Esai
Eksistensi Hegemoni Kekuasaan dalam Novel

Eksistensi Hegemoni Kekuasaan dalam Novel

Saya tulis esai ini setelah 100 hari Sapardi Djoko Damono meninggal, tetapi kenangan pada karya-karyanya masih terus bermunculan. Dalam pandangan banyak kalangan, Sapardi Djoko Damono menyegarkan perkembangan dunia sastra Indonesia modern. Kreativitasnya  boleh dikatakan selaras dengan konsep eksistensi dalam paradigma Kristeva,  yakni mencipta kembali puisi ke dalam wujud novel. Sungguh tak terduga, ketika saya membaca ulang trilogi novel Hujan Bulan Juni  (2015), Pingkan Melipat Jarak (2017), dan Yang Fana adalah Waktu (2018) menemukan  banyak perlawanan hegemoni kekuasaan, atau tekanan hegemoni kekuasaan. Ketiga novel ini selaras bila saya analisis dengan teknik eksistensi dalam pandangan Kristeva, karena cara pengolahan novel Sapardi Djoko Damono  berpijak dari puisi. 

Dapat  saya katakan bahwa Sapardi Djoko Damono telah menghadirkan sudut pandang hegemoni kekuasaan yang merasuki kehidupan tokoh dalam menghadapi pergolakan cinta, antara Sarwono, Pingkan, Katsuo, dan Noriko. Eksistensi  yang disingkap Sapardi Djoko Damono dari puisi-puisinya ke dalam bentuk novel memunculkan tokoh yang melawan hegemoni kekuasaan dan tokoh yang dikekang hegemoni kekuasaan.  

***

Sebagai penyair, Sapardi Djoko Damono tergerak melakukan  pergeseran daya cipta dari menulis  puisi ke dalam bentuk novel.  Di antara beberapa prosa yang diciptakannya, sungguh menarik untuk membicarakan trilogi novel Hujan Bulan Juni. Trilogi novel ini diciptakannya bermula dari puisi, yakni “Hujan Bulan Juni”, “Melipat Jarak”, dan “Yang Fana Adalah Waktu”. Trilogi novel itu dapat saya analisis secara intertekstualitas, untuk melihat perkembangan ragam puisi ke dalam bentuk novel. Hal yang tak pernah saya duga,  dalam struktur narasi ketiga novel itu bermuatan hegemoni kekuasaan.  

Sapardi Djoko Damono berobsesi pada suasana batin puisi “Hujan Bulan Juni”, “Melipat Jarak”, dan “Yang Fana adalah Waktu”. Ia  kemudian membebaskan ketiga tipografi puisi ke dalam bentuk prosa, menciptakan diksi lugas, dan memerdekakan perkembangan tokoh, mencipta struktur narasi, dan kisah yang berbeda dari puisi hipogramnya. Pastilah penyair ini mencipta novel dengan kreativitas yang dikembangkan untuk menemukan ruang daya cipta yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Ia menemukan keunikan yang memperkaya khasanah sastra mutakhir.

Sapardi Djoko Damono cenderung mengembangkan struktur narasi dengan obsesi pada dunia akademik yang sangat dekat dengan atmosfer kehidupannya. Ia mencipta novel dari sebuah konteks kehidupan yang sangat dekat dengan biografinya sebagai penyair, dosen, dan peneliti. Tokoh utama novelnya, Sarwono, seorang dosen, penyair, dan antropolog. Sarwono mencintai Pingkan dengan mempertaruhkan segala perbedaan latar suku, agama, dan kultur, yang membangkitkan konflik batin. Betapapun Sapardi Djoko Damono mencipta novel bermula dari puisi, ia menggugurkan dua hal: tipografi dan bahasa simbol. Ia meninggalkan tipografi puisi, dan sebagaimana seorang novelis, ia mencipta struktur narasi yang memenuhi konvensi, dengan tahap-tahap perkenalan, konflik, klimaks dan peleraian. Sebagaimana penulis novel pada umumnya, ia mempertaruhkan keutuhan kisah.

Jejak puisi pada trilogi novel Sapardi Djoko Damono lebih bertumpu pada suasana batin, dan perkembangan struktur narasi yang terpusat pada hegemoni kekuasaan. Ia bisa leluasa mengembangkan karakter tokoh, latar, konflik, dan bahasa sebagaimana lazimnya sebuah novel dikonstruksi. Ia tidak terikat pada simbol-simbol dan  tipografi yang biasa berpengaruh dalam ekspresi penyair.

Saya menikmati trilogi novel  Hujan Bulan Juni merupakan alih wahana puisi yang memanfaatkan kepopuleran Sapardi Djoko Damono sebagai penyair. Ia menawarkan teks yang menyentuh kesadaran mitos  dan pergulatan spiritual masyarakat Indonesia dengan multikultur. Puisi “Hujan Bulan Juni”, “Melipat Jarak”, dan “Yang Fana adalah Waktu”  menjadi pijakan suasana batin untuk mengembangkan novel yang menyentuh persolan-persoalan hegemoni kekuasaan.

Tak bisa saya ingkari, kehadiran penyair ini memberikan warna yang memperkaya khasanah sastra Indonesia mutakhir. Dalam penulisan novel yang pendek, ia menawarkan ragam novel yang berlumur dongeng dalam mencipta struktur narasi dan perkembangan karakter tokoh. Dalam kependekan novel yang diciptakan, nilai-nilai berbenturan, dan pertaruhan imaji tetap hadir secara sempurna. Ia hadir dengan dirinya  sendiri. Ia memberi warna keunikan penciptaan novel.

Ia menghadirkan konsep bahwa dunia terpecah antara dialogis ruang imaji, pembebasan kontemplasi, dan hegemoni kekuasaan. Dalam pandangan Kristeva (1987), novel  itu merealisasikan  eksistensi, penciptaan unsur-unsur baru yang diwujudkan atau diadakan dalam bentuk karya sastra yang berbeda dari teks hipogramnya. Ia mencipta novel dengan berpijak dari dunia kenyataan yang berlumur dongeng dengan perubahan-perubahan konteks sosial (politik), memasuki pergulatan kreatif yang besar membentuk pluralitas kanon sastra.

Masalah yang dikembangkan dalam esai ini adalah bagaimana penciptaan eksistensi hegemoni kekuasaan dalam novel trilogi novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Joko Damono?

***

Novel Hujan Bulan Juni mengisahkan tokoh Sarwono, dosen muda, peneliti, penyair, yang senantiasa membuka kesadaran transendental untuk mencipta dan memaknai puisi. Sarwono, tokoh utama novel ini memandang bahwa dukun zadul memang benar memiliki kekuatan gaib, “maka puisi yang ditulisnya itu jelas melampaui kekuatan segenap dukun yang pernah, masih, dan akan ada di mana saja di dunia ini”.

Sarwono juga memandang ibu sebagai tokoh dengan hegemoni kekuasaan, “ibu itu perawat, dewinya dewi – tidak jarang juga tirannya tiran”. Bahkan Sarwono merupakan tokoh yang melakukan dekonstruksi terhadap logosentrisme, yang selalu membongkar pandangan oposisi biner: pusat-pinggiran. Tokoh Sarwono, sebagai representasi pengarang, dilukiskan sebagai tokoh yang sama sekali tidak begitu memikirkan masalah konsep – bahkan sama sekali tidak berpikir bahwa ada masalah dengan yang disebut “pinggiran”. 

Kekasih Sarwono, Pingkan yang akan menempuh pendidikan di Jepang, juga memiliki pandangan bahwa hegemoni kekuasaan dikukuhkan dengan kekuatan koersif. Untuk melukiskan sakura yang berkembang hanya seminggu di awal musim semi, ia melukiskannya, “bagaikan ronin yang dipenggal kepalanya oleh samurai yang dikhianatinya”. Kita tahu,  ronin adalah sebutan untuk samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya pada zaman feodal Jepang (1185-1868).  “Kalau tuannya mati dalam perang atau duel, samurai harus melakukan harakiri – kalau tidak, ia akan menanggung malu seumur hidupnya”.

Hegemoni kekuasaan berkembang dalam pandangan tokoh-tokoh novel ini. Dalam pandangan Pingkan, Sarwono masih terbelenggu hegemoni kekuasaan tirani keraton, dengan olok-oloknya, “kau ini sudah sekolah tinggi-tinggi tapi otakmu masih juga ngelesot di bawah pohon sawo kecik di halaman keraton itu”.

Dekonstruksi hegemoni kekuasaan itu tidak hanya dilakukan Sarwono, tetapi juga dilakukan keluarganya  terhadap lingkup trah leluhurnya yang priayi. Mereka berdagang – sebuah profesi yang dipandang rendah, yang dinamakan pidak pedaraan. Sementara ayah Sarwono mengukuhi jalan hidup sebagai priayi, pegawai negeri, yang tunduk pada hegemoni kekuasaan, meskipun tidak sekaya saudara-saudaranya yang berdagang. Dekonstruksi logosentrisme itu bahkan menjadi laku transendental terhadap takdir dan nasibnya sebagai manusia. “Semprul juga penghuni Langit itu, gerutunya. Sarwono berusaha keras untuk tidak menjalani hidup pas-pasan”.

Terhadap hegemoni kekuasaan yang terpancar pada otoritas ilmu pengetahuan pun Sarwono menghadapinya dengan dekonstruksi. Ia tak bisa menerima pandangan ahli antropologi Clifford Geertz: priayi, abangan, santri. Ia menganggap Clifford Geertz telah melakukan kotak-kotak religiositas masyarakat Jawa. Ia tak bisa memasuki salah satu kotak yang dikategorikan Cliford Geertz, dan orang-orang lain pun – seperti Hartini, ibu kandung Pingkan – mengalami nasib yang serupa dengannya. Dengan ketenangan jiwa ia tak pernah masuk ke dalam kotak-kotak teori yang diterima sebagai adagium.

Pingkan harus menghadapi hegemoni kekuasaan keluarga untuk mempertahankan percintaannya dengan Sarwono. Begitu pula Sarwono harus berhadapan dengan hegemoni kekuasaan keluarga dan pandangan kesukuan yang sempit. Dalam keluarga Sarwono, mengambil calon istri Pingkan, gadis Manado, harus berhadapan dengan hegemoni kekuasaan keluarga yang memandang suku di luar Jawa sebagai liyan. Keluarga Pingkan dikatakan sebagai wong sabrang, yang dalam pewayangan mempunyai punakawan Togog dan Bilung, bukan Semar. Bagi kebanyakan orang Jawa, disebut Jawa memiliki makna berlapis-lapis. Semakin jauh dari lingkaran keraton, semakin surut pamornya. Ia menghadapi hegemoni kekuasaan yang membatasi pandangan sempit tentang suku dan kultur yang melingkupi kehidupannya.

Ketika saya membaca Pingkan Melipat Jarak, novel kedua trilogi Hujan Bulan Juni, berhadapan dengan spiritualitas Sapardi Djoko Damono yang memberi warna struktur narasi sergap-menyergap: realitas-dongeng, masa kini-masa silam, kesadaran-ketaksadaran, otoritas pribadi-hegemoni kekuasaan. Hegemoni kekuasaan itu dialami Pingkan saat berhadapan dengan ibunya. Ia tak mau membantah ibunya. Hegemoni kekuasaan ibunya tak terlawan siapa pun dalam keluarga, “… ibunya dilahirkan untuk tidak mau dibantah siapa pun, tidak terkecuali kerabatnya sendiri”.

Dalam novel ini pula kehadiran tokoh Katsuo tak berani berhadapan dengan hegemoni kekuasaan ibunya. Ibu Katsuo adalah seorang kaminchu yang sangat dihormati masyarakat Jepang yang masih menyisakan tata cara kehidupan leluhurnya, tata cara yang menempatkan perempuan di posisi amat terhormat. Katsuo tak ingin menentang hegemoni kekuasaan ibunya, dan mengecewakan keluarganya. Hubungannya dengan ibu sama tarafnya dengan penghormatan pada leluhur. Ia tak berani menerabasnya.

Katsuo, sebagai orang pinggiran Jepang, melakukan konfrontasi hegemoni kekuasaan. Ia berasal dari Okinawa yang dianggap lebih rendah kebudayaannya dari masyarakat Jepang yang tinggal di Honshu. Di zaman lampau, sebelum Kepulauan Rukyu dikuasai Jepang, berkembang adat-istiadat dan kepercayaan yang mengedepankan perempuan dalam menentukan nasib manusia. Dulu raja mereka di bawah kendali noro – pendeta perempuan yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan arwah nenek moyang dan dewa, di samping memiliki kekuasaan politik kerajaan. Kekaisaran Jepang yang berpusat di Honshu berhasil menguasai daerah itu sepenuhnya, dan menjadi kekuasaan Kaisar Jepang. Berkembanglah hegemoni kekuasaan yang berpusat di Honshu terhadap masyarakat Okinawa. “Seberapapun unggulnya orang Okinawa, di Honshu akan dianggap  sebagai orang kampung”.  Bagi masyarakat Okinawa, tinggal di Honshu sebagai upaya merebut identitas sebagai Jepang sejepang-jepangnya. Ini sebuah cara agar tidak menjadi liyan di negeri sendiri. Perlawanan hegemoni kekuasaan Katsuo dan latar spiritualitas masyarakatnya memberi warna konflik batinnya dalam mencintai Pingkan. Dalam pandangan Bocock, Katsuo melakukan konfrontasi terhadap “kepemimpinan berdasarkan persetujuan hegemonik”.   

Trilogi terakhir, Yang Fana adalah Waktu merupakan novel yang paling menarik, menerima Anugerah Buku Asean 2018. Novel ini menyingkap  konfrontasi hegemoni kekuasaan yang dilakukan Katsuo dan Noriko. Katsuo berhadapan dengan hegemoni kekuasaan ibunya yang memaksanya menikahi Noriko, gadis di kampungnya. Katsuo menuruti kehendak ibunya untuk menikahi Noriko, gadis yatim piatu. Ayah Noriko tentara Amerika dan ibunya perempuan Okinawa. Ayah Noriko tak pernah kembali dari pertempuran, dan ibunya meninggal dunia.

Tokoh Noriko menampakkan jejak kelam hegemoni kekuasaan kolonial di Okinawa, yang meninggalkan luka spiritual dalam hidup gadis itu. Ia blasteran, dan seringkali menutup diri dari hubungan sosial. Hibriditas identitas budaya Noriko yang datang dari masa lalu hegemoni kekuasaan kaum kolonial inilah yang menyebabkan Katsuo belum dapat menerima sepenuhnya sebagai istri. Yang mengejutkan, Noriko justru kabur dari Okinawa, membebaskan diri dari hegemoni kekuasaan ibu Katsuo dan masa lalu gelap yang melukai jiwanya. Ia ingin belajar dan tinggal di Indonesia. Sapardi Djoko Damono menciptakan tokoh yang menyimpang dari kelaziman, yakni kaum “penjajah” (Jepang) yang tergila-gila untuk memperlajari budaya kaum “terjajah” (Indonesia). Ia menciptakan tokoh yang datang dari masyarakat Okinawa yang terkekang hegemoni kekuasaan Kekaisaran Jepang, memilih hidup dan mempelajari budaya negeri bekas jajahan Jepang.

***

Hegemoni kekuasaan tidak sekadar menjadi deskripsi latar trilogi novel Sapardi Djoko Damono. Hegemoni kekuasaan menjadi latar batin empat tokoh yang terlibat percintaan yang rumit: Sarwono, Pingkan, Katsuo, dan Noriko. Karakter keempat tokoh itu dipengaruhi hegemoni kekuasaan yang melingkupi kehidupan mereka, menentukan cara berpikir, tindakan, dan keputusan-keputusan menghadapi konflik. Hegemoni kekuasaan telah mendasari struktur narasi trilogi novel Hujan Bulan Juni.

Keempat tokoh dalam novel ini masing-masing menjalani takdirnya sendiri ketika berhadapan dengan hegemoni kekuasaan.

Pertama, tokoh Sarwono berhadapan dengan hegemoni kekuasaan ibu tanpa melakukan konfrontasi, memilih pekerjaan seperti leluhurnya, sebagai priayi. Ia melakukan konfrontasi, bahkan dekonstruksi terhadap otoritas ilmu pengetahuan, yang membawa kesadaran baru dalam menerima perkembangan zaman.

Kedua, tokoh Pingkan menghadapi hegemoni kekuasaan keluarga, tetapi kecerdasan dan empati kemanusiaannya telah membebaskan diri dari setiap konflik yang membelenggunya.

Ketiga, tokoh Katsuo tak bisa membebaskan diri dari hegemoni kekuasaan ibu, meskipun pada akhirnya memberontakinya. Yang dilakukannya adalah membebaskan diri dari logosentrisme pusat-pinggiran dalam hegemoni kekuasaan..

Keempat, tokoh Noriko melakukan pembebasan terhadap hegemoni kekuasaan ibu Katsuo. Ia juga membalik pandangan kaum kolonial yang merasa superior terhadap manusia negeri bekas jajahannya, dan menyempurnakan jatidirinya untuk mempelajari budaya masyarakat bekas negeri jajahannya.

Saya menemukan kesadaran yang mendalam saat Sapardi Djoko Damono menyusupkan hegemoni kekuasaan merasuki keempat tokoh utama trilogi novelnya. Ia memang menciptakan karakter tokoh, struktur narasi dan kisah yang digerakkan latar hegemoni kekuasaan yang melingkupinya. Ia  menghadirkan trilogi novel dengan kisah-kisah yang hidup yang berakar pada masyarakatnya, serupa dongeng yang menyihir pembaca. Ia masih ingin terus mencipta novel, tetapi penghuni Langit memanggilnya.

***


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan  program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.  

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *