tentang kehidupan manusia atau masyarakat Kasongan dalam sajaknya. Kehidupan masyarakat yang berangkat pada sejarah kehadiran Kyai Song dalam perjuangannya melawan Belanda dan sampai saat ini masyarakat tetap melestarikannya dengan menjadi pekundhi. Hal ini tidaklah mengherankan karena karya sastra merupakan “cermin” atau “potret’ kehidupan sosial di dalam suatu masyarakat tertentu.

UK mampu menuangkan mitos tentang Kyai Song dalam sajaknya. Berbeda dengan sajaknya berikut ini yang menjadikannya terkesan paradoksal karena bercerita tentang kesuburan tanah.

Hikayat itu, mengantarkan Dewi Sri
bercocok tanam di tubuhku
sempurna sebagai seorang perempuan

Rambutku yang panjang
berkibaran menyongsong angin selatan
mengawinkan biji-bijian di ladang

Aku mengamalkan sujud syukur
dengan berjalan mundur
di musim tandur – jauh dari takabur.

Inilah cara indah
menjaga  kesuburan tanah
di dataran rendah – senantiasa tengadah.

Yogyakarta, 2014
(“Kisah Sawah”, hlm. 36).

Saya mengamati dalam kumpulan puisi ini terkandung rangkaian perjalanan batin UK yang sangat kental dalam budaya masyarakat Jawa. Dimulai dari saat melakukan ziarah dirangkaikan dengan acara mudik dan kemudian memasuki hari kemenangan setelah melakukan ibadah puasa di bulan ramadan. Kita baca sajaknya:

Barisan obor kirab di jalan jalan
anak-anak takbir bersahutan
menyebarkan kebesaran

Sebuah upacara kemenangan
digelar semalaman
tanpa tepukan
hanya bedug bertaluan ditabuh dalam-dalam
kembang api ikut pesta kemenangan.

Obor tak pernah padam
seperti kerlip bintang turun di kota dan perkampungan
menebarkan benderang
seindah jiwa yang lapang dan tenang

Karangjati, Bantul, 2015
(“Takbiran”, hlm. 16).

Sayang dalam sajak di atas seperti layaknya sebuah reportase sehingga menjadikan sajaknya terasa mencair. Tidak ada sesuatu yang baru dalam ungkapan-ungkapannya. Lantas apa dan bagaimana UK menafsirkan sesuatu yang disebut sajak? Kita baca sajaknya:

Batu yang kaulempar di sumur
begitulah sajak, menukik ke dasar, di ceruk nalar
dan kata-kata menjadi timba
yang tak lelah membawa makna
tumpah di latar jiwa.

Bantul, 2015
(“Bersajak Batu”, hlm. 63).

Sajak bagaimana pun wujudnya selalu membawa kerahasiaan di balik makna katanya. Makna kata itulah yang kemudian dapat menerangi jiwa kita. Tentu untuk memerolehnya kata-kata itu harus diinterpretasikan terlebih dahulu. Betapa luar biasanya kekuatan sebuah sajak sehingga bagi UK sajak adalah //dan kata-kata menjadi timba/yang tak lelah membawa makna//.

Begitu pula ketika memaknai arti atau kehadiran penyair, UK mengungkapkanya dengan sajak berikut ini:

Tak hanya penenun kata
ia pun duduk lama-lama di dalamnya
seperti pertapa yang memindah letak mata
dan telinga

Menyisir semantik
yang tersesat di rimbun hutan metafora
menyusur arung jeram makna
yang timbul tenggelam

Lihat
pikirannya melaju kencang
menyalip usianya.

Yogyakarta, 2015
(“Penyair”,  hlm. 39).

Sebagai penyair tentu semantik menjadi bagian utama yang harus selalu dieksploitasi. Tidaklah memungkinkan penyair bebas dari semantik. Demikian juga metafora berfungsi memperjelas gambaran pembaca terhadap hal yang diperbandingkan sehingga akan dapat ditangkap makna yang jelas darinya. Sajak UK jelas menunjukkan penggunaan metafora secara eksplisit //menyusur arung jeram makna/yang timbul tenggelam//.

/3/

UK berhasil mengekspresikan pengalaman jiwanya secara total. Dia memilih kata-kata yang khas dan terasa menyegarkan sehingga bagaikan “beras-beras jiwa” bagi pembaca sajak-sajaknya.

Membaca kumpulan sajak ini menegaskan adanya relasi sastra, kearifan lokal, pariwisata, dan ekonomi kreatif.  Kasongan sangat dikenal sebagai destinasi wisata dan produksi keramiknya  telah diekspor ke berbagai Negara. Seperti tampak dalam kutipan sajaknya //Jadilah genthong, celengan bahkan Semar/diboyong dengan penuh cinta ke tanah Papua bahkan Negeri Sakura//.

Sebagai catatan akhir, sajak memang tidak boleh berhenti untuk terus ditulis. Seperti yang terdapat pada kutipan dua bait terakhir sajak “Pesta Ulang Tahun” (hlm. 67) ini: Hanya guguran waktu/terkubur di lelehan lilin dan kue/dan orang-orang yang lalai/memakamkan ingatan/di gelak tawa sendiri//Dan hidup seribu tahun/hanya sepenggal sajak/yang tak selesai//. Semoga. []

Daftar Pustaka
Hartoko, Dick.1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Rajawali
Keraf, Gorys.1982. Eksposisi dan Deskripsi. Ende Flores: Nusa Indah
Koentjaraningrat.1987. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Kulsum, Umi. 2016. Lukisan Anonim. Yogyakarta: Interlude
Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi & Kearifan Ekologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra

Penulis
BAMBANG WIDIATMOKO, penulis kelahiran Yogyakarta ini memiliki kumpulan puisi tunggal al. Silsilah yang Gelisah (2017), Air Mata Sungai (2019), Mubeng Beteng (2020).  Kumpulan esainya Kata Ruang (2015). Sajaknya terhimpun di berbagai antologi puisi bersama al Kepak  Sayap Waktu (2020). Tegal Mas Island (2020), Pringsewu Kita (2020), Mahligai Penyair Titipayung (2020), Berbisik pada Dunia (2020), Semesta Jiwa (2020), Risalah Ikrar (2020), Peradaban Baru Corona (2020), Kembara Padang Lamun (2020), Angin, Ombak, dan Gemuruh Rindu (2020), Rantau (2020), Gambang Semarang (2020), Sang Acarya (2020), Narasi Bait Waktu (2021).   Cerpennya tergabung dalam antologi cerpen Lelaki yang Tubuhnya Habis Dimakan Ikan-ikan Kecil (2017), Pijar Napas September (2020), Alumni MUNSI Menulis (2020). Ikut menulis di buku Bunga Rampai Tradisi Lisan (ATL.,2021), Mencecap Tanda Mendedah Makna (FIB UI-WWS 2021). Dia dosen Universitas Mercu Buana, Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *