Puisi
Puisi Raudal Tanjung Banua

Puisi Raudal Tanjung Banua

Sungai Tamsui, Taiwan

Tak terasa air mengalir
Tak terasa hulu dan hilir.

Hanya kapal-kapal pesiar kecil
Bertolak dan merapat di dermaga
Di bawah jembatan baja (tidak dicat merah)
yang terbelintang sekeras keinginan
dan kebebasan. Melintaskan kendaraan berpacu
Melebihi arus Tamsui yang tenang.

Gunung Yangmingzan di jauhan,
Kutahu, juga sekeras itu.
Tapi sapuan kabut awan
Membuatnya lembut tersamar
di antara gedung-gedung
pencakar langit Taiwan
Serupa di kanvas
lukisan Guan Tong.
2018-2020

Taipei-Dadaocheng

Dadamu terguncang
Di balik switer musim hujan
kota yang basah membayang.
Kendaraan melintas tenang
di sepanjang Roseevelt Street
Dan akan berhenti perlahan
saat lampu penyeberangan
memberi laluan orang-orang
dengan payung kuncup
dipertongkat tangan.

Puluhan sepeda ditumpuk
di muka kampus dan sekolah
tanpa gembok. Di trotoar langkah orang-orang
bergegas seringan kapas
bagai akan melintasi beku tembok
Tapi semua mendadak henti menunggu
isyarat lampu penyeberangan
dan taksi melesat dari pusat perbelanjaan.

Tiba-tiba langit murung (sudah kuduga)
dan petir menyilet langit tenggara
Saat orang-orang serentak mengembang payung
di udara, kita sudah berada di tangga
Stasiun kereta api bawah tanah.

2018-2020

National Taiwan Museum

Di dinding kaca tembus pandang
Lebih semeter di atas teralis
Terlukis aneka buah negeri tropis.
Rambutan, mangga, kelapa, pinang dan pisang
Berayunan manis. Anggur dan apel
Seolah menghambur dari loteng.
Dari balik kubah besar matahari memancarkan
Sulur-sulur sinarnya, sehingga semuanya
Bercahaya. Sebagian tampak masak, matang sempurna
Warna-warnanya menantang
Menggoda kita, siapa pun yang datang.

Begitu mungkin dulu Jepang dan Cina Daratan
Memaksa memetiknya. Amerika dan Eropa
Bersiap serta. Hingga bergolak
Kebun-kebun Formosa. Laut, selat dan teluk
Menolak takluk. Bergerak orang-orang Amis,
Truku, Rukai, Atayal, Sakizaya, Bunun dan Kanakanavu
Menjaga buah-buah manis negeri mereka
Dari monyet-monyet putih kuning kelabu.

Begitulah awal cerita yang kupetik
Saat mulai menapak tangga naik
Ke lantai atas Museum Nasional Taiwan
Bermula dari gambar-gambar dekat keseharian
Cerita pun mengalir lepas ke masa-masa lalu
Penuh kenangan, kini dan akan datang
Tidak dibalik sungsang: bicara masa kini dan nanti
Melulu dari masa lalu yang diam beku
Menunggu mati.

2018-2020

Masjid Agung Taipei

1.
Di jantung Taipei
Sebuah masjid berdenyut
Dua kali lebih cepat
Daripada arus Xinsheng South Road

Menaranya tak lebih
Setengah perempat tinggi Pencakar Langit 1001
Tapi bagai suar, ia awas akan deras
Arus waktu.

Sejarahnya mungkin sedang
Tidak pendek tidak panjang
Sekitar dua-tiga putaran roda ke belakang
Namun gerak yang membawanya
Ke haribaan masa sekarang
Betapa agung untuk dikenang.

2.
1949, Chiang Kai-Shek, sekutu Dr. Sun Yat-sen
dan Ketua Partai Koumintong yang malang
Terpaksa membawa pasukan menyeberang
Ke daratan baru: Formosa, Formosa yang biru
22 tahun menegakkan Republik Cina
Di Beijing, roboh oleh Revolusi Mao Zedong.

Sejak itu, ia tegakkan pemerintahan di Taiwan
Yang baru lepas dari Nippon
Mao tak lanjut mengejar
Lincold telah menggerakkan kapal perang
Di selat Formosa yang tegang

Jendral Pai Cong Si menyadari
30% pasukannya adalah muslim Han
Dari Ningsia, Lanco, Mie Sapi, Xan Su dan Sin A
Maka demi kebutuhan rohani dan penghormatan
Sesama anak manusia, didirikannya sebuah masjid
Dari uang kredit dan tanah rakyat

3.
Karena dibangun dari kredit dan di atas tanah rakyat
Maka masjid berstatus monumen yang mesti dijaga bentuk,
Ukuran dan desainnya. Undang-undang mengaturnya demikian.

Tak apa. Karena dengan itu ia bertahan
Menjaga denyut jantung kesibukan

Ya, itu jauh lebih baik, daripada tangisan diam-diam
Di balik tembok Liok Liang Lie—kuburan muslim
Sebab anak dan cucu-cucu tersayang
yang melayat leluhur sudah bukan lagi memeluk Islam

Statistik menyusut
Dari 200.000, kini tinggal tak lebih 20.000 jiwa saja
Dan di kalangan migran, 400.000 dari Indonesia

Tetap saja itu lebih baik,
Daripada tangisan bungkam
di kamp-kamp
Xinjiang

4.
Kumasuki dingin lantai
dan bentangan karpet hijau tua
Kipas angin menderu di atas kepala
Di antara khusyuk jemaah,
Aku sembahyang tahyatul masjid
Penghormatan seorang pejalan yang meresapi
Jiwa hayat negeri orang

Seorang pemuda bernama Santo
mengajakku ke dalam
Melewati aula untuk pertemuan dan TPA,
Majelis taklim dan perayaan agama
Terus ke dapur tempatnya biasa masak
dengan wajan dan kuali-kuali besar tergantung
Seperti bedug, dan lorong tembus
ke tempat pemandian jenazah
Dari mana aku berdoa
bagi yang pernah dimandikan di sana,
Di bumi Allah jua

Di bawah kaki menara, belasan anak tangga
mengular ke kamar atas
tempat Santo tidur atau mengaso,
persis kamar anak-anak
Pesantren Anuqayah atau Krapyak
Di dalamnya ada kasur
dan tempat tidur sederhana. Di sana pemuda
asal Ketapang itu berkhalwat
Di tengah arus deras Xinsheng South Road

Mungkin dialah pemicu jantung Masjid Agung
Yang berdenyut dua kali lebih cepat, meski tak tercatat
Di pucuk hening menara.

2018-2021


Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Menetap di Yogyakarta, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia. Bukunya antara lain, Api Bawah Tanah (puisi), Kota-Kota yang Kuangan dan Kujumpai (cerpen) dan yang terbaru Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (cerpen).

1 thought on “Puisi Raudal Tanjung Banua

Leave a Reply to Firinin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *