Cerpen
Lukisan Anggrek Bulan Merah

Lukisan Anggrek Bulan Merah

DI pelataran rumah, di bawah pohon srikaya, sambil menyirami bunga-bunga anggrek yang bermekaran, Dewanti teringat dua sahabatnya, pendaki gunung yang hilang tak kembali, tak diketahui di mana mereka lenyap dalam pendakian. Dua sahabat lelaki di kampus yang sudah sangat berpengalaman mendaki itu berpisah dengannya di bawah pohon randu alas, hampir mencapai puncak gunung. Dewanti berhenti di bawah pohon randu alas tua itu, ingin mendapatkan bunga anggrek bulan merah yang tumbuh di dahannya. Ia membujuk kedua sahabat lelakinya untuk memanjat pohon randu alas yang begitu besar, dan mereka tak mampu melakukannya.

Melihat bunga anggrek bulan merah yang menawan, Dewanti tak beringsut dari sisi pohon randu alas tua. Di pangkal dahan yang besar, agak mencapai puncak, tumbuh bunga anggrek bulan merah yang sedang mekar. Ia ingin membawa pulang bunga anggrek bulan merah itu. Ingin melukisnya.

Dewanti tak mungkin bisa memanjat untuk mencapai bunga anggrek bulan merah yang sedang mekar itu. Ia memilih berhenti di bawah pohon randu alas, menghentikan perjalanan mendaki gunung. Ia bersama Dyah, gadis cantik berwajah lembut yang tak banyak bicara. Dua teman pendaki lelaki turut berhenti di bawah pohon randu alas. Dewanti memandangi bunga anggrek itu dengan penuh rasa ingin memiliki. Tapi bunga anggrek bulan merah itu betapa tinggi,  tak mungkin memanjat pohon randu alas dan mengambilnya. Dua teman pendaki lelaki mencoba untuk memanjat. Mereka  merosot turun sebelum mencapai tengah  pohon randu alas.

“Alangkah indahnya memiliki bunga anggrek bulan itu,” kata Dewanti, tak mau beranjak meninggalkan bawah pohon randu alas yang tinggi. “Aku akan menanti seseorang yang bisa mengambilkan bunga anggrek itu untukku. ”

“Kutinggal kalian  di sini. Kita ketemu di pos pendakian terakhir,” balas pemuda pendaki jangkung, dan seorang teman  bertubuh gempal. Tenang sekali mereka meninggalkan Dewanti dan Dyah berdiri di bawah pohon randu alas, menanti seseorang datang bersedia mengambil bunga angrek bulan merah. Lama, tak seorang pun menghampiri mereka. Wajah Dyah menampakkan rasa kesal, meski tak  meninggalkan Dewanti. Mereka menanti seseorang lewat, dan tak seorang pun bersedia memanjat pohon randu alas.

***

Hampir senja ketika Dewanti melihat seorang lelaki muda bertubuh kurus berjalan dengan langkah-langkah ringan, menjelajahi hutan lereng gunung seorang diri. Ia membawa ember dan sabut kelapa kering. Dalam  ember itu terdapat lempengan-lempengan sarang lebah yang kuyub madu. Lelaki pencari madu lebah hutan itu berhenti, memandangi Dewanti dan Dyah bergantian.

“Kau bisa mengambilkan bunga anggrek itu untukku?” pinta Dewanti, dan lelaki kurus itu menyanggupinya. Ia meninggalkan ember, sambut kelapa kering yang digunakan untuk mengusir lebah, dan melepas sandal. Cekatan memanjat pohon randu alas itu. Hampir mencapai puncak. Ia berhenti tepat  di atas dahan tempat bunga anggrek bulan merah itu tumbuh. Hati-hati sekali lelaki pencari madu lebah hutan itu mengangkat bunga anggrek bulan merah. Dan membawanya turun. Memberikannya pada Dewanti yang kegirangan. Lelaki kurus itu menolak pemberian uang Dewanti.

“Bunga ini tak akan bertahan lama,” kata pencari madu lebah hutan. “Mungkin akan layu begitu kaubawa turun dari gunung.”

Dewanti baru sadar bila penantiannya di bawah pohon randu alas terlalu lama, hari hampir senja, dan kabut mulai turun. Ia tak akan menemukan jalan pendakian ke puncak. Jalan terhalang kabut. Pencari madu lebah hutan mengajak mereka turun. Mencapai pos pendakian,  lelaki muda bertubuh  kurus itu meninggalkan mereka. Lenyap, turun gunung, menyusuri jalan setapak dengan kaki ramping yang lincah.

Dalam tenda itu Dewanti terus memandangi bunga anggrek bulan merah, dan ia sudah tak tahan ingin melukis. Dyah yang masgul karena belum mencapai puncak gunung, cepat sekali terlelap di balik jaket dan selimut tebalnya. Dyah tak menghiraukan Dewanti yang terus membelai helai-helai bunga anggrek bulan merah. Takjub.

***

Masih gelap pagi ketika Dyah membangunkan Dewanti. Mengajak membongkar tenda, mengemasi peralatan tidur, makan pagi, dan melanjutkan pendakian. Dewanti mengikuti keinginan Dyah dengan malas.  Ia seperti tak ingin melanjutkan mendaki gunung. Ia ingin pulang dan melukis bunga anggrek bulan merah.

Dyah berjalan tergesa di depan. Mencapai pohon randu alas, Dyah terus meninggalkan tempat itu. Tapi Dewanti berhenti. Tengadah. Memandangi dahan-dahan pohon randu alas, mencari-cari bunga anggrek bulan yang masih tersisa. Dyah menarik tangan Dewanti. Tiba di tempat pos pendakian terakhir, mereka tak menemukan dua teman seperjalanan. Buru-buru Dyah mengajak mendaki puncak gunung. Terengah-engah kedua gadis itu mencapai puncak, dan mencari-cari kedua sahabat mereka. Tak ditemukan.  Hingga matahari tinggi, mereka tak menemukan dua sahabat seperjalanan. Dyah bertanya pada tiap orang yang berada di puncak gunung itu, tak seorang pun mengenali dua teman seperjalanan mereka.

Dua gadis itu kehilangan kegembiraan. Mereka kembali turun gunung. Sepanjang perjalanan mereka mencari kedua teman yang tak ditemukan. Tapi tak ditemukan. Dyah merasakan perjalanan yang senyap. Mencapai kota, mampir ke tempat tinggal dua lelaki itu. Mereka belum kembali.  Kedua teman lelaki mereka mendaki gunung dan tak turun kembali.

***

Bunga anggrek bulan merah yang dibawa Dewanti dari lereng gunung tak terawat selama beberapa hari. Gadis itu sibuk melacak kedua sahabatnya yang mendaki gunung dan tak kembali. Tidak  ditemukan dalam keadaan hidup. Tidak pula ditemukan jasad mereka. Mereka hilang. Bunga anggrek bulan merah itu layu. Tak terawat. Dewanti tak dapat melukisnya. Ia menempatkan bunga anggrek bulan merah itu dalam pot, mengantungkan di dahan pohon srikaya, menyiraminya, dan berharap esok pagi akan kembali segar.

Masih terlalu pagi ketika Dewanti bangun, membuka pintu, menghambur ke pelataran rumah, dan menghampiri pohon srikaya, untuk melihat bunga anggrek bulan merah. Masih tampak layu. Bahkan kian layu. Bintik embun di atas helai-helai bunga anggrek bulan merah itu, tak menyegarkannya.  Ia tak mau  melukis bunga anggrek bulan merah yang layu.

Bagaimana mungkin bunga anggrek bulan merah yang diambil dari dahan pohon randu alas, lambat laun menjadi layu? Ia berangkat kuliah dengan perasaan yang gelisah. Teringat ia pada lelaki kurus pencari madu lebah hutan. Lelaki kurus itulah yang telah menyelamatkannya hingga  tak hilang di puncak gunung bersama kedua sahabat lelaki yang terus melakukan pendakian. Kedua sahabat lelaki itu tak ditemukan, meski sudah dilakukan pencarian berkali-kali di sekitar puncak gunung.

Sore hari saat ia memasuki pelataran rumah, mendapati bunga angrek bulan merah dalam pot abut kelapa yang baru saja digantungkan di dahan pohon srikaya. Masih basah, baru disiram air. Mungkin Ibu yang menyiraminya. Betapa tampak segar bunga anggrek bulan merah itu, berayun-ayun digetarkan angin sore, dan mengundang gairah Dewanti untuk melukisnya.

“Tadi siang datang seorang penjual madu,” kata Ibu, berdiri di depan pintu.“Ibu beli madu sebotol, dan dia menyerahkan bunga anggrek bulan merah yang diambilnya dari pohon di lereng gunung. Ia pernah bertemu denganmu dan mengambilkan bunga anggrek di pohon randu alas.”

Tertegun, Dewanti tak pernah bisa menduga, bagaimana lelaki kurus pencari madu lebah hutan bisa tahu, di sini ia tinggal? Lelaki kurus itu pula yang memintanya turun dari lereng gunung untuk menginap di pos pendakian ke arah lembah. Kalau ia dan Dyah mengikuti dua sahabatnya mendaki gunung, mungkin saja ikut lenyap dan tak kembali.

***

Godaan untuk melukis bunga anggrek bulan merah pemberian lelaki kurus pencari madu lebah hutan menggetarkan tubuhnya. Cekatan sekali ia menggoreskan kuas, cat, ke dalam kanvas. Tapi, sungguh aneh, betapa bayangan sosok pencari madu lebah hutan itu mengganggu pandangan Dewanti. Sangat jelas wajah itu melintas dalam pandangannya. Lalu wajah dua sahabat lelakinya yang hilang dan tak kembali dari pendakian tampak mencari ketenangan di lempengan batu besar, duduk berdua, tanpa percakapan.

Urung menyelesaikan lukisan anggrek bulan merah itu, Dewanti teringat  begitu jelas tempat yang diduduki dua sahabat lelaki pendaki gunung. Seperti sebuah gua yang telah menenteramkan mereka dalam sunyi. Ia ingin mengajak Dyah kembali mendaki gunung. Kali ini untuk menemukan kedua sahabat mereka, yang begitu jelas tampak letak dan suasananya. Ia ingin setelah dua sahabat itu ditemukan, bisa melukis bunga anggrek bulan merah itu dengan tenang.

Di pos pendakian kaki gunung langit merah terus rekah. Dewanti, Dyah, dan lima lelaki pendaki gunung bergerak melacak dua rekan mereka yang belum kembali. Dalam perjalanan pendakian, Dewanti melihat kelebat tubuh lelaki kurus pencari madu lebah hutan. Langkah lelaki itu ringan dan lincah. Mengapa lelaki pencari madu lebah hutan tak diajaknya sekalian dalam pencarian dua sahabatnya yang belum kembali? Tapi langkahnya alangkah ringan mendaki jalan setapak lereng gunung.[]

Pandana Merdeka, Februari 2021


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *