Esai
SASTRA, SASTRAWAN DAN KEKUASAAN

SASTRA, SASTRAWAN DAN KEKUASAAN

“Banyak keajaiban di dunia, tapi tak ada
yang lebih ajaib selain manusia itu sendiri.”
(Sophocles)

/1/
Dalam menghadapi persoalan kekuasaan, sastra hadir selain merupakan eksperimen moral, sastra juga merupakan kenyataan sosial. Di dalamnya tampak bahwa kekuasaan senantiasa menjadi ideologi zaman yang mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra. Mulai dari sastra-sastra klasik semisal epos Ramayana karya Walmiki atau Mahabarata karya Wyasa, teks-teks sastra tak luput pada masalah sentral kekuasaan dan hegemoni negara. Mahabarata misalnya, mulai dari parwa pertama adi parwa hingga parwa kedelapan belas—swargarohana parwa, kekuasaan menjadi tema dasar yang menggerakkan konflik tokoh-tokohnya. Dari persoalan kekuasaan itu muncul hero-hero yang di mata pembaca menjadi suri teladan bahkan tidak jarang dicoba diidentifikasikan atau dicitrakan pada realitas hidup. Sastra menjadi berkewajiban untuk melahirkan pahlawan dan rasa kepahlawanan, menghadirkan hero dan heroisme.

Di Perancis pada abad pertengahan dikenal satu genre sastra yang disebut sebagai chanson de geste, bentuk puisi naratif bertemakan kepahlawanan yang dipanggungkan dengan diiringi alat musik petik. Puisi naratif kepahlawanan yang paling populer di masyarakat Eropa waktu itu adalah Chanson de Roland yang terdiri dari 4002 baris sajak. Puisi ini mengisahkan kepahlawanan tokoh ksatria Roland yang mengabdi pada raja Charlegmane yang akhirnya gugur dalam peperangan melawan musuhnya. Cerita semacam Chanson de Roland ini secara substansial sejajar dengan salah satu drama klasik Jepang Nakamitsu (anonim) atau Kaba Cinduo Mato, sastra klasik Minangkabau.

/2/
Persoalan kekuasan ini berisiko membawa sastrawan pada sebuah kenyataan paradoksal, yakni di satu pihak secara sadar atau tidak ‘terpaksa’ melegimitasi kekuasaan dan pada titik yang lain melakukan counter atau perlawanan terhadap kekuasaan. Paradoksal semacam ini dalam sastra klasik sangat jelas karena dalam kehidupan riil banyak pujangga yang bekerja pada penguasa yang mengakibatkan split personality dan mempengaruhi proses kreatif.

Kondisi keterbelahan ini di Eropa dialami oleh Clement Marot (1496-1544) seorang pujangga kesayangan dari Raja Francois I dari istana Perancis pada awal Renaissance. Marot menulis sebuah teks karya sastra Perancis yang pertama kali secara transparan tapi jenaka mengkritisi praktik-prakik sosial di zamannya yang membuatnya dikejar-kejar kaum gereja dan bangsawan tetapi secara diam-diam juga dilindungi oleh Raja.

Keterbelahan seperti ini juga dialami oleh pujangga besar Jawa, Ronggowarsita. Ronggowarsita yang bekerja sebagai pujangga keraton Solo selain menciptakan teks-teks sastra profan seperti Serat Wirid Hidayat Jati juga karena kekecewaannya terhadap sistem pemerintahan keraton, akhirnya melahirkan serat Kalatida yang memotret sekaligus mengkritisi penguasa yang mengakibatkan rakyat berada dalam penderitaan yang disebutnya sebagai jamam kalatida atau kala bendu.

Sebaliknya teks sastra yang secara sadar melegitimasi kekuasaan dapat ditemui pada serat Wedhatama karya Mangkunegara IV. Dalam serat Wedhatama kedudukan penguasa dinasti Mataram berusaha dilegitimasi bahkan kemudian dimitoskan. Teks Wedhatama secara paradoksal mengetengahkan hero sekaligus tuntunan moral namun di sisi lain hero dan tuntunan moral itu secara terang-terangan digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.

Pada sastra Indonesia modern keterbelahan dan paradoksal itu tetap saja terjadi meskipun telah bermetamorfosa dalam bentuk yang berbeda. Roman-roman Balai Pustaka misalnya, merupakan kompromi dari keparadoksalan tersebut. Pengarang-pengarang Balai Pustaka selain sebagai individu yang bebas juga “terpaksa” mengikatkan diri terhadap ketentuan yang digariskan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melalui lembaga Balai Pustaka. Pada posisi seperti ini secara esensial sebenarnya pengarang-pengarang Balai Pustaka situasi dan posisinya tidak berbeda seperti pujangga-pujangga klasik yang selain sebagai individu kreatif juga sebagai “abdi keraton” atau penguasa. Hasil dari upaya kompromi ini dalam teks-teks sastra Balai Pustaka kekuasan tidak goyah sedikitpun bahkan kepahlawanan diidentikan dengan loyalitas pada penguasa. Tokoh Samsul Bahri muncul sebagai hero meskipun ia prajurit Kompeni sedangkan tokoh Datuk Maringgih yang melawan kekuasaan Hindia Belanda justru dikesankan menjadi tokoh antagonis.

Pada masa Jepang paradoksal dan keterbelahan terlihat ketika pemerintah militer Jepang melalui Sendebu (Departemen Propaganda) mendirikan komisi kebudayaan yang dikenal dengan nama Keimin Bunka Shidoso. Melalui lembaga ini satrawan-satrawan muda seperti Chairul Saleh, Rivai Apin, dan Idrus bekerja untuk menulis, menyeleksi, dan menyebarluaskan bahan bacaan tertulis kepada rakyat yang tentu saja steril dari kritik yang membahayakan pemerintahan Jepang.

Pada awal rezim Orde Baru barulah sastra Indonesia berhasil membebaskan diri dari paradoksal dan kemenduaan ini ketika kekuasaan tidak lagi memainkan peran sebagai patron atau pelindung sastra. Maka sastrawan dan karyanya pun mulai berani secara langsung “bermuka-muka” melawan kekuasaan. Akibat dari hegomoni kekuasaan yang terlampau reseptif pada rezim orba ini justru membawa beberapa teks sastra kita pada posisi yang kohesif melakukan oposisi.

Teks-teks sastra bernada protes bermunculan yang kemudian berakibat pelarangan terhadap teks sastra atau pementasan sastra dan bahkan berimbas langsung pada penangkapan dan penahanan pengarangnya. Hero dan kepahlawanan tidak saja muncul dalam teks tetapi muncul pada diri sang kreator yang berada pada dua titik ketegangan. Satu titik ia tidak dapat hidup di luar kenyataan, di titik yang lain ia tidak dapat menerima kenyataan.

Dengan “bersinggungan” dengan masalah kekuasaan itulah sastra hadir menjumpai pembaca untuk menyajikan sebuah realitas ideologis dengan merujuk pada realitas konkret yang dialami pengarang dan lingkungan sosialnya, sekaligus pula realitas ideologis ini juga merupakan tandingan dari realitas konkret itu. Realitas ideologis dalam teks tidak melulu berteriak atau bernada protes, namun dapat berwujud pelukisan realitas sosial dengan diikuti upaya perekontruksian ke arah yang lebih baik, pemikiran filosofis yang melandasi penilaian tentang apa yang terjadi, penyajian analisis sosial yang menyiasati perubahan sosial atau sumbangan wujud pemikiran, gagasan dan pandangan alternatif atas realitas yang sedang dialami atau yang mungkin dapat dicapai kelak di kemudian hari.

/3/
Bersinggungan dengan persoalan kekuasaan, teks sastra juga dapat hadir sebagai dokumentasi sejarah yang di dalamnya penuh dengan luka-luka manusia. Demikian pula yang dapat dicatat dari awal tumbuh dan perkembangan sastra Indonesia modern tak lepas dari persolan luka kemanusiaan dan luka bangsa .

Dalam sastra kita, monumen-monumen luka manusia ini juga diikuti dengan hero-hero yang keheroikannya bisa jadi tidak sedahsyat cerita-cerita dalam sejarah ansich. Ambil contoh roman Surapati karya Abdoel Moeis, Pulang (Toha Mohtar), Surabaya, Corat-coret di Bawah Tanah (Idrus), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Keluarga Gerilya, Perburuan, Bumi Manusia ( Pramoedya Ananta Toer) dan Burung-burung Manyar karya J.B Mangun Wijaya, semua menunjukan sisi paradoksal antara hero, heroisme dan tragik. Tokoh Untung Surapati dalam sejarah ditampilkan sebagai sosok yang memilki kompleksitas kejiwaan, mulai dari persoalan harga diri hingga affair-nya dengan seorang noni Belanda bernama Suzana.

Demikian pula tokoh Tamin dalam Pulang, dan tokoh Gurui Isa dalam Jalan Tak Ada ujung, tidaklah tampil sebagai tokoh yang super sakti dan super hebat seperti hero-hero dalam sejarah ketika berhadapan dengan kekuasaan, tetapi justru memotret kondisi jiwa yang terjepit dan tersia-sia. Tokoh Tamin bisa tampil sebagai hero setelah menyadari betapa ia telah tercerabut dan tidak berartinya bagi lingkungannya. Tokoh guru Isa bahkan harus menjadi seorang yang impoten dan penakut terlebih dahulu sebelum mendapatkan keberanian. Rasa heroismenya muncul justru pada saat ia berada pada puncak ketakutan ketika mengalami penyiksaan serdadau Belanda di tahanan.

Munculnya hero dan heroisme dibarengi dengan tragedi mulai tampak dengan kuat pada karya-karya masa 1940-an pada saat pendudukan Jepang. Pendudukan singkat Jepang telah membawa perubahan yang luar biasa dalam aspek linguistik dan wilayah imajinasi literer—yang oleh Teeuw (1980) disebut sebagai cultural revolution. Pada masa sebelumnya (Poejangga Baroe dan Pra-Pujangga Baroe) karya sastra kita cenderung menampilkan hero dan heroisme dengan berteriak lantang, gegap gempita nyaris tanpa darah dan luka. Puisi-puisi M. Yamin “Bahasa Bangsa” dan Sanusi Pane, “Doa” misalnya tampil dengan gagah perkasa dan lantang menyuarakan pemujaan sekaligus kerinduannya terrhadap kebesaran Indonesia masa lalu.

Sajak-sajak Yamin dan Pane sama-sama mengingatkan kita pada konsep kebudayaan kebangsaan yang dianut para pemuda di wilayah pergerakan seperti nasionalisme Jawa versi Soerjo Koesoemo atau nasionalisme Sumatera model Mohamad Amir dan Bahder Johan. Dalam perkembangan selanjutnya, novel-novel Sutan Takdir Alisyahbana (STA) seperti Layar Terkembang, Kalah dan Menang, serta Grota Azura mencoba membentangkan hero dan heroisme dalam upaya menyosialisasikan orientasi kebudayaan dan kebangsaan. Justru karena hero dan heroisme tampil kelewat ‘gagah perkasa’ novel-novel STA menjadi kelihatan “musykil” dan ajaib, yang oleh Keitch Foulcher (1991) malahan dikatakan tidak segemilang esai-esainya.

Pada karya-karya berikutnya tragedi luka-luka kemanusiaan beriringan dengan hero dan heroisme ini semakin tampil mencekam. Luka-luka kemanusiaan yang muncul bersamaan dengan hero dan heroisme itu masuk pada ruang-ruang tragedi pribadi, keluarga dan masyarakat. Karena itu dalam cerita-cerita Pramoedya dapat kita temukan sebuah kegetiran dan tragedi yang dahsyat ketika seorang bapak harus tega memenggal kepala bapanya yang menjadi mata-mata musuh. Dapat pula ditemukan sorang kakak yang menukar kehormatannya dengan nyawa adiknya yang tertangkap musuh. Pada titik ini pembaca dipaksa untuk menyaksikan tragic of execution, sebuah tragedi yang memperkuat hero dan heroisme, juga sebaliknya hero, heroisme yang memperjelas dan menegaskan ketragikan.

Kekuasaan, hero, heroisme dan ketragisan dalam karya sastra kita juga dihadirkan tidak saja dalam nada getir namun bisa juga sinis, satire bahkan menggelikan. Dalam Corat-coret di Bawah Tanah dan Surabaya, Idrus memandang dari sisi lain peristiwa pertempuran Surabaya. Pertempuran Surabaya yang menggetarkan itu di dalam teks sastra karya Idrus justru ditampilkan dengan parodi. Para pemuda yang bersenjata dilukiskan sebagai cowboy-cowboy pemula yang sedang memiliki kegemaran baru bermain-main dengan senjata. Hero dan heroisme tidak lagi diletakkan sebagai sesuatu yang keramat, sakral dan luar biasa namun diletakan pada sebuah situasi kejiwaan yang ganjil yang tumbuh dari situasi chaos yang bisa jadi tidak disadari dan tak dimengerti oleh ‘sang hero’ itu sendiri.

Cerpen-cerpen Idrus ini mengingatkan kita pada naskah Don Quixote de La Mancha karya Carvantes. Melalui tokoh ‘hero’-nya, Don Quixote (Don Kisot), Carventes menyindir kaum bangsawan dan satria pada zamannya yang gemar memposisikan diri sebagai hero. Bagi Carventes (juga Idrus) hero dan heroisme tidak lebih dari khayalan menggelikan dari segelintir orang yang merasa telah berbuat sesuatu yang besar yang sebenarnya hanyalah ilusi belaka dari ketakberdayaan. Heroisme adalah sebuah pelarian dari utopia yang tak kunjung mewujud.

Berkaitan dengan kekuasaan, sudah lama pula teks-teks sastra dianggap bisa juga mewadahi dan menghadirkan kerinduan akan “hero-hero imajinatif” dari masyarakat akibat krisis hero dalam realitas itu sendiri. Teks sastra dianggap mampu menawarkan suatu gambaran ideal seorang hero yang danggap dapat menawarkan sebuah dunia yang juga ideal justru pada saat realitas sosial masyarakat berada dalam puncak frustasi. Contoh semacam ini dapat ditemukan dalam serat Sabda Pranawa dan Kalatida, karya pujangga Jawa terakhir, Ranggawarsita. Kalatida yang berarti zaman edan (disebut juga kalabendu) menggambarkan carut marutnya sosial, budaya dan ekonomi masyarakat akibat krisis pemimpin yang ideal. Penderitaan ini berakhir setelah munculnya pemimpin baru, hero baru bernama Ratu Adil yang membawa masyarakat pada zaman keemasan (kalasabu).

Pada akhirnya, penghadiran hero-heroisme sekaligus tragedi di tengah persoalan kekuasan dalam sastra pada hakikatnya ingin menunjukan bahwa realiatas sehari-hari gerak-gerik manusia ada batasnya, dalam sastra apa yang terjadi dalam realitas bisa diulang dan diolah kembali dengan berbagai kemungkinan dan penafsiran yang berbeda-beda.

/4/
Persoalan kekuasan dalam teks satra tidak melulu berbicara mengenai perlawanan dalam menghadapi hegemoni, tetapi bisa saja menawarkan konsep-konsep kekuasan yang dianggap ideal. Lihat saja novel Tambo, karya Gust Tf. Sakai. dalam Tambo. Melalui dua tokoh, yakni Sutan Balun dengan kakaknya Sutan Marajo digambarkan pertemuan dua paham konsep kekuasaan yang bertolak belakang. Sutan Marajo atau Adityawarman, yang karena sejak kecil di besarkan di Jawa (Majapahit) menganut paham kekuasaan sentralistik, otoriter, dengan tumpuan pada pemujaan kekuatan perang berhadapan dengan Sutan Balun yang karena pengembaraannya yang luas lebih condong pada paham yang berpola desentralistik dan lebih egaliter.

Perbedaan pola konsep kekuasaan yang berbeda tersebut pada dasarnya menggambarkan khazanah perbendaharaan budaya Indonesia yang memang diwakili dua kutub yang saling bertolak belakang. Kutub Jawa yang berpola sentralistik, sentripetal, dan feodalistik berhadapan dan bersinggungan dengan kutub budaya Melayu yang berpola desentralistik, sentrifugal, dan lebih egaliter. Pilar budaya Jawa secara par excellence diwakili budaya Mataram (Mentaraman) yang berakar dari kebudayaan Majapahit, dan budaya Melayu yang secara par excellence pula diwakili Minangkabau. Dalam novel Tambo, kebudayaan Jawa diwakili oleh tokoh Adityawarman alias Sutan Marajo dan kebudayaan Melayu Minangkabau diwakili oleh Sutan Balun.

Tokoh Sutan Marajo atau Adityawarman sebagai mantan panglima perang Majapahit digambarkan sangat memuja pada otoritas kekuasan tunggal dengan penekanan kekuatan armada perangnya. Kekuatan pasukan dan perang menjadi mesin legitimasi dan dominasi budaya merupakan pilihan pertama bagi kelangsungan hegemoni kekuasaan dan kebudayaan. Konsepsi pola kepemimpinan Jawa di mana raja dipandang sebagai pusat kekuasaan dan kekuatan bahkan pusat kosmologi semesta. Konsep ini tercermin dengan doktrin kekuasaan dan gelar-gelar raja Majapahit dan selanjutnya menurun pada dinasti kerajaan Mataram sebagai penguasa-penguasa besar di tanah Jawa.

Doktrin seperti misalnya: sabda pandhita ratu, ratu gung binathara bau dhendha anyakrawati, Rajasanagara Sang Amurwabhumi (Maharaja Negara Pemelihara Bumi) yang kemudian berlanjut pada gelar-gelar raja Mataram (Mentaram Islam): Pakubuwono, Hamengkubuwono, Sayidin panatagama khalifatullah serta konsep patrilineal, menunjukan bagaimana kekusaan seorang raja (pemimpin) bersifat mutlak dan tergugat. Dengan gelar-gelar kebesaran itu kekuasaan Raja-raja atau pemimpin Jawa tidak saja sebagai pusat kekuasaan sosial tetapi juga menjadi pusat kosmos atau semesta, bahkan menjadi wakil Tuhan di bumi. Raja sebagai Tuhan dan rakyat sebagai titah atau mahluk yang tergantung sepenuhnya pada tangan kekuasaan Raja.

Paham dan konsep kepemimpinan Jawa yang dibawa Sutan Marajo Basa atau Adityawarman yang cenderung otoriter, patrilineal, dan feodal ini berhadapan dengan konsep Sutan Balun yang membawa konsep dan pola kepemimpinan Melayu Minangkabau yang lebih demokratis dan egaliter di mana raja bukan merupakan pusat kekuasaan apalagi pusat semesta. Karena pengembaraan Sutan Balun mengunjungi berbagai negeri termasuk pusat-pusat kebudayaan dunia (Persia, Arab, Cina dan Romawi-Yunani) di mana Sultan Balun memperoleh banyak pengetahuan, dapat dimunculkan sebuah konsep kepemimpinan baru dimana Raja tidak memiliki kebenaran yang mutlak tapi dapat juga dikritik atau dikontrol.

Dalam novel Tambo tersebut tampak bahwa bagi tokoh Sutan Balun, musyawarah, kebijakan bersama, perundingan, dan dialog budaya dapat lebih efektif bagi perkembangan kekuasan, peradaban dan keseimbangan semesta daripada peperangan dan kekerasan yang hanya menyisakan kesewenangan dan penderitaan apapun motif dari peperangan itu. Secara tersirat melalui novel tersebut pengarang dengan halus ‘menyindir’ dan mengritik (otokritik) peradaban dan sejarah kekuasaan Jawa dan Melayu yang penuh dengan penaklukan, peperangan dan kekerasan.

/5/
Dalam relasinya dengan kekuasaan dengan berbagai atributnya, sastrawan dan teks sastra selain melakukan counter juga berusaha menghadirkan penawaran-penawaran baru bergantung pada latar atau visi pengarangnya. Penawaran-penawaran yang berupa “narasi-alternatif” ini pada satu titik akan membuat publik pembaca mendapatkan perluasan cakrawala dalam memandang persoalan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya sastra Indonesia masa ini secara efektif bisa dipakai untuk membangun atau membentuk sosok manusia Indonesia yang mungkin bisa berbeda dengan manusia Indonesia masa lampau.

Akhirnya yang bisa dicatat di akhir tulisan ini adalah sastra hari ini memang berbeda dengan sastra masa lampau, sastra zaman ini berbeda dengan zaman yang akan datang, hari ini berbeda dengan esok pagi. Tetapi sastra yang serius akan tetap menghadirkan manusia dengan segala problematika kemanusiaannya secara jujur, serta telanjang sesuai dengan zamannya. []


Penulis:

TJAHJONO WIDIJANTO. Penyair Nasional dan Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya a.l: Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpula Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011), Penakwil Sunyi di Jalan-jalan Api (2018), Wangsit Langit (2015), Janturan (Juni, 2011), Cakil (2014), , Menulis Sastra Siapa Takut? (2014),, Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Kepustakaan Populer Gramedian dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010), , Compassion & Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009), dll..

Diundang dalam berbagai acara sastra, a.l:, Cakrawala Sastra Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta,2004),  memberikan ceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan  (Juni, 2009), Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival  2009), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), dll. Memperoleh Penghargaan Sastra Pendidik dari Badan Pusat Bahasa (2011), Penghargaan Seniman (Sastrawan) Gubernur Jawa Timur (2014) dan Penghargaan Sutasoma (Balai Bahasa Jawa Timur, 2019)

Memenangkan berbagai sayembara menulis a.l: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2004), , Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010), Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009), Pemenang II Sayembara Esai Sastra Korea (2009), dll.

Tinggal di Ngawi, Jawa Timur. Hp: 082143785362; 08155615593

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *