Cerpen
Pak Din dan Siaran Kolak Muncul

Pak Din dan Siaran Kolak Muncul

SETIAP bulan Ramadan tiba, aku akan selalu ingat masa kecil saat aku menjalani puasa di kampungku, sebuah kampung yang terletak di pedalaman yang jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan serta mesin pabrik. Aku dan keluarga serasa menjalani puasa yang benar-benar penuh khidmat dan penuh makna. Berbeda dengan yang kujalani saat ini, saat aku telah memiliki kehidupan sendiri sebagai warga perantauan di kota besar.

Salah satu ingatan yang selalu hidup menjelang kami berbuka puasa dan sahur adalah sosok Pak Din, sesungguhnya itu hanya sebutan baginya, berasal dari kata Pak Modin, tapi ia lebih populer dipanggil Pak Din. Bahkan bisa dibilang, sangat jarang orang menyebutnya dengan nama Pak Modin. Jika ada yang tahu juga tetap mereka lebih senang dengan sebutan Pak Din saja, terlebih mereka yang masih berusia muda. Aku sendiri dan banyak warga kampung tak pernah tahu siapa nama asli beliau.

Pak Din tinggal di sebelah masjid besar kampung kami. Itu satu-satunya masjid di kampung, walau tentu saja ada beberapa surau lain di kampung namun kondisinya kurang terurus. Orang-orang kampung kami lebih suka datang ke masjid. Pak Din tinggal bersama Bulek Tin, istrinya. Bulek Tin mengurus pondok yang juga terletak di samping masjid, bersebelahan dengan pondok dan masjid itulah tempat tinggal mereka. Pondok itu hanya bangunan panggung yang tak begitu besar yang digunakan untuk mengaji anak-anak putri di kampung kami. Sementara anak laki-laki mengaji dengan Pak Din di masjid.

Selain sebagai penjaga masjid, Pak Din berprofesi sebagai juru foto untuk warga kampung dan kampung-kampung lain yang terletak di pedalaman. Pak Din satu-satunya oang yang memiliki profesi itu. Tentu saja sangat laris usaha Pak Din saat itu. Setiap minggu, satu hari sebelum hari pasaran tiba, Pak Din akan pergi ke kota kabupaten untuk mencetak foto dan akan diambil oleh orang-orang yang menggunakan jasa berfoto pada beliau saat mereka datang ke pasar esok harinya.

Jika Ramadan tiba, Pak Din memiliki acara yang sangat dinanti oleh warga kampung kami, yaitu Siaran Kolak Muncul. Pak Din menggunakan pelantang masjid untuk menyiarkan acaranya hingga warga kampung bisa mendengarnya. Belum ada aliran listrik PLN di kampungku saat itu. Sangat sedikit juga warga yang memiliki TV, jika ada, itu pasti televisi hitam-putih. Pak Din melakukan siaran kolak muncul dengan pelantang tentu menggunakan setrum dari accu. Biasanya tiga puluh menit sebelum waktu berbuka puasa, Pak Din memulai siaran kolak munculnya.

“Halo…halo….siaran kolak muncul dimulai,” itu adalah kalimat yang sering diucapkan Pak Din setelah mengucapkan salam untuk membuka acaranya. Aku dan tiga adikku juga kakak-kakakku yang masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA segera akan duduk di bangku panjang yang saling berhadapan, terpisah dengan meja besar dari kayu. Di atas meja telah tersaji makanan berbuka puasa. Ibu menyiapkan makanan itu semua. Meski masih tiga puluh menit lagi berbuka, kami akan mendengarkan bersama siaran kolak muncul Pak Din.

Topik bahasan siaran kolak muncul Pak Din tentu beragam atau bahkan tak ada materi khusus yang dibahas, biasanya hal-hal sederhana atau cerita-cerita yang terjadi di kampungku. Pak Din bisa mengemasnya dengan lucu dan menggelikan hingga warga yang disebut namanya oleh Pak Din tak marah, bahkan merasa senang kalau Pak Din menyiarkannya. Sentilan-sentilan Pak Din sangat mengena dan menyentuh. Tiga puluh menit mendengarkan siaran kolak muncul membuat dahaga kami seakan tak terasa, padahal bagi anak-anak seusiaku, biasanya menjelang waktu berbuka, satu dua menit saja terasa lama. Saat sahur, Pak Din juga akan mengadakan siaran selama tiga puluh menit untuk membangunkan dan menghibur warga. Tapi nama siarannya tentu bukan siaran kolak muncul.

Aku pernah bertanya pada Pak Din mengapa beliau menamai siarannya dengan nama siaran kolak muncul. Jawabannya sederhana saja, Pak Din ingin warga kampung kami terbiasa menyiapkan kolak untuk berbuka. Jarang sekali, atau bahkan tak ada kurma atau yang menjual kurma di kampung kami. Kolak yang warga siapkan biasanya dari singkong, ubi jalar, pisang, dan kolang-kaling yang banyak didapat di kampung kami.

Oh iya, aku mulai menyukai siaran kolak muncul Pak Din sejak aku mulai berpuasa, itu sejak kelas satu SD. Aku hampir bisa berpuasa penuh selama satu bulan, hanya bolong atau pecah puasa satu atau dua kali dalam sebulan. Kakak-kakak dan adik-adikku juga begitu, ayah dan ibu melatih kami berpuasa penuh sajak mulai kelas satu SD. Siaran kolak muncul Pak Din sangat membuatku tak tersiksa saat aku mulai berpuasa dan menunggu waktu berbuka saat tahun pertama kali aku berpuasa. Tahun-tahun berikutnya, saat menunggu waktu berbuka puasa adalah hal yang menyenangkan karena adanya siaran kolak muncul tersebut.

Aku pernah bertanya pada ibu dan ayahku, sejak kapan Pak Din menyiarkan siaran kolak muncul itu. Orangtuaku menjawab bahwa itu sudah belasan tahun, sejak Pak Din menjadi pengantin baru dengan Bulek Tin, dan kemudian mereka menjadi penjaga dan pengurus masjid. Ibu bercerita, jika dahulu masjid kampung kami sepi sekali. Sejak kedatangan Pak Din dan Bulek Tin yang berasal dari pulau seberang, selain masjid ramai dengan orang salat berjamaah, anak-anak yang mengaji juga ramai sekali hingga Pak Din meminta beberapa orang seperti Lek Surabu, Lek Budiono, Lek Imam untuk mengajar mengaji seusai salat Magrib. Aku juga turut mengaji di masjid, sebelumnya ibuku sendiri yang telaten mengajariku mengaji, belajar membaca Alquran dari Juz Amma yang kami sebut turutan.

Ibu dan ayah juga bercerita jika dulu kebiasaan warga saat berbuka puasa, biasanya langsung berbuka dengan makanan berat yaitu nasi, sayur, dan lauk pauk. Sangat jarang orang menyiapkan kolak. Sejak Pak Din mengadakan siaran kolak muncul itu, warga kampung kami menjadi terbiasa. Aku tentu mengamini cerita ibu dan ayah karena aku sendiri mengalami itu selama sekitar sembilan kali bulan Ramadan bersama siaran kolak muncul Pak Din, sejak aku kelas satu SD hingga lulus SMP di kampungku. Barulah aku melanjutkan SMA dan kuliah di kota, hingga aku hampir-hampir tak pernah menikmati siaran kolak muncul lagi kecuali beberapa hari di masa akhir ramadan karena aku mendapat liburan.

Mungkin bagi orang lain yang tinggalnya jauh dari kampung kami, siaran kolak muncul itu tak begitu bermakna, jika toh ada, itu hanya sekadar hiburan dari seorang penunggu masjid kampung yang memang cukup kocak seperti Pak Din. Aku, keluargaku, dan warga kampungku, pada awalnya juga menganggap itu suatu hiburan sebelum berbuka. Tak pernah terlintas sesuatu yang istimewa dan begitu penuh arti dari Pak Din dan siaran kolak munculnya. Nalar warga kampung kami tak pernah sampai ke sana.

Barulah beberapa tahun kemudian, saat aku telah menyelesaikan kuliah di kota besar, berkeluarga, dan memiliki kehidupan sendiri, menjalani ramadan bertahun-tahun di kota, sungguh Pak Din dan siaran kolak muncul itulah yang sesungguhnya telah mengubah kondisi suatu masyarakat, khususnya warga kampung kami tanpa kami sadari. Pak Din dan siaran kolak munculnya telah tiada, beliau sudah wafat bersama istrinya, tapi sungguh aku yakin pahala mereka terus mengalir.

Kau tahu kenapa siaran kolak muncul itu penuh makna? Itu karena Pak Din telah mengubah tradisi warga kampung kami yang terbiasa makan nasi saat berbuka menjadi makan kolak. Dengan siaran kolak muncul yang digaungkan Pak Din, beliau benar-benar sedang ingin mengajak kebaikan. Sesungguhnya niat utama Pak Din adalah agar warga tidak kekenyangan makan nasi hingga enggan pergi ke masjid untuk salat Magrib berjamaah. Aku ingat betul, sejak siaran kolak muncul itu aku ikuti, sesungguhnya kami sering berbuka dengan kolak saja, lalu kami pergi ke masjid untuk salat berjamaah, barulah setelah itu, aku dan saudara-saudaraku makan nasi.

Memang, awalnya itu sangat berat bagiku dan saudara-saudaraku untuk menahan diri tidak berbuka dengan makanan bermacam-macam, tapi ibu dan ayahku lalu mengingatkan pesan siaran kolak muncul Pak Din. Beberapa detik sebelum azan Magrib berkumandang, Pak Din menutup siarannya dengan pesan, “Ayo..cukup makan kolak saja agar bisa salat jamaah bersama,” Begitu juga warga kampungku, hingga masjid selalu penuh dengan jamaah salat Magrib. Bahkan kuperhatikan juga, sejak puasaku berjalan bersama siaran kolak muncul itu, ibu dan ayah baru makan nasi setelah mereka pulang salat taraweh. Mereka tak pernah tinggal salat Magrib, Isya, dan taraweh berjamaah.

Aku dan saudara-saudara kandungku yang sering melihat kebiasaan ibu dan ayah, juga mengikutinya sejak aku duduk di bangku SMP. Sebelum itu, aku sering kekenyangan makan nasi, jadi rasanya malas ke masjid untuk salat taraweh. Kini kebiasaan itu masih berlanjut hingga kini di kampung kami meski Pak Din dan istrinya telah tiada. Mereka akan tetap berbuka dengan kolak dan kemudian pergi ke masjid. Hanya bedanya, mereka menunggu berbuka dengan ceramah dari siaran televisi yang sudah banyak bermunculan. Sungguh, aku menjadi rindu Pak Din dan siaran kolak munculnya.[]


Penulis:

MAHAN JAMIL HUDANI adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO). Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel) sebagai ketua. Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra yang didirikan oleh sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, Litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, Medan Pos, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Kabar Priangan, Radar Malang, Radar Bromo, Radar Mojokerto, Lampung News, Dinamika News, Majalah Mutiara, Majalah Semesta, Majalah Kandaga, maarifnu.or.id, kareba.id, gadanama.my.id, labrak.co, Analisa Medan, Cakra Bangsa, Rakyat Aceh, Rakyat Sumbar, dan Rakyat Sultra. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), dan Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021)
NO HP: 0821 1152 8465 | FB: Mahrus Prihany, IG: mahrusprihany

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *