Resensi Buku
Mendekonstruksi Aroma Budaya, Tradisi dan Patriarki

Mendekonstruksi Aroma Budaya, Tradisi dan Patriarki

Judul       : Rokat Tase’
Penulis    : Muna Masyari
Penerbit  : Penerbit Buku Kompas
ISBN        : 978-623-241-207-1
Tebal        : vi +178 hlm
Edisi         : cetakan pertama, 2020

Muna Masyari melalui kumpulan cerpen Rokat Tase’ telah berhasil menarasikan sesuatu yang lain (the other) perihal Madura. Baik dari segi spiritualitas, tradisi, serta kebudayaan. Unsur local wisdom memang sangat krusial sekali pada cerpen-cerpen Muna Masyari. Setidaknya ada 20 cerpen yang saling berafiliasi, beresonansi, bahkan menyajikan sebuah paradoks budaya bagi pembaca. Baik bagi manusia Madura sendiri maupun pembaca di luar Madura.

Pengingatan kembali pada akal budi leluhur memang menjadi anomali yang siap dinikmati kembali ketika menyentuh setiap lembar kumcer Rokat Tase’. Secara tersirat, Muna Masyari merekonstruksi ulang bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan warisan budaya leluhur. Di samping menawarkan ritus budaya dan kesenian yang berbau local wisdom, penulis yang merupakan cerpenis pilihan Kompas 2017 ini juga merepetisi budaya-budaya asli Madura yang sudah mendapat stigma tidak baik. Contoh kecilnya berupa stigma carok.

Pra anggapan perihal carok didekontruksi ulang oleh Muna dalam cerpennya yang berjudul Celurit Warisan. Ia menganalogikan carok bukan peristiwa yang semata-mata yang selama ini khalayak umum dengar. Stigma buruk terhadap orang Madura yang suka bercanda dengan nyawa ditepis habis oleh Muna. Anggapan yang paling masif bahwa orang Madura suka berkelahi itu sama sekali tidak benar. Hal ini termaktub dalam percakapan, ‘Celurit  ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah’. Analogi tersebut mengungkapkan bahwa celurit yang merupakan senjata tradisional manusia Madura tidak semena-mena menebas orang. Manusia Madura juga punya hukum sekaligus taat terhadapnya. Baik hokum negara maupun hukum budaya.

Madura yang feminin di satu sisi juga tak luput dari pergulatan tradisi. Narasi tentang perempuan yang terletak pada tingkatan kedua setelah laki-laki sebenarnya merupakan cara lain menghargai kepemimpinan seorang laki-laki. Meskipun Madura patriarki secara konseptual, laki-laki Madura juga patut meletakkan perempuan sebagai anasir terpenting dalam dinamika kehidupan. Akan tetapi, memiliki seorang perempuan (istri) dianalogikan tak ubahnya menggembala seekor kambing, ‘Apabila sudah pintar memelihara dan mengurus kambing, maka kau akan lebih mudah mengurusnya nanti. Benar saja, kalau menuntun kambing, talinya jangan diulur terlalu panjang, kamu bisa kewalahan. Dengan tali terukur panjang, ia akan kesulitan dituntun. Tertinggal di belakang, akan membuat kambing  berhenti semaunya. Dibiarkan berjalan di depan, ia akan lari, dan kamu akan kewalahan mengejarnya. Maka tuntuntunlah ia di sampingmu.’ (hlm 152). Begitu pula dengan menjaga seorang perempuan, tuntun dan pastikan ia selalu berada di samping kita. Jangan tinggal di belakang, apalagi sampai menyalip di depan.

Isu tradisi karapan sapi yang sudah melenggang jauh dari fitrahnya juga tak luput dikritik dalam cerpen yang berjudul ‘Warisan Leluhur’. Melalui tokoh eminen yang bernama Maryam, penulis menyematkan kegamangan hatinya karena tradisi karapan sapi selalu diidentikkan sebagai gelanggang menyiksa para sapi, meringis perih hati Maryam membayangkan paku-paku itu menghujam, menciptakan lubang-lubang berdarah di bokong sapi yang akan diadu lusa (hlm 160).

Hanya saja suara Maryam yang memprotes sama sekali tidak diindahkan sama ayah dan saudaranya. Ketakberdayaan tersebut saya pikir merupakan analogi penulis sendiri yang ingin menyuarakan keadilan meski hanya kepada hewan sekalipun. Hanya saja akan bernasib sama seperti Maryam jika yang berjuang hanya sendirian. Keadilan rasanya akan sulit terealisasikan.

Simbol rembasnya salah satu kesenian juga menjadi subjek yang bugar dalam kumpulan cerpen Rokat Tase’. Punahnya satu tarian asli Madura yang bernama Tari Duplang memperpanjang catatan langisnya kebudayaan lokal masyarakat Sumenep Madura. Tari Duplang sendiri merupakan ritus lakon  peladang wanita yang menanam umbi-umbian (gaddung).

Mulai dari proses penanaman, pemupukan, hingga pada pemanenan direkam lengkap dalam Tarian Dupplang. Sementara tarian berakhir setelah ronggeng mengonsumsi gaddung dan dibuat mabuk olehnya. Durasi pertunjukan sendiri setidaknya memakan waktu 1 sampai 2 jam dan memerlukan tenaga yang super ekstra. Sehingga sukar mencari anak muda yang mau belajar jadi ronggeng Dupplang. Dan hal-hal itu yang kira-kira yang menjadi salah satu pemicu punahnyaTari Dupplang.

Adagium Madura yang berbunyi, etembhâng pote mata lâbbhi bhâghus pote tolang (ketimbang putih mata lebih baik putih tulang), mengisyaratkan filosofi orang Madura yang pantang dibuat malu. Jika perasaan malu sudah mendera maka harga yang harus dibayarkan adalah pote tolang (putih tulang). Hal tersebut dikarenakan manusia Madura sendiri mempunyai watak yang tegas. Apalagi jika menyangkut harga diri. Tidak bisa ditawar lagi.

Selain itu, unsur mitologi juga masih berkelindan. Kepercayaan kepada mitos animisme dan dinamisme  masih masif dan bukan menjadi sebuah anomali. Ada satu rantau yang bernama Pantai Jumiang yang mitosnya berupa, apabila sepasang kekasih berkunjung ke pantai tersebut  maka hubungan keduanya akan putus di tengah jalan.

Labelisasi mistis Pantai Jumiang sedikit berparadoks ketika banyak para istri yang menunggu kepulangan suaminya dari melaut, dan sejauh ini mereka baik-baik saja. ‘Hampir tiap hari saya dan istri, nyatanya perkawinan kami aman-aman saja meski tanpa anak. Memang justru kepercayaan yang justru menyeret seseorang pada kenyataan’ (hlm 134).

Akhirnya, Rokat tase’ sendiri merupakan sebutan untuk salah satu tradisi di Madura. Di mana tujuan utamanya adalah bersyukur kepada Tuhan semesta alam dikarenakan hasil laut yang melimpah selama satu tahun. Dan biasanya dihiasi pula dengan kesenian ludruk dan larung sesajen.

Membaca kumpulan cerpen Rokat Tase’, kita akan dibawa ke palung terdalam nilai-nilai tradisi dan budaya lokal Madura, dengan aneka ragam konflik yang berkelindan serta kekuatan mitos yang beraromakan mistis di dalamnya. Muna Masyari Menyajikan Madura yang lain dengan etiket eksotis dan bahasa yang segar. []


Penulis:

Fahrus Refendi. Merupakan mahasiswa Universitas Madura prodi Bahasa & Sastra Indonesia. Bergiat di Sivitas Kothѐka Pamekasan Madura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *