Geguritan Apriyanto Dwi Santoso
Saniskara budi ngalaming kalbu
Bumedhah ing ratri sepi asamun
Kalamun ingsun tumuju Gusti
Tinitah seba jatining dhiri
Saniskara budi ngalaming kalbu
Bumedhah ing ratri sepi asamun
Kalamun ingsun tumuju Gusti
Tinitah seba jatining dhiri
BARDAN arep duwe gawe. Ngrabekake anake wadon mbarep. Murih katon regeng, dheweke arep nanggap wayang kulit sawengi natas lan kudu ana perange buta cakil. Pepenginane sing kaya ngono kuwi mesthi wae ana alesane. Ora mung waton bisa nanggap lan mbayar, nanging kegawa rasa seje sing tansah silih-ungkih njejaki dhadhane lan ora bisa diendhani. Kudu dituruti.
Apa yang hendak disampaikan Satmoko Budi Santoso lewat bukunya yang berjudul Ritual Karnaval Sastra Indonesia Mutakhir ini? Satu hal pasti, Satmoko tidak berpretensi menulis “sejarah sastra” di tanah air. Buku ini lebih sebagai pembacaan atas karya sastra Indonesia dalam kurun waktu tertentu.
Peta didedah berulang kali. Nama-nama
Kota dirapal sekian kali. Kemudian kita
Bergegas membawa sekoper perhitungan,
Setelah ratusan ribu jam impian disemai.
KAMI menyusuri sebuah lorong beraspal. Beberapa lampu jalan yang tegak di setiap dua puluh meter menyala pucat. Saman berhenti dekat sebuah poster seorang lelaki bertubuh pendek, di bawahnya dengan tegas tertulis Sang Pemenang. Saman menunjuk ke poster itu lalu berkata, “Dia dan aku pernah berlatih di Libya. Aku seniornya. Tapi, sekarang dia menjadi sang pemenangnya. Pukima!”
DINA tertegun di depan gerbang sebuah rumah. Rumah bagai istana. Rumah yang luasnya ratusan kali rumah kontrakannya. Apalagi megahnya. Rumah berpagar besi setinggi dua meter lebih, taman tertata indah, bertingkat entah berapa lantai dan berbalkon. Seperti rumah mewah di sinetron nasional.
pengantar bagi sebaik-baiknya pengantar ialah
ia yang datang dengan selawat yang tak putus.
tiada arti buah tangan tanpa disertai doa, bukan?
umpama kata,
doa ialah kata di antara pilihan kata.
pilihan di antara segala pilihan.
Cuma orang sakti yang bisa bertahan hidup di Jakarta, kata Ratih Kumala dalam salah satu novelnya, Wesel Pos. Seperti narasi-narasi yang sudah lebih dulu kita dengar, ibukota atau Kota Jakarta digaungkan sebagai magnet sekaligus medan juang yang tak ringan. Selain Ratih Kumala, paruh awal ’80-an juga terdapat film yang secara gamblang menggambarkan kengerian Jakarta. Film yang disutradarai oleh Imam Tantowi itu berjudul, “Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota”.
Judul : Rokat Tase’ Penulis : Muna Masyari Penerbit : Penerbit Buku Kompas ISBN : 978-623-241-207-1 Tebal : vi +178 hlm Edisi : cetakan pertama, 2020 Muna Masyari melalui kumpulan cerpen Rokat Tase’ telah berhasil menarasikan sesuatu yang lain (the other) perihal Madura. Baik dari segi spiritualitas, tradisi, […]
seperti burung yang singgah sebentar
ia ingin tenggelam ke putihnya
putih tebing
sebab mengira kehitaman air mata
yang meluncur deras ini
mungkin akan memutih jua