Esai
Antara Feminisme dan Genderisme

Antara Feminisme dan Genderisme

Gerakan kaum perempuan yang diawali dengan gerakan emansipasi kemudian berayun menuju feminis lantas bermuara pada kesetaraan gender sesungguhnya adalah gerakan transformasi dan bukan gerakan balas dendam kaum perempuan kepada kaum laki-laki. Hal itu berarti gerakan perempuan harus dimaknai sebagai proses gerakan untuk menciptakan hubungan yang setara yang lebih humanistis dan lebih baik. Hubungan kesetaraan ini bisa meliputi ranah ekonomi, politik, sosial, kultural, pendidikan dan lingkungan.

Pada awalnya feminisme sebagai kelanjutan dari emansipasi tidak dapat melepaskan diri dari konteks politik. Keterikatan feminisme dengan politik memang menunjukkan ciri feminisme sebagai gerakan bertabiat politis karena memang sejak kemunculannya didasarkan pada gugatannya atas struktur interaksi kekuasaan yang memarjinalkan kaum perempuan. Gugatan atas struktur interaksi kekuasaan inilah yang menunjukkan martabat politik feminisme. Semua aliran-aliran feminisme selalu menggugat dan mempertanyakan dengan tajam hubungan hegemoni, dominasi dan subordinasi laki-laki dan perempuan. Feminisme pun tumbuh sebagai sebuah gerakan sekaligus pendekatan yang berupaya mengubah struktur yang ada karena dianggap sebagai biang keladi atas ketidakadilan terhadap kaum perempuan.

Sejalan dengan perkembangan zaman, gerakan feminisme pun berkembang sehingga lahir aliran-aliran dalam feminisme. Setidaknya, oleh Dr. Riant Nugroho (2011), dikategorikan atas sebelas aliran feminisme, yaitu (1) feminisme liberal, (2) feminisme radikal, (3) feminisme radikal libertarian, (4) feminisme radikal kultural, (5) feminisme marxis sosialis, (6) feminisme psionalisis, (7) feminisme eksistensialis, (8) feminisme postmordenisme, (9) feminisme multikultural dan global, (10) feminisme kulit hitam (black feminism) dan (11) feminisme Islam.

Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke-18 dengan dasar asumsi  dari John Locke yaitu natural rights (hak asasi manusia). Dalam masa itu ada anggapan bahwa pemenuhan HAM hanya diperoleh oleh kaum pria. Perempuan dianggap kurang daya rasionalitasnya sehingga tidak memiliki hak-hak sebagai warga negara. Feminisme liberal memberikan landasan teoritis akan kesamaan perempuan dalam potensi rasionalitas dengan kaum lelaki. Namun karena perempuan ditempatkan pada posisi ketergantungan pada laki-laki atau suami dan ditempatkan pada sektor domestik maka yang lebih dominan muncul pada diri perempuan adalah aspek emosional ketimbang rasionalitas. Lepasnya ketergantungan perempuan pada laki-laki dianggap sebagai pintu gerbang rasionalitas kaum perempuan. Seorang tokoh feminisme liberal yaitu John Stuart Mill dalam bukunya The Subjection of women (1869) mengritik dengan keras posisi perempuan dalam kerja sektor domestik sebagai sebuah pekerjaan yang irasional, emosional, dan tiranis. Teori feminisme liberal berkeyakinan bahwa selama ini perempuan tidak terwakili atau tak dilibatkan dalam semua sektor kehidupan. Dalam bukunya Feminisme Thought-A More Comprehensive Introduction,  Rosemary Putnam Tong menekankan bahwa tindakan subordinasi terhadap kaum perempuan terjadi karena ada suatu perangkat budaya dan hukum yang membatasi akses perempuan dalam sektor publik. Demikian kuatnya kritik kaum feminis liberal terhadap dominasi perempuan sehingga dianggap sebagai feminisme keblabasen karena secara ekstrem menuntut penghapusan semua hukum yang berkaitan dengan lembaga perkawinan dan perceraian.  

Sebagai sebuah gerakan perempuan, feminisme liberal dianggap memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama, feminisme liberal ini lahir dari kaum perempuan dan laki-laki feminis yang merupakan kelas menengah, berkulit putih, ekonomi dan kesejahteraannya lumayan. Kedua acap kali melahirkan pemikiran-pemikiran yang opresif yang merupakan solusi tak tepat bagi perempuan-perempuan yang lemah dalam modal ekonomi. Ketiga, kepentingan perempuan kulit hitam atau berwarna tak terwakili atau terpinggirkan dari agenda feminisme liberal. Keempat, feminisme liberal lebih mengacu pada elemen-elemen di luar perempuan tanpa melihat dalam diri eksistensi perempuan.

Feminisme radikal sebuah aliran feminisme yang menekankan perbedaan struktural antara perempuan dan laki-laki dengan memberikan penilaian yang lebih positif terhadap ciri-ciri feminin daripada ciri-ciri maskulinitas. Feminisme radikal melihat pemarjinalan kaum perempuan berakar pada sistem seks dan gender. Anggapan seksualitas yang didominasi kepentingan penikmatan  laki-laki menjadi sumber ketertindasan perempuan.

Feminisme aliran berikutnya adalah feminisme radikal libertarian. Feminisme ini beranggapan bahwa gender sangat merugikan karena menstreotipe perempuan untuk bersifat feminin saja, dan laki-laki maskulin saja. Feminisme radikal libertarian ini dianggap sebagai feminisme yang keblabasen dalam persoalan seksualitas karena menekankan agar perempuan dapat menikmati semua aktivitas seksual seperti heteroseksual, lesbian, autoerotik dan lain-lain. Kerena menganggap gender merugikan perempuan maka feminisme radikal libertarian menawarkan solusi androgini. Androgini adalah pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat bersamaan. Androgini dalam pemaknaan identitas gender adalah orang yang tidak dapat sepenuhnya cocok dengan peranan gender maskulin ataupun feminin yang tipikal dalam masyarakat. Androgini acapkali diistilahkan dengan ambigender sebagai bentuk mentalitas “di antara” laki-laki dan perempuan atau sama sekali tidak bergender (a-gender, bigender, atau gender fluid atau gender yang mengalir). Yang lebih mencengangkan adalah pandangan mereka terhadap teknologi reproduksi sebagai agen pembebas perempuan karena dengan teknologi itu perempuan tidak lagi harus menjadi ibu biologis.

Feminisme berikutnya adalah feminisme radikal kultural yang merupakan antitesis feminisme radikal libertarian. Mereka menolak konsep androgini dan menawarkan makna baru pada feminitas. Selama ini mereka beranggpan bahwa sifat-sifat feminis dinilai rendah untuk itu harus ada pewacanaan yang baru atas feminitas. Mereka juga menolak bahkan menganggap bahaya seks heteroseksual karena berasumsi justru akan membuat laki-laki lebih mengontrol seksualitas perempuan.. Feminisme radikal kultural ini pun menolak teknologi reproduksi karena ibu biologis adalah sumber kekuatan perempuan. Yang utama dalam aliran ini adalah mereka melihat seksual sebagai memiliki sifat politis. Hubungan seksual laki-laki dan perempuan adalah paradigma dari relasi kekuasaan..

Aliran lain berikutnya adalah femisime marxis-sosialis yang memang berjejek pada pemikiran Karl Marx dan Fredrich Engels yang memandang kaum perempuan sebagai kaum proletar pada masyarakat kapitalis Barat. Bentuk penindasan perempuan baru bisa dihilangkan jika sistem ekonomi kapitalistik diganti oleh masyarakat sosialis yang egaliter dan tanpa kelas. Tujuan masyarakat sosialis bisa terwujud jika dimulai dari keluarga, dari para istri untuk menjadi dirinya sendiri bukan milik suami. Adanya proses industrialisasi sebagai anak kandung kapitalisme, kondisi perempuan dianggap menjadi lebih buruk. Industrialisasi memisahkan antara rumah dan publik. Sektor publik yang didominasi laki-laki selalu memberikan materi, sedangkan pekerjaan rumah tangga tidak menghasilkan uang sehingga perempuan hanya menjadi the head servant (kepala pembantu) belaka. Hal itu terjadi karena pria menguasai basis material yang lebih besar, sebaliknya  posisi istri menjadi lemah karena ketergantungan ekonomi pada suaminya.

Feminismee marxis-sosialis memiliki gerakan utama  membebaskan kaum perempuan  melalui perubahan struktur patriakat. Agenda utamanya adalah memberi penyadaran sebagai kelompok yang selalu ditindas dan menjadi kelas yang tidak menguntungkan. Dengan penyadaran ini diharapkan dapat terjadi konflik langsung dengan kelompok lelaki yang dianggap dominan. Semakin tinggi tingkat konflik semakin memudahkan robohnya sistem patriakat. Aliran feminisme marxis-sosialis ini memiliki kelemahan utama yaitu perempuan hanya menjadi alat politik perjuangan sosialisme.

Selain aliran-aliran feminisme di atas, ada pula aliran feminisme yang berjejak dari teori psikoanalisis, utamanya dari cara berpikir perempuan. Aliran feminisme ini adalah feminisme psikoanalis. Mereka berlandaskan teori-teori Freud menyatakan bahwa ketidakadilan yang dialami perempuan bermula dari pengalaman masa kecil yang membuat perempuan melihat dirinya sebagai feminin dan laki-laki sebagai maskulinitas, sekaligus pada saat bersamaan menganggap feminitas lebih rendah dari maskulinitas. Aliran ini banyak ditentang karena dianggap sangat deterministik. Feminisme psikoanalisis ini juga tidak menghasilkan program nyata yang langsung bersentuhan dengan realitas sosial kaum perempuan.

Aliran feminisme berikutnya adalah feminisme eksistensialis. Tokohnya yang paling utama adalah Simone de Beauvoir dengan bukunya yang melegenda The Second Sex. Aliran feminisme ini memandang perempuan sebagai being for others, yang berarti berada bersama orang lain. Di sisi lain saat terjadi konflik, perempuan bisa mengubah dirinya sebagai subjek (self) dan orang lain sebagai objek (other). Feminisme eksistensialis berkeyakinan bahwa untuk menjasi exsist, perempuan harus hidup dengan melakukan pilihan-pilihan sulit, menjalaninya dengan tanggung jawab, baik atas dirinya maupun atas orang lain. Eksistensi perempuan itulah kebebasan.

Perkembangan dari feminisme eksistensialis adalah feminisme postmodern. Sama-sama berjejak pada pemikiran eksistensialisnya Beauvoir, namun dilengkapi dengan konsep-konsep dekonstruksionisme Derrida, dan psikoanalisis Lacan. Melalui dekonstruksi, feminisme postmodern bergerak lebih jauh membebaskan perempuan dari pemikiran yang opresif (absolut) dengan melihat sesuatu yang buruk justru sebenarnya adalah yang baik. Anggapan ini membuka kemungkinan terjadinya keterbukaan, pluralitas, keragaman dan perbedaan. Realitas perempuan yang dimarjinalkan, ditolak, disepelekan, mungkin sebenarnya bisa menguntungkan. Mengambil pemikiran Lacan, feminisme postmodern ini memanfaatkan konsep symbolic order atau tatanan simbolik. Tatanan simbolik mempresentasikan masyarakat melalui bahasa. Mengiternalisasikan tatanan simbolik berarti menginternalisasikan pula peran-peran kelas dan gender yang berlaku dalam masyarakat. Kaum perempuan menolak tatanan simbolik yang dibuat kaum laki-laki, namun dipaksakan hidup dalam tatanan tersebut. Akibatnya, kaum perempuan tidak mempunyai “bahasa” sendiri karena bahasa yang ada adalah bahasa sipembuat tatanan yaitu kaum laki-laki. Yang paling menarik dari aliran feminisme postmodern ini adalah konsep kebebasan dan identitas. Pembebasan menurut pandangan feminisme postmoder ini adalah adanya pengakuan bahwa perempuan dan laki-laki berbeda dan sebenarnya perempuan tidak menginginkan haknya untuk selalu sama dengan kaum laki-laki karena yang diinginkannya adalah hak untuk bebas mengonstruksi dirinya sendiri. Perempuan berhak mempertanyakan dan mengonstruksikan identitas dirinya sebagai manusia yang bebas.

Aliran feminisme berikutnya adalah feminisme multikultural dan global yang lahir untuk menjawab kritik terhadap feminisme yang dianggap bias, dalam arti tidak mencerminkan keseluruhan realitas perempuan. Bias yang dimaksud karena tidak menjangkau seluruh kaum perempuan, seperti bias ras, bias kelas menengah, bias pendidikan bahkan bias orientasi seksualitas. Feminisme kultural global melihat bahwa dalam negara yang sama, perempuan tidak dikonstrusikan secara sama. Ada berbagai macam konteks dan blue print yang melatarbelakangi pengkondisian situasi kaum perempuan. Menurut mereka, feminisme selayaknya mengakui keberagaman situasi tersebut dengan tidak menempatkan satu standar bagi seluruh fenomena perempuan. Berbagai keberagaman aspek yang berbeda dalam wilayah satu dengan yang lain, seperti sistem seks, gender, ras, latar belakang pendidikan, praktik penafsiran agama, budaya harus menjadi bahan kajian untuk memosisikan perempuan.

Cabang feminisme berikutnya adalah feminisme kulit hitam (black feminism). Aliran ini muncul dan berkembang dengan merujuk pada perjuangan perempuan kulit hitam. Berkembang dalam tradisi para aktivis “kiri” yang mengadopsi feminisme sosialis. Keberadaan perempuan kulit hitam yang menjadi minoritas di negara barat dianggap tidak tersentuh bahkan diskriminasikan oleh feminis arus utama. Berjejak dari kondisi itu aliran feminisme kulit hitam muncul dengan agenda perjuangan dan pemberdayaan perempuan kulit hitam. Seorang tokohnya, Gemma Tang Naim menulis Black Women, Sexism and Racism: Black or Antiracist Feminim? Yang menganalisis dengan kritis bahwa penindasan terhadap perempuan kulit hitam tidak semata berkait dengan gender, tetapi juga karena ras dan kelas. Dengan kata lain rasisme memiliki pengaruh besar terhadap pemarjinalan perempuan.

Aliran feminisme yang terakhir adalah feminisme Islam. Feminisme Islam mengritisi aliran feminisme arus besar cenderung mengarah ke sekulerisme. Bagi feminisme Islam, konsep-konsep hak asasi manusia utamanya berkait dengan kaum perempuan yang tidak berlandaskan pada spiritual dan transendental menrupakan hal yang tragis. Tokoh feminisme Islam yaitu Fatimma Merniss dan Issa J Boullata (1989) menegaskan bahwa perempuan Islam harus mengembagkan program-program feminisme dengan menggunakan kerangka acuan yang Islami.

Gender atau ideologi gender (genderisme) merupakan kelanjutan dari gerakan feminisme. Istilah gender kali pertama dikenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendifinisian yang berasal dari ciri fisik biologis. Ann Oakley (1972) menjelaskan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia.

Lebih lanjut dalam bukunya Sex, Gender and Society (1972), Oakley memaparkan bahwa gender berarti perbedaan bukan biologis dan bukan kodrati. Perbedaan biologis dan kodrati seperti jenis kelamin adalah kodrat sehingga permanen, sedang gender bersifat tidak kodrati. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan  yang dikonstruksi secara sosial kultural, yaitu perbedaan yang bukan ditentukan oleh Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural.

Pendapat Oakley ini diadopsi oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Indonesia (2001) dengan mendefinisikan gender sebagai peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan keduanya (laki-laki dan perempuan). Konsep dan definisi gender lainnya dijelaskan oleh  Mansour Faqih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial sebagai sebuah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial kultural. Misalnya, anggapan perempuan selalu lemah lebut, cantik, emosional sedang laki-laki dianggap kuat, gagah, dan rasional. Ciri dan kesifatan tersebut tidak mutlak atau kodrati namun dapat dipertukarkan.

Gender differences atau perbedaan gender sebenarnya tidak masalah sepanjang tidak memunculkan gender inqualities (ketidakadilan gender). Realitanya ternyata perbedaan gender menghasilkan berbagai ketidakadilan gender, utamanya bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender tersebut bisa berupa marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja ganda.

Fenomena ketidakadilan gender ini memicu kesadaran akan kesetaraan gender yang menjadi isu dan agenda utama. Kesetaraan gender dapat dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar dapat berperan dan berpartisipasi dalam berbagai ranah seperti hukum, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan serta mempunyai akses dan penikmatan yang sama pada hasil pembangunan. Indikasi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender adalah tidak ada lagi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam pemilikan akses, kesempatan partisipasi dan kontrol atas hasil pembangunan. Adanya kesetaraan dan keadilan gender akan menghilangkan marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban kerja ganda

Feminisme dan genderisme merupakan gerakan yang bertaut satu sama lain. Keduanya berjejak pada cita-cita yang sama namun memiliki beberapa perbedaan. Gerakan feminisme lebih bersifat pemberontakan yang menggugat struktur interaksi kekuasaan yang memarjinalkan perempuan. Perlawanan terhadap dominasi laki-laki sekaligus menolak posisi perempuan sebagai subordinasi laki-laki. Gerakan feminisme adalah gerakan perlawanan terhadap dominasi perempuan. Genderisme tidak melakukan perlawanan namun membangun kesadaran kesetaraan dan keadilan gender. Tidak melihat laki-laki dan perempuan sebagai  lawan yang berhadap-hadapan namun melihatnya sebagai mitra yang setara. []


Tjahjono Widarmanto. Tinggal di Ngawi. Menulis dalam genre puisi, esai, artikel, kolom dan cerpen. Tulisan-tulisannya pernah di publikasikan di Jawa Pos, Solo Pos, Basis, Horison, Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, SoloPos, Duta, Surabaya Post, Pikiran Rakyat, Kurung Buka.com, Cendana News, dsb. Bukunya yang telah terbit Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019, delima, sby) menjadi salah satu buku puisi terpuji HPI 2019,  Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018, Basabasi:Yogyakarta)  merupakan salah satubuku puisi terpuji versi HPI 2018, dan Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak ( salah satu buku puisi terbaik versi HPI 2016).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *