Resensi Buku
Tutur Riwayat Kearifan Manusia Belang

Tutur Riwayat Kearifan Manusia Belang

Judul      : Manusia Belang
Penulis   : Alfian Dippahatang
Penerbit : Basabasi
Cetakan  : 2020
Tebal      : viii + 160 Halaman
ISBN      : 978-623-7290-77-3

Setiap daerah memiliki kisah. Setiap kisah bisa ditemui misteri yang belum terpecahkan, dari generasi awal manusia sampai generasi yang datang belakangan. Dan setiap misteri, ujung-ujungnya selalu memicu lahirnya duka atau sebaliknya.

Mappi misalnya. Seorang pemuda yang tengah berjalan untuk kembali ke rumah usai berkebun, harus menemui nasib yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ajalnya ternyata datang lebih cepat setelah peluru dari Gurilla, gerombolan Kahar Muzakar yang meresahkan orang-orang menyasar di tubuhnya. Kendati dirinya sudah lari ke dalam hutan untuk menyelamatkan diri.

Tentu saja keluarganya mengalami duka. Terlebih Manni yang dalam tempo dekat akan menjadi istrinya Mappi. Duka itu harus diterima karena dianggap sebagai titah Dewata yang tidak dapat diganggu gugat, apalagi diubah.

Cerita senada juga dialami Tasman, anak laki-laki yang usianya belum genap satu dasawarsa. Ia harus meregang nyawa sebelum dapat merasakan puasnya bermain bersama teman. Ia juga harus mengajal di lokasi yang menjadi kebiasaan keluarganya mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara turun-temurun. Ia jatuh dari pohon nira.

Di dunia lain Tasman bercakap dengan I Ma Rikba, burung tekukur yang dalam kurun waktu setahun terakhir telah ia tangkap dan rawat dalam sangkar. I Ma Rikba protes karena hidupnya yang bebas telah direnggut hanya karena warna bulu dan suaranya yang elok. Meski I Ma Rikba sendiri sadar, bahwa kebebasannya sebagai burung terbatas dengan perangai manusia. Mendengar aduan itu, Tasman merasa bersalah dan sedih. Namun kesedihan Tasman tidak sebanding dengan rasa sedih orang tuanya, Ambo Limang dan Amma Ceda’ yang harus kehilangan dirinya.

Kedua cerita di atas dapat kita jumpai di novel bertajuk Manusia Belang garapan Alfian Dippahatang. Novel ini menempati urutan ketiga dalam Sayembara Novel Basabasi 2019. Secara umum, alur dalam novel ini maju. Cerita pertama mengenai Mappi di atas bertahun 1954 dengan gejolak politik negara Islam Kahar Muzakar. Kemudian cerita Tasman bertahun 1996, tahun-tahun menuju titik akhir era orde baru.

Hanya saja, saya rasa novel ini lebih cocok disebut sebagai kumpulan dari cerita pendek (cerpen) daripada novel. Sebab di dalamnya terdapat sepuluh cerita pendek dengan awal dan akhir yang berbeda-beda. Semua cerita juga bisa berdiri sendiri tanpa harus melibatkan cerita lainnya. Kalaupun mau disebut sebagai novel, mungkin yang menjadi benang merah ialah intervensi Dewata terhadap kehidupan suku To Balo.

Suku To Balo di novel ini didefinisikan sebagai manusia yang memiliki ciri warna kulit belang. Balo sendiri artinya belang. Tubuhnya juga dianggap kebal karena menyembah kepercayaan tradisional. Suku ini bermula dari To Manurung, orang pertama yang dipercaya sebagai nenek moyang suku To Balo (hlm. 2).

Suku ini hidup di pegunungan dengan Hutan Bontang sebagai tempat yang mereka keramatkan. Di hutan ini biasanya diselenggarakan saukang, upacara memberi sesaji guna mengarifi semesta dan sesama makhluk hidup yang tinggal bersama suku To Balo (hlm. 4). Selain memiliki warna kulit belang dan dianggap kebal, suku To Balo memiliki tiga ciri lain yang melekat kuat sejak masa silam.

Ciri pertama, keluarga suku To Balo tidak diperkenankan oleh Dewata memiliki jumlah keluarga genap. Ketika itu dilanggar, salah satu anggota keluarga akan meninggal. Para tetua dan siapa saja yang menjadi anggota suku To Balo tidak menemukan pemaknaan yang pas ihwal kenapa keluarganya harus ganjil.

Prototipe mengenai ciri itu dapat dijumpai pada cerita Sapang dan Arning, suami istri yang mendambakan kelahiran bayi kembar. Keduanya bersama Ambo Lerang, Amba Intang, dan anaknya Niri melakukan saukang di Hutan Bontang sebagai laku ikhtiar memohon agar harapnya diijabahi. Mereka berkeinginan yang lahir adalah anak laki-laki kembar. Jika tidak kembar, maka salah satu diantara anggota keluarganya atau malah si bayi itu sendiri yang akan menemui ajalnya (hlm. 34).

Namun Dewata berkeputusan lain. Berawal dari luputnya Sapang dan Arning kala berhubungan badan yang keburu oleh nafsu, Dewata akhirnya memberikan anak laki-laki satu yang usianya tidak genap seminggu. Anak itu harus berangkat lebih dulu menemui ajalnya. Di lelapnya Sapang dan Arning, bayi itu melulu datang di mimpi memberi nasihat bahwa laku berhubungan badan yang telah mereka lakukan telah salah kaprah.

Ciri kedua, kecakapan menguasai mantra beberapa orang di suku To Balo. Layaknya pengetahuan pada umumnya yang selalu dikelindani sisi baik dan buruk, mantra juga demikian. Tinggal siapa dan untuk apa mantra itu difungsikan, menolong orang atau malah mencelakakan orang.

Mengenai mantra ini, kita bisa mendapati pada cerita Ambo Tuo yang memiliki pengetahuan kapan, di mana, dan seperti apa dirinya nanti wafat. Ia memberi wejang pada istri, anak, dan menantunya saat bersantab malam, yang memang disengaja memilih-masak menu berlebihan dan terkesan mewah. Di situ Ambo Tuo mengatakan bahwa dirinya akan pergi ketika matahari lewat sepenggalah. Wejang itu hanya dipercayai samar oleh istrinya dan Hajrah, anak bungsunya (hlm. 72). Sementara anaknya yang lain memilih pergi ke sawah dan memaknai wejang itu sebagai omongan ngawur Ambo Tuo karena lelah.

Wejang itu ternyata nyata. Ambo Tuo benar-benar bersua ajal sesuai dengan wejang yang disampaikan saat bersantab malam hari kemarin. Kepulangan Ambo Tuo menjadi duka sekaligus teka-teki bagi Hajrah. Sebab ia kerap bertemu Ambo Tuo dalam mimpi dan diberi mantra-mantra sebagai warisan nenek moyang terdahulu. Hajrah menerimanya. Kendati kakaknya Sururi tidak terima dengan Ambo Tuo yang malah memilih Hajrah, bukan dirinya sebagai kakak tertua (hlm. 82).

Ciri yang terakhir, suku To Balo tidak diperbolehkan oleh Dewata menikah dengan orang dari luar suku mereka. Terlebih lagi pernikahan yang digelar bukan murni sebagai laku syukur, melainkan untuk mengubah agar anak cucunya tidak lagi memiliki kulit belang. Para orang tua menganggap bahwa identitas kulit belang itu telah menyudutkan mereka dari hiruk pikuk kemajuan zaman, sering dicela, bahkan dihina.

Meskipun ada juga satu dua orang di suku To Balo yang menikah dengan orang dari luar suku mereka. Tapi lagi-lagi petaka tidak mudah untuk pergi begitu saja. Parenrengi misalnya. Ia harus menemui ajal dengan keadaan perut yang kian membengkak. Kondisinya itu ditengarahi oleh kengototannya menikahkan anaknya, Miung dengan Maji’, orang dari luar suku To Balo (hlm. 147).

Secara umum, sepuluh cerita di novel ini tidak berjarak dengan kehidupan masyarakat kita yang melulu menemui posisi sulit, dicecar dengan keadaan yang tidak memihak, dan seabrek problem yang datang merundung. Novel ini selain memberi kesan cerita yang wajar penuh makna, juga dapat menjadi representasi ihwal kehidupan masyarakat yang memegang teguh aturan kearifan lokal. Bukan dalam konteks menonjolkan, namun sebagai alarm bahwa kemajuan zaman tidak serta merta bisa menegasikan, apalagi menggantikan kearifan yang telah berlangsung sejak berabad-abad silam. []


Penulis:

Ahmad Sugeng Riady. Penulis adalah masyarakat biasa merangkap marbot di pinggiran kota Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *