Cerpen
Kuli Bawah Tanah

Kuli Bawah Tanah

MATA Bungaran yang lancip selalu menatap dinding kamar kuning mengelupas. Dinding bagian barat, terdapat foto ibunya dengan pigura cokelat kehitaman. Satu foto putih abu-abu yang tersisa setelah hari—yang dianggap Bungaran—pemberangkatan. Setiap hari Minggu, tangan Bungaran menjangkau pigura itu dan mengelapnya dengan sobekan kain. Sekadar untuk menerbangkan debu-debu yang bersarang di sana.

Siapa pun yang hendak masuk dan mendorong pintu kamar Bungaran, ia akan merasakan deritan mistis. Umpama orang kesakitan, tetapi bukan. Sebab, itu hanya suara pintu biasa yang mirip pintu puluhan tahun tidak dibuka. Meski begitu, kamar Bungaran tetap bersih, ia senantiasa menjaga kebersihan kamarnya. Ia takut kalau ibunya tahu dan marah-marah jika kamarnya terdapat banyak sampah berceceran.

Ia juga pelan-pelan lupa pada Ruksam, ayahnya. Sudah hampir satu bulan Ruksam tidak berada di rumah sejak hari keberangkatan ibu Bungaran. Sementara, Bungaran tidak pernah mencarinya ke mana pun. Ia hanya berdiam di kamarnya, menatap dinding dan berlarut-larut pada foto putih abu-abu itu. Ia tidak pernah berpikir bagaimana, seandainya Ruksam mati di tengah jalan dihantam truk bermuatan berat. Atau mayatnya tiba-tiba ditemukan di kali sebagaimana banyak diberitkan televisi.

Kekhawatiran memang tidak pernah menghampiri Bungaran, ia lupa pada hal-hal lain di luar kamarnya. Di kepala Bungaran sendiri senyatanya banyak hal-hal yang terus mengusik hidupnya. Ia berpikir sendiri tanpa bantuan siapa pun, termasuk Ruksam.

“Lelaki harus kuat, tidak boleh lemah.”

“Tidak boleh menangis, sebab itu hanya pekerjaan perempuan, seperti ibu.”

Selalu begitu, Bungaran seperti menasehati dirinya sendiri. Ia tidak pernah segan berbisik pada dirinya sendiri sambil menatap dadanya yang berotot. Ruksam memang seperti lelaki keparat. Bukan cuma sekarang Ruksam tidak ada di rumah. Dari dulu Ruksam senantiasa banyak di luar rumah. Ia akan menjawab banyak urusan, jika ditanya. Padahal, sudah jadi rasan-rasan tetangga sebab pernah dua bulan tidak pulang sama sekali. Tetapi, ia bukan lelaki gila, Ruksam masih waras sebagai manusia pada umumnya. Sepengetahuan Bungaran, dahulu, ayahnya selalu berada di rumah kepala desa berapa pun lamanya. Hanya itu yang diketahui Bungaran, tidak lebih.

Pikir  Bungaran, hal itu yang membuat ibunya tidak betah. Ruksam yang tidak berkerja menjadi sebab ekonomi rumah tangga pailit. Musim pancaroba menyerang ibu Bungaran yang hanya sendirian menananggung beban. Ibu Bungaran juga tidak pernah menegur langsung suaminya, ia selalu tunduk dan patuh. Bungaran juga demikian, ia tidak pernah membantah atau menyindir ayahnya yang tidak pulang-pulang. Ia takut kalau tiba-tiba tangan Ruksam yang kekar mendaratkan tamparan di pipinya.

“Menjadi lelaki harus punya harga diri, Nak. Kalau tidak sanggup membiayai istrimu kelak, paling tidak jangan biarkan ia sendirian.”

Bungaran paham, kata-kata dari mulut ibunya keluar duhulu disebabkan oleh Ruksam. Itu pula yang, menurut Bungaran, membuat ibunya tidak betah di rumah. Ia meminta izin terlebih dahulu pada Ruksam untuk pergi dari rumah dan mencari pekerjaan di luar. Ruksam tidak mencegahnya, padahal Bungaran ingin sekali mencegah ibunya pergi. Ruksam malah kelihatan seperti orang yang tidak peduli sama sekali. Mereka melepas perempuan itu dengan bawaan beberapa baju dalam tas hitam. Bungaran hendak menangis, tetapi ia takut pada Ruksam. Akhirnya, mengurung diri di kamar adalah jalan satu-satunya sambil melihat foto layu ibunya.

***

Seminggu dua minggu tidak terdengar kabar apa pun tentang ibunya. Bungaran sama sekali tidak mengetahui keberadaan ibunya sekarang. Bungaran menjalani hari-harinya di kamar, sekali duakali pula bolos sekolah. Intinya, semenjak ibunya tidak ada di rumah, ia mulai menjadi manusia serba malas, kecuali pada kebersihan kamarnya. Ia sampai tiga empat hari tidak pernah menyentuh air di kamar mandi. Tidak ada yang menegur Bungaran berbuat demikian. Rasan-rasan tetangga semakin deras, tetapi Bungaran tidak pernah mendengar hal itu. Bagaimana mungkin seorang perempuan—yang sering dipandang lemah—dibiarkan bekerja sendirian oleh suaminya.

“Kewajiban mencari nafkah tidak hanya untuk suami, istri juga punya kewajibannya,” jawaban Ruksam selalu begitu menanggapi para rasan-rasan tetangga.

“Perihal aku yang tidak pulang, aku banyak urusan. Kalau urusan ini sudah selesai, aku kan jadi orang kaya di kampung ini,” jawabannya ketika disinggung perihal tidak pernah pulang ke rumahnya dan membiarkan Bungaran hidup sendirian.

Satu bulan lima hari, setelah keberangkatan istrinya, Ruksam pulang ke rumah. Ia membawa kabar perihal istrinya pada Bungaran. Kali ini, tangis Bungaran sudah tidak tertahan lagi. Ruksam menyampaikan kalau ibu Bungaran mati. Tidak tahu ia sendiri dapat dari mana, tetapi begitulah yang disampaikan pada Bungaran.

Meski air matanya membasahi separuh wajah dan pipinya, ia tetap tidak percaya bahwa ibunya mati. Bungaran meyakini jika pada hari Lebaran nanti ibunya pulang dan merayakan Lebaran di rumah bersama-sama. Itulah mengapa Bungaran kerap membersihkan kamarnya, takut-takut ibunya datang mendadak.

Ruksam benar-benar tidak peduli, ia hanya menyampaikan kabar itu dan kembali lenyap. Tidak ada upacara untuk kematian istrinya. Bungaran sendiri tidak tahu hendak melakukan apa agar ibunya kembali dan tidak dituduh mati. Tentu rasan-rasan tetangga semakin menjadi-jadi, apalagi kabar kematian ibu Bungaran yang tanpa upacara sedikiti pun disiarkan lewat pengeras suara musalla. Pengeras suara yang setiap hari memberikan keramain-keramaian di kepala Bungaran.

Bungaran mendengar desas-desus dari tetangga yang rumahnya hanya dibatasi jalan gang. Katanya, Ruksam menjadi makelar untuk tanah-tanah yang dijuali di kampung ini. Setiap hari ada banyak orang asing yang mencari tanah lewat jalan ayah Bungaran. Kemudian, mereka menggunakan jasa buldoser untuk menumbangkan pohon dan mengeruk tanahnya dalam-dalam. Bungaran tidak peduli itu, ia hanya ingin ibunya kembali dan ayahnya tinggal di rumah.

Memang sudah banyak pohon-pohom tumbang dan tanah seperti tinggal kerangka tulang. Katanya lagi, mereka yang tanahnya dikeruk itu sudah dibanderol harga sangat tinggi. Dari harga yang tinggi ini, Ruksam mendapat tidak sedikit penghasilan. Tetapi, bagi Ruksam, sama sekali tidak cukup. Masih banyak kekurangan yang harus dicukupi dari uang, puluhan tanah yang dijual lewat perantara Ruksam tidak menutupi itu.

***

Tahu ayahnya begitu, Bungaran mulai keluar dari kamarnya setiap malam. Ia mendatangi lubang galian tanah warga yang terjual. Lagi-lagi berkat petunjuk tetangganya, ia tahu mana tanah yang dijual lewat perantara ayahnya. Ia tidak mendatangi lubang galian waktu siang, sebab keamanan di sana ketat. Sementara di waktu malam, tidak ada seorang pun yang menjaga. Bungaran dengan suara setengah nyaring menyebut-nyebut nama ibunya. Siapa tahu, pikirnya, ibunya ada di sana atau di balik tumpukan tanah-tanah hasil galian. Bungaran juga tidak berpikir untuk apa ini semua dilakukan, mengapa tanah-tanah dikeruk sedemikian dalam.

Sesudah belusukan pada tanah yang digali, Bungaran tetap memilih kamarnya tempat pulang. Pelan-pelan membuka pintunya yang ketika berderit membuat bulu kulit bergidik dan berhenti ketika sudah terkatup dengan tembok.

Mata Bungaran yang lancip kembali memandagi langit-langit kamar dan foto hitam putih ibunya. Ia mencari-cari cari bagaimana ibunya agar lekas pulang. Ia sudah bosan sendirian di rumah hanya ditemani guling bau apak. Pikirannya tetap kembali pada tanah galian, pada ibunya yang dituduh mati sejak beberapa minggu lalu. Sampai detik ini, hanya itu yang terbersit di kepalanya, tidak ada apa pun lain; tidak akan ditemukan nama Ruksam dalam kepala Bungaran.

Sebagaimana manusia pada umumnya, setiap yang mati pasti dikubur. Bagitu pula dalam bayangan Bungaran perihal ibunya. Walau menurut Bungaran itu hanya akal-akalan ibunya agar mendapat perkerjaan di dalam tanah. Bungaran juga yakin berkerja di perut tanah tidak semudah berkeja di dunia. Ibunya hanya terpaksa sebab lowongan pekerjaan di dunia ini sudah tidak ada.

Di dalam tanah pula, satu-satunya pilihan cuma kerja rodi dan romusa. Ibu Bungaran hanya diberi upah satu bungkus nasi dengan lauk kangkung. Mirip penjajahan saja, pikir Bungaran. Sambil memejamkan mata, hatinya terbesit membayangkan tanah galian yang—barangkali—di sana ibu Bungaran berdiam, lalu menikah dan beranak lagi.[]

~ Yogyakarta, 2021.


Penulis

Moh. Rofqil Bazikh tercatat sebagai mahasiswa Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga sekaligus bergiat di Garawiksa Institute Yogyakarta. Anggitannya telah tersebar di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Harian Merapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dll. Bisa ditemui di surel[email protected] atau twitter @rofqil_bazikh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *