Cerpen
Purnama Meninggalkan Kota

Purnama Meninggalkan Kota

GADIS berambut hitam sebahu itu melesat melewati deretan toko-toko, para pejalan kaki, dan dengan amat sembrono menerobos jalan raya yang padat kendaraan. Beberapa pengendara terkejut karena ulahnya mengumpat, tapi ia tak peduli. Terus saja berlari pontang-panting. Mengabaikan sesak yang mendesak-desak rongga dadanya dan kram yang mencengkeram kedua paha hingga betisnya. Sekali ia menoleh ke belakang, dilihatnya lelaki-lelaki bertubuh kekar itu masih terus mengejar. Terpaut belasan meter saja darinya.

Ia terus berlari. Membelok ke sebuah gang yang membujur di antara dua ruko. Terdapat banyak simpang di bagian tengah gang itu, tapi ia hafal semuanya karena pernah menjelajahinya. Di ujung gang, ia berpusing ke barat, melesat menelusuri trotoar hingga tiba di sebuah pasar. Tanpa menunggu, ia menyeruak di antara kerumunan ibu-ibu yang sedang asyik berbelanja. Aroma-aroma khas pasar tradisional seketika menyergap cuping hidungnya.

Di tengah keramaian, sadar tak mungkin lagi berlari, ia melangkah lincah sambil sesekali awas menilik sekitar. Ia tahu, meski sudah tertinggal lumayan jauh, lelaki-lelaki yang bagai robot pembunuh dari masa depan itu tak akan berhenti mengejarnya. Itulah kenapa, kalau boleh memilih, ia inginnya terus berlari dan tak melambat sedetik pun. Namun, apa daya, pengunjung pasar terlalu padat untuk diterobos. Maka, ia tak punya pilihan selain terus melangkah, menyelinap dari satu los ke los lain sebelum akhirnya sampai ke terminal angkot di sisi lain pasar.

Satu mikrolet tua tengah bersiap hendak berangkat ketika ia tiba. Lelaki muda bertampang kumuh yang berdiri dan berseru-seru di samping angkot berwarna biru muda tersebut mengabarkan hal itu. Sesaat ia kembali celangak-celinguk memastikan keadaan di sekitar terminal, sebelum kemudian menyelusup ke mikrolet tua tersebut dan duduk dengan kepala menunduk. Tak berapa lama, mikrolet tua merayap meninggalkan pasar. Meluncur deras setelah lepas dari keramaian.

***

Ia sudah mendengar banyak hal baik tentang Tante Sinta, sepekan sebelum berangkat ke Kota X. Adalah Suci, sahabat dekatnya waktu SMA—yang sudah empat tahun bekerja di Kota X—yang menceritakan kepadanya. Namun, dari sekian banyak yang ia dengar, ia paling terkesan dengan cerita tentang kebiasaan si tante memberikan tumpangan gratis bagi gadis-gadis kampung yang merantau ke Kota X.

“Serius aku, Pur,” suara Suci bersemangat, meski sesebentar hilang-timbul akibat sinyal yang kurang stabil. “Aku dulu hampir dua bulan tinggal di rumah Tante Sinta tu. Sudah dapat kerjaan, punya gaji sendiri, baru nyewa kontrakan.”

Purnama masih ingat betul percakapan itu. Ia juga ingat, saat itu, Suci juga menjelaskan bahwa Tante Sinta melakukan itu karena ia tidak punya siapa-siapa lagi di rumahnya selain pembantu. Suaminya sudah lima tahun meninggal dunia. Sedangkan anak-anaknya tak ada lagi yang mau tinggal dengannya. Semua sudah punya (dan selalu sibuk dengan) kehidupan masing-masing sehingga tidak pernah punya waktu untuk berkunjung atau bahkan sekadar menelepon.

Penjelasan itu tak pelak membuatnya terenyuh. Maka, ketika Suci bilang hendak mengenalkannya dengan si tante, ia ringan saja mengiyakannya. Begitu juga ketika si tante menawarkannya tinggal serumah jika ia benar jadi merantau ke Kota X, ia ringan saja menerimanya.

***

Sore itu, Tante Sinta sendiri yang menjemputnya di terminal bus Kota X. Perempuan paruh baya itu menyambutnya dengan senyuman hangat dan menghadiahinya pelukan erat. Ia risi. Bukan karena itu kali pertama mereka bertemu, tapi karena selama di bus, tubuhnya berkeringat hebat dan isi perutnya berkali-kali tumpah ruah. Ia khawatir, dalam keadaan begitu, Tante Sinta akan menangkap kesan tak baik dari dirinya.

Akan tetapi, ia takjub. Sejak menyambutnya—mengucapkan selamat datang di Kota X, memeluk, lalu berjalan beriringan menuju mobil, tak sekali pun ia melihat perempuan yang masih cantik dan segar di usia setengah abad itu mengipas-ngipas hidung, atau melakukan gerakan-gerakan reflektif lain yang menunjukkan bahwa ia terganggu. Yang ada, perempuan itu justru memujinya dengan mengatakan bahwa ia memang gadis ayu sebagaimana diceritakan Suci. Ia tersipu.

Sepanjang perjalanan, sambil mengagumi gedung-gedung megah pencakar langit, Purnama mengamini seluruh cerita Suci. Tante Sinta memang ramah dan sangat keibuan, batinnya. Ia bersyukur orang pertama yang dikenalnya di Kota X adalah orang sebaik Tante Sinta.

Lima belas menit ke arah pinggiran kota, di depan sebuah gerbang, Tante Sinta memperlambat laju mobilnya. Gerbang yang bagai portal ke negeri dongeng tersebut dibuka oleh seseorang, mobil kembali melaju dan tampaklah sebuah rumah megah. Purnama langsung teringat rumah yang sering ia lihat di televisi. Beberapa jenak, dari dalam mobil, ia hanya tertegun menatap rumah yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggalnya.

Rumah itu dua lantai, bercat serba putih, berdiri di atas lahan seluas 100 meter persegi. Sekelilingnya tumbuh rumput-rumput manila dan pohon-pohon mahoni yang terawat. Sebuah kolam dengan air mancur yang gemericik memperindah halaman depannya. Keluar dari mobil, Purnama langsung merasakan udara segar menyelusup ke rongga dadanya, kontras sekali dengan apa yang ia rasakan lima belas menit lalu sewaktu masih di terminal.

Setelah memasukkan mobil ke garasi, Tante Sinta lanjut mengajaknya masuk. Bagian dalam rumah itu tak kurang membuatnya takjub. Lantai, perabotan, tirai, lampu gantung, semua produk luks yang hanya pernah ia lihat di televisi. Ia terus berjalan mengekori sang tuan rumah, naik ke lantai dua dan berhenti di depan sebuah pintu kamar.

“Nah, ini kamarmu,” kata Tante Sinta seraya memutar gerendel pintu. “Semoga betah, ya.”

Ia tersenyum, mengangguk dengan sedikit kikuk.

“Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri.”

Ia kembali mengangguk. “Terima kasih, Tante,” ucapnya, masih dengan sedikit kikuk.

***

Sebulan di Kota X, nyaris setiap hari Purnama keluar untuk mencari pekerjaan. Mengenakan topi lebar pemberian Tante Sinta, ia berangkat menjelajahi hampir setiap sudut kota. Selain mencari langsung, ia juga rutin memantau iklan-iklan yang terbit di surat kabar. Berpuluh surat lamaran ia layangkan. Namun, keberuntungan seakan tak pernah mengenal namanya. Tak satu pun dari surat-suratnya yang berujung pekerjaan.

Perlahan, semangatnya yang semula menggebu-gebu berangsur kendur. Hatinya yang semula seteguh karang di lautan mulai luntur diguyur rasa cemas: cemas karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan, cemas karena uang tabungannya kian menipis, dan cemas karena itu berarti ia akan tinggal lebih lama lagi di rumah Tante Sinta. Yang disebut terakhir adalah yang paling sering membuatnya susah tidur.

Kerap, bila perasaan itu datang, ia terpikir untuk pindah saja ke tempat Suci. Namun, secepat ia berpikir begitu, secepat itu pula ia menyadari bahwa dirinya tak tahu-menahu di mana sahabatnya itu tinggal. Dan celakanya lagi, sejak ia tiba di Kota X, nomor sang sahabat tak pernah lagi bisa ia hubungi.

Malam itu—di awal bulan kedua ia tinggal di rumah Tante Sinta—ia tengah duduk di pinggir ranjang sembari memikirkan peruntungannya yang malang ketika sang tuan rumah masuk dan duduk di sampingnya. Perempuan paruh baya itu menatapnya sejenak, lalu dengan gelagat yang tak yakin, berkata, “Tante sebenarnya bisa kasih kamu pekerjaan, tapi di kelab malam…. ”

Belum selesai Tante Sinta berucap, ia sudah menjawab, “Mau, Tante! Mau!” dengan kedua sudut bibir menyunggingkan senyum lebar dan kepala mengangguk-angguk lugu. Ah, yang terpenting baginya kala itu hanyalah mendapat pekerjaan. Bahkan, ketika Tante Sinta lanjut menjelaskan bahwa pekerjaan itu adalah menjadi Waitress—yakni satu pekerjaan yang namanya saja baru sekali itu ia dengar, ia tetap bertahan dengan keputusannya. Malah ia berkata, “Aku memang belum berpengalaman, Tante. Tapi, aku akan belajar.”

“Ya,” kata Tante Sinta seraya ikut tersenyum bersamanya, “Kamu memang harus belajar.”

Keesokan harinya, mereka meluncur ke salah satu salon kecantikan di pusat Kota X. Setelah beberapa jam, bak berlian yang lama terpendam lalu mendapat perawatan khusus dari ahlinya, Purnama keluar dengan tampilan yang sangat memukau. Tak banyak yang berubah, memang. Hanya rambut panjangnya yang semula lurus legam sedikit diwarnai dan digelombangkan, dan alisnya yang semula tebal alami sedikit dicukur dan dirapikan. Namun, itu semua sudah lebih daripada cukup untuk menegaskan kecantikannya. Dan, dengan sedikit polesan lagi di sana-sini, jadilah ia seperti purnama sebagaimana namanya.

***

Kelab itu milik Tante Sinta sendiri. Berdiri di kawasan perbukitan di sebelah Selatan Kota X—lima kilometer dari permukiman penduduk, dibentengi semak belukar dan pohon-pohon besar. Pada plang nama berukuran 2×6 meter di depannya, tertulis tiga kata: Piccolo Paradiso Club.

Piccolo Paradiso atau yang biasa juga disebut Surga Kecil, adalah kelab paling terkenal di kalangan pecinta dunia malam. Siapa pun yang mengakrabi dunia malam pasti pernah mendengar namanya. Letaknya memang agak jauh dari pusat kota, tapi itu tak lantas membuatnya sepi peminat. Malah banyak pengunjungnya yang datang dari luar kota, juga—di waktu-waktu tertentu—luar negeri. Tentu yang datang hanya mereka yang berkelebihan uang. Beberapa di antaranya bahkan pemegang The Black Card yang fenomenal.

Dari jok mobil, Purnama terpegun menatap bangunan yang akan menjadi tempat kerjanya itu. Bagaimana tidak? Ukurannya dua kali lebih besar daripada rumah Tante Sinta! Tiga lantai pula! Ketika ia dan sang pemilik kelab datang, mobil-mobil mewah para pengunjung sudah berjajar rapi di halamannya.

“Aku langsung kerja malam ini, Tante?” tanya Purnama antusias. Mereka baru saja tiba di depan sebuah kamar di lantai tiga kelab.

“Belum,” jawab Tante Sinta seraya membukakan pintu. “Kamu tunggu dulu di sini, Tante ada urusan sebentar.”

Si gadis mengangguk, lalu melangkah masuk.

“Nyalakan saja tivi-nya kalau mau nonton!” seru Tante Sinta sebelum berlalu.

Sepeninggal Tante Sinta, Purnama memindai seisi kamar itu dengan kedua matanya. Dari beberapa peralatan kosmetik yang tertata rapi di atas meja di satu sudut kamar, ia lekas tahu bahwa itu adalah kamar perempuan.

Ia sedang tegang menyaksikan sepasang laki-bini berbalah ketika terdengar suara ketukan di pintu. Sejurus kemudian—setelah ia berseru, “masuk!”—seorang perempuan muncul membawa segelas jus. Perempuan itu meletakkan bawaannya di meja peralatan kosmetik, lalu menyilakannya untuk minum. Purnama hanya tersenyum dan mengangguk. Namun, begitu si perempuan pengantar berlalu, ia segera menyambar gelas tersebut lalu menyesap isinya hingga nyaris tandas.

***

Ia terbangun dengan kepala terasa berat dan tubuh yang hanya berbalut selembar selimut tebal, tanpa bisa mengingat kapan ia tertidur di kamar itu. Di tengah kebingungannya, pintu kamar terbuka dan Tante Sinta masuk dengan raut tak acuh. Alih-alih mengucapkan selamat pagi atau semacamnya, perempuan paruh baya itu hanya melangkah menuju televisi, menyalakannya, lalu memasukkan sebuah kaset ke pemutar DVD. Beberapa saat kemudian, Purnama tersentak melihat tayangan dirinya tengah ditindih oleh seorang lelaki plontos di atas ranjang yang baru saja ia tiduri.

“Mulai sekarang,” kata Tante Sinta datar, “kamu tinggal di kamar ini. Layani setiap laki-laki yang datang dengan baik, ikuti semua kemauan mereka dan jangan coba-coba bertindak bodoh, atau video ini akan tersebar luas di internet dan akan kupastikan orang tuamu di kampung melihatnya.”

Sejak hari itu, kehidupannya berubah.

Bangunan tiga lantai yang selalu dijaga ketat oleh lelaki-lelaki bertubuh kekar itu resmi sudah menjadi rumah barunya. Kamar tempat ia kehilangan kegadisan tempo malam, menjadi tempat kerjanya sejak pukul dua dua hingga tiga dini hari, dan menjadi tempat istirahatnya. Ada enam gadis lain yang juga tinggal di sana, serta tiga orang pembantu, seorang tukang kebun, tiga orang koki, dan lelaki-lelaki kekar yang menempati ruangan tersendiri.

Butuh waktu beberapa hari bagi Purnama untuk terbiasa dengan rutinitas di rumah barunya itu, dan butuh berbulan-bulan untuk bisa menerima kenyataan bahwa ia bukan lagi Purnama yang dulu. Hal pertama yang dilakukannya setelah terbiasa adalah mencari kejelasan. Dari rekan seniornya, Elle, seorang gadis berkulit eksotis yang ditugaskan mengajarinya menjadi sundal yang baik, ia dapati itu semua.

“Kita di sini sama, Dik,” kata Elle di sela-sela menyiapkan perangkat mengajarnya, “sama-sama korban kelicikan Tante Sinta. Kita berangkat dari kampung, dijemputnya di terminal, tinggal di rumahnya, kesulitan mencari pekerjaan, ditawarinya kerja di kelab, ketiduran di satu kamar, lalu terbangun hanya untuk melihat…. Itu semua diatur oleh Tante Sinta.” Elle diam sejenak, lalu melanjutkan. “Dan, soal video itu, Adik mungkin bertanya-tanya, itu asli atau bukan? Kapan mereka bikinnya? Kenapa Adik tak ingat apa-apa? Yah, kenyataannya memang tak seorang pun dari kita yang ingat, apa yang terjadi saat kita ketiduran di kamar masing-masing.”

Purnama mendengarkan semua itu dengan hati remuk dan kepala tertunduk.

“Tapi, di sini peraturannya sederhana, kok.” Nada bicara Elle tiba-tiba berubah. Tersungging senyum tipis—yang jelas sekali merupakan senyum getir—di bibirnya. “Bagi yang sudah bekerja selama tiga tahun, dia boleh pilih: mau lanjut, atau berhenti.”

Purnama mengangkat kepala, menoleh dengan dahi mengernyit tanda tak mengerti.

Elle kembali tersenyum tipis. “Begini,” katanya seraya mengambil posisi duduk di samping sang junior. “Setelah tiga tahun, Adik boleh pilih: mau lanjut bekerja dengan Tante Sinta atau berhenti. Kalau lanjut, Tante Sinta akan carikan tempat yang cocok. Boleh jadi akan tetap di sini atau dipindahkannya ke kelab yang lain. Tapi, kalau berhenti, satu syaratnya … “ Gadis tinggi semampai itu diam sejenak, tampak gamang menyelesaikan kalimatnya. Kemudian, ia lanjut juga bicara setelah menarik napas panjang, “ … syaratnya, Adik harus cari gadis pengganti.”

“Gadis pengganti?!”

“Ya. Asal Tante Sinta suka sama gadis itu, Adik bebas.”

Sontak Purnama teringat Suci. Seketika, bak adegan pemungkas dari film-film misteri, serangkaian penjelasan perlahan-lahan terbentuk di kepalanya, jalin-menjalin satu sama lain hingga akhirnya ia dapati satu gambaran nyata: Suci telah menumbalkannya!

Sekonyong ia rasakan ada sesuatu yang menghunjam tajam ke ulu hatinya, menyiksanya dengan rasa sesak, sakit dan perih yang tak terkira. Perlahan, bulir-bulir bening berluruhan dari kedua sudut matanya menderas hebat dalam pelukan Elle sedetik kemudian.

“Sudah, sudah,” bujuk Elle dengan penuh kelembutan. “Ada pelajaran yang harus kita mulai.”

***

Terlepas dari gaji besar yang mereka terima—yang menjadi penanda bahwa mereka bekerja, sebenarnya gadis-gadis yang tinggal di kelab itu tak ubahnya tengah berlibur di sebuah vila mewah dengan fasilitas hotel bintang lima. Bagaimana tidak? Makan-minum mereka disediakan. Kebersihan diurus pembantu. Sarana olahraga lengkap. Tersedia juga home theater, kolam renang, perpustakaan, dan banyak lagi lainnya. Hanya telepon pintar dan jaringan internet yang tak tersedia (keduanya baru dan hanya akan disediakan bagi gadis yang ingin mencari pengganti). Maka tak heran, banyak gadis-gadis nakal di kota X yang bermimpi bisa bekerja di sana.

Namun, hal sama tidak pernah diimpikan oleh Purnama. Ia bekerja di sana tak lebih karena terpaksa—karena terjebak oleh sistem busuk yang dibangun oleh Tante Sinta. Karena itulah, di waktu-waktu luang, ia kerap memikirkan rencana untuk kabur, meski tak kunjung berani melakukannya.

Seorang gadis lain pernah nekat melakukannya, namun berhasil digagalkan oleh kaki-tangan Tante Sinta. Sebagai ganjarannya, gadis malang itu diseret oleh dua orang lelaki kekar ke gudang, diikat ke sebuah tiang, lalu dihajar oleh Topan—pemimpin para lelaki kekar—tanpa belas kasihan. Purnama dan keenam rekannya dipaksa oleh Tante Sinta untuk menyaksikan itu semua.

Setiap teringat penyiksaan itu, Purnama selalu bergidik dan mau tak mau memikirkan kembali rencananya untuk kabur. Setelah menyaksikan kekejaman itu, ia merasa perlu untuk benar-benar menunggu momen yang tepat agar tak berakhir sama seperti si gadis sang rekan kerja.

Dan, akhirnya, setelah delapan belas bulan menunggu, momen itu datang juga.

Itu adalah malam perayaan ulang tahun Tante Sinta yang ke-52. Malam itu, penjagaan di kelab sedikit longgar sebab Topan dan sebagian besar anak buahnya berhimpun di pusat kota, berjaga di hotel mewah tempat acara ulang tahun sang majikan berlangsung. Menyisakan beberapa orang saja di kelab.

Purnama merasa itulah waktu yang tepat. Lebih-lebih karena ia melihat lelaki-lelaki kekar yang berjaga pada malam itu tak begitu familiar sehingga ia yakin mereka adalah orang-orang baru yang belum begitu berpengalaman.

Malam itu, satu jam menjelang kelab dibuka, ia kabarkan kepada lelaki-lelaki kekar itu bahwa salah seorang gadis telah kabur lewat jendela. Tentu sebelumnya ia telah menjulurkan kain yang diikat sambung-menyambung dengan baju dan celana di jendela kamar si gadis yang ia maksud, agar terlihat lebih meyakinkan.

Benar saja, lelaki-lelaki kekar itu panik bukan main. Seorang gadis berhasil kabur di bawah pengawasan mereka tentulah bukan satu kejadian yang baik bagi keberlangsungan karier mereka sebagai tukang pukul. Maka tanpa menunggu, lelaki-lelaki kekar itu langsung menghambur begitu saja mengejar si gadis yang sebenarnya sedang buang hajat di toilet.

Purnama berhasil kabur malam itu, meski tak lebih dari tiga puluh menit. Ya, para lelaki kekar berhasil menyusul dan menangkapnya. Atas perbuatannya malam itu, ia diganjari satu tamparan keras oleh Tante Sinta, plus sedikit petuah. Tante Sinta sengaja tak menita Topan menghajarnya karena pada saat itu ia adalah aset paling berharga di kelab. Banyak lelaki berduit rela membayar mahal untuk bisa bersamanya.

***

Percobaan kaburnya yang kedua hampir tanpa perencanaan sama sekali, terjadi pada penghujung tahun kedua ia bekerja di kelab. Ia hanya melihat ada satu kesempatan emas dan merasa berdosa jika tidak memanfaatkannya. Satu-satunya dorongan kuat yang membuatnya yakin perlarian kali kedua itu adalah karena ia merasa telah cukup belajar dari kegagalan pertamanya.

Pada percobaan pertama ia yakin telah tak sengaja membawa alat pelacak bersama sehingga lelaki-lelaki kekar itu bisa dengan mudah menyusul dan menangkapnya. Percobaan kedua ini ia bertekad melakukannya dengan sedikit berbeda.

Dini hari itu, setelah kelab tutup, hujan deras turun mengguyur Kota X dan lelaki-lelaki kekar yang berjaga terakuk-akuk dibekuk kantuk. Ketika lelaki-lelaki itu sudah sepenuhnya tertidur, barulah ia mulai beraksi. Pertama-tama ia melepas seluruh benda pada tubuhnya, mulai dari anting, jam tangan, hingga pakaian—sebab pada salah satu dari benda itulah ia meyakini alat pelacaknya bersemayam—lalu menyelinap keluar dan berlari pontang-panting menembus kegelapan.

Tapi, ia keliru. Topan dan anak buahnya lagi-lagi berhasil menangkapnya. Satu tamparan keras, lebih keras daripda sebelumnya, kembali melayang dari tangan Tante Sinta ke pipinya.

“Dasar sundal kampung!” hardik perempuan paruh baya itu dengan mata melotot. Tak tersisa lagi kesan keibuan di wajahnya. “Kuberi kau pekerjaan enak, tempat tinggal bagus, uang berlimpah, tapi begini cara kau membalas, heh? Dengar, ya. Kau baru boleh pergi dari sini kalau sudah tak berguna lagi. Ngerti?

Purnama lantas ditinggal begitu saja di kamarnya dalam keadaan terisak. Gadis kampung? Pekerjaan enak? Uang berlimpah? Ia tiba-tiba teringat pesan kedua orang tuanya sehari sebelum ia berangkat. Pesan itu kembali bergaung di telinganya, seakan baru saja ia dengarkan.

***

Usianya dua puluh dua saat itu, tapi tidak seperti teman-temannya yang sudah menikah di usia delapan atau sembilan belas. Ia masih dara. Itu keinginannya sendiri. Ia tak ingin cepat menikah karena masih ingin kuliah. Menurutnya hanya dengan menjadi sarjana ia bisa mendapat pekerjaan bergaji besar, dan hanya dengan pekerjaan bergaji besar ia bisa mengangkat keluarganya keluar dari jurang kemiskinan.

Namun, di situlah masalahnya. Ayahnya hanya seorang penyadap karet dengan kebun yang tak seberapa luas. Ibunya hanya pendulang emas yang pendapatannya tak pasti. Sedang ia sendiri tak begitu mujur menjadi pedagang online. Mengingat semua itu, ia mulai tak yakin bisa mencicipi bangku kuliah sebelum berusia tiga puluh. Lebih-lebih kedua adiknya juga masih sekolah.

Lalu suatu hari, ketika ia tengah sibuk meladeni keluhan salah seorang pelanggannya, seseorang tiba-tiba menelepon. Semula ia mengira itu adalah sang pelanggan yang merasa tak puas dengan hanya mengeluh lewat chatting, namun sejurus kemudian ia berseru riang begitu mengetahui bahwa yang menelepon adalah Suci.

Hari itu, lewat ponsel-pintar-tapi-kw miliknya, ia banyak mendengar cerita dari sang sahabat yang mengaku telah sukses bekerja di Kota X, dan betapa ia sangat beruntung telah mengenal seorang perempuan baik hati bernama Tante Sinta. Hari-hari berikutnya, Suci semakin sering meneleponnya, semakin sering bercerita tentang Tante Sinta, dan mulai membujuknya untuk ikut merantau ke Kota X.

Semula ia ragu. Namun, karena Suci terus-menerus membujuknya—yang salah satu bujukannya adalah menyinggung-nyinggung soal kuliah, juga meyakinkannya bahwa ia tak perlu mengkhawatirkan soal tempat tinggal karena Tante Sinta akan dengan senang hati memberinya tumpangan—ia takluk juga.

Sehari sebelum ia berangkat, ayah dan ibunya tak jemu-jemu berpesan, “Jaga dirimu baik-baik, Pur. Cari kerja yang halal-halal saja. Biar hasilnya sedikit yang penting berkah. Bapak sama Ibu ndak usah dikhawatirkan. Selagi badan sehat, insya Allah masih sanggup cari uang buat kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adik-adikmu.”

***

Teringat semua itu, isak tangisnya semakin hebat. Bahu-bahunya berguncang. Kedua tangannya ia tangkupkan ke wajah. Ia ingat, waktu itu ayah dan ibunya bersikeras melarangnya pergi, tapi ia malah mengancam akan kabur dan tak akan pernah pulang jika tidak diizinkan. Akhirnya, dengan raut kalah, kedua orang terkasihnya itu mengalah.

Selama beberapa menit ia terus terisak, sebelum tiba-tiba mereda. Kepalanya yang semula tertunduk perlahan terangkat. Dari kedua bola matanya yang basah, terpancar satu tekad yang berkobar-kobar. Aku harus bebas, batinnya.

***

Malam itu, seperti biasa terjadi di akhir pekan, kelab jauh lebih ramai dari biasanya. Musik berdentum-dentum. Gelas-gelas diisi. Para pengunjung campur baur di bawah kerlap-kerlip cahaya lampu. Ada yang sekadar duduk-duduk sambil mengobrol dan menenggak minuman. Ada yang diam melamun sembari menatap gelas kosong. Sebagian besar asyik berajojing mengikuti alunan musik.

Semua masih berjalan normal hingga lepas tengah malam.

Lepas tengah malam, semua orang sontak berhamburan keluar kelab. Wajah mereka tegang menyiratkan kepanikan luar biasa. Api! Di mana-mana api! Entah dari mana muasalnya tahu-tahu api sudah berkobar. Melalap apa saja yang dapat terbakar. Merambat, mula-mula dari bagian atap, lalu hampir ke seluruh bagian gedung, termasuk markas para lelaki kekar.

Pemadam kebakaran yang datang beberapa belas menit kemudian tak dapat berbuat banyak. Api baru benar-benar bisa mereka padamkan pada pukul tiga dini hari. Menurut kabar di sebuah situs online keesokan harinya, tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Hanya kerugian yang ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.

Ketika kehebohan itu terjadi, ketika semua lelaki kekar menatap nanar kepada api yang berkobar-kobar, Purnama menyelinap ke balik sebuah mobil pengunjung kelab. Dari sana, dengan sudut bibir kiri tertarik ke atas, ia menyaksikan tempat kerjanya selama empat tahun terakhir sedang berkobar. Api yang terus melalap gedung megah itu; api yang telah sekian lama membara di dadanya, juga di dada ke enam rekan kerjanya.[]

 

Bungo, 2020


Penulis:
Muhammad Syukry, domisili Muara Bungo, Prov. Jambi – Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *