Puisi
Puisi Iin Farliani

Puisi Iin Farliani

Tebing

seperti burung yang singgah sebentar
ia ingin tenggelam ke putihnya
putih tebing
sebab mengira kehitaman air mata
yang meluncur deras ini
mungkin akan memutih jua

dari puncak
kematian pohonpohon
meminta kesaksian
dan kita seperti pengembara itu
menaruh wasangka pada dahannya
yang menggantung seperti
masih diberati
nyawanyawa

senja jadi bangkai
di mata pejalan, musafir yang menafsir
perjalanan ini akan menelan kita
membutakan kata kepulangan

tinggal yang berlari
hanya burungburung
di lintasan air

Sekotong, 2020

 

 

Menuju Sekotong

adalah jalan meliuk, kelokan ular
disediakan bagi kematian keluarga
yang diabadikan menjadi bangkai
baunya melebihi sengatan air asin
ketika kapal melintas di separuh Lembar
dan airnya dipercikkan angin yang panjang

rimbunan bakau tertinggal di belakang
dalam retakan kaca, masih terlalu elok bersatu
demi karangkarang mati
di bawah rumah pancing

juga tebing di seberang yang raguragu
menjatuhkan batang mati
masih tak cukup membingkai
kesedihan dengan tepat

mereka hanya menjadi saksi
ia yang memintas di atas roda
bersama rasa mabuk di perut
taringtaring dalam mimpi memagut
diam meniru laku batubatu:
alam ini tetaplah pada gaibnya

kau tak ada beda dengan larinya debu
sepanjang kelokan mendapat bagian sama
bagi segala yang melintas, segala yang meniru angin

meski kau terus berkeras meminjam kedalaman teluknya
sebagai ibarat dari dukamu yang memberat di punggung

Sekotong, 2020

 

 

Memburu Ulva

ke dasar laut
harihari turun
sebuah hening telah lama
menjadi hukuman panjang
bagi para penyelam

ulva yang mengapung
bagai menyemak liar
ketika seorang perempuan
menenggelamkan diri sebatas pinggang
mencari yang paling hidup dari yang hidup
dengan laut sebagai tanahnya

telah ditukar degup dari malam yang berhantu
pada esok yang kabur
apakah ulva itu dahulu pernah terkubur?
laut menyembunyikannya
ombak kecil menjilat lendir
dari tunas yang tak pernah ada
akar khayali

perempuan berlutut
di hadapan kehijauan
yang mengental
klorofil menyimpan tanya dari matanya:
akankah kesiaan cuma bertaruh keyakinan
pada yang bakal lepas, bakal hanyut hilang
umpama lipatan daun yang menyerupai pedang ini

ia tahu waktu sedang menantang
ketika cahaya langit memintas
ke sebuah kabar yang tak pernah datang
dan tak lagi terdengar suara penyelam
tak ada lagi pemancing
yang berserah pada kail

sebab laut tak punya iba
ia menyimpan rapat rindunya
pada ulva yang tumbuh dari tangan
menjelma jaring, menjelma belukar
terus memanjang, terus melingkar

Sekotong, 2020

 

 

Tambak

apa jadinya bila ia datang
ketika matahari masih tinggi
ia takkan tahu tambak yang dalam
bisa begitu susut dan menyerahkan rahasianya:
pasir hitam sehitam malam
kerangka ramba yang rapuh
telah begitu dingin
menanamkan diri pada lumpur
hari demi hari

di kejauhan ia hanya bisa membayangkan
rimbun ketam tumbuh dari air
kedukaan barangkali baru tiba
sebatas kantuk di mata petambak
yang mengintai para pencuri

ia dan tambak berjauhan
tapi telah sama tahu liuk luka
dapat tertelan ketenangan yang samar
sebisu air payau, sekoyak karapas yang terlepas
laiknya batubatu demikian merelakan diri
untuk tenggelam

ia tahu usianya takkan cukup mengganti
hitungan keleluasaan tambak ini
meski kelana telah tiba pada hitungan keseribukali
memutarinya, memutari lagi
lenyap bagai pengembara tak bernama
sesudah memukul batu di keheningan air
sesudah mengisyaratkan bunyinya
sebagai debur dada yang menyeru
di tiap kedip malam

suara lain dari hariharinya yang bakal mati
suara lain dari hariharinya yang begitu mati

Sekotong, 2020

 

 

Menghitung Plankton

ia dapat dikenali
dari petakpetak asing
yang berada dalam lensa
bagai barisan ladang di rumahrumah
ada yang memencar di sana
tapi, apakah itu?
seperti butirbutir kacang

apakah ia mati atau semata terbujur kaku
demi berseru, “di sini ada aku”
memburu dalam gelap kala lensa diperbesar
tak cukup menangkap barangkali
sedikit saja ujung ekor
yang menumbuhkan usianya

Sekotong, 2020

 

 

Hari Menyetrika

merawat dua puluh lebih usianya
kecemasan dititipkan
pada lusuh kain, lipatan kerah baju
lebih keras dari kanji

ia merampungkan himne yang lain
dengan khidmat seumpama
keheningan yang menyusup di tengah
kala tiap jari membetulkan lipatan dada

sebuah pelukan akan berakhir
sama hangat dengan papan setrika ini
yang masih akan menutup dalamdalam
kenangan yang oleng
di paruh pagi

tapi masih juga ada gema
masih saja ada gema sisa
tiap melihat pantolan di meja
“sudah neciskah aku sekarang”

pria parlente di seberang

Pejarakan, 2020

 

 

Semasa Wabah

seluruh pemandangan hanya berlari
di bingkai lapuk itu
musim terkurung
ada yang kembali rebah sesudah tahu
rintis angin masih berkilometer jauhnya
untuk sekadar menggerakkan ayunan
di halaman

daun kering, hujan yang bertahun tinggal
dalam puisi
ketika orang berkelakar untuk hidup
dan hidup untuk kelakar

kian susut kini
sebab mengingat aromanya
sudah tak bisa

harihari terkubur di bawah koran
orang takut mati, takut takkan bisa
menggelar perkawinan
takut tak ada yang meneruskan hukuman

seorang mungkin hanya berdiri di pinggir hari
perlahan mengelupas
lusuh dan menghitam
tak ada nyanyi!
kata yang tertinggal di tenggorokan

Pejarakan, 2020

 

 

Scabies

merah dibubuhkan
merahnya yang tanda bagi duka
merata di sekujur tubuh
menusuk bagai ribuan jarum
seperti tangan panjang menggali
sesudah ratusan tahun tiada

masih dirasakan tajam cakaran
masih dilihatnya membelah ruam
begitu terkenang akan mati
bila sejengkal saja tapak ini
berani mengoyak
kulit sendiri

sementara ada yang mendirikan menara
diamdiam dalam lensa mikroskopik
ia purapura tak menahu
sebuah kehidupan telah rebah di atasnya
yang lebih niscaya dari dirinya
yang lebih rumit
kini berpagut di pinggir ranjang
berkali menyebut tragedi
si tungau ini

Pejarakan, 2020

 

 

Histamin

aku gemar menjadi buta
memasang jerat seperti penggila
lebih cinta dari serangga
menabur penawar
seperti menabur melalui sungut

di paruh awal barangkali masih kaudapati
seteru beradu
kita terkapar bersama, tersesat
mengenali jejak

siapakah yang laik kau sebut musuh itu?

Pejarakan, 2020

 

 

Kronologi Mimpi
– kepada fikhan ghazali

sebuah mimpi mendatangiku dengan barisan kisah
yang belum menamatkan dirinya. terkunci ratap keluarga
si tuan diminta belajar merasa sebelum peluk berakhir
ringkuk. sebelum pejam menjadi satusatunya alasan
rahasia terlambat disibakkan. kaukah itu? yang berlari
dari pagi. bersembunyi ke dalam hitam
kita takkan lagi berdebat siapa yang menerima mahkota
atau menarik picu dari persembunyian, menembak
kepala lalu menuding salah satu dari kita mestilah
pelakunya. hanya ada satu cara melarikan diri: berpuralah ini
bakal mimpi. mimpi mati. kita berupaya mengingatnya
bersama puzzle bergambar: kepala gajah dan jerapah
usaha keras yang percuma sebab kau jelmaan batu karang
dan aku butir garam yang terlambat mengkristal
demi sekali lagi larut jadi bagian tak terhitung
dari ombak yang menggulung
menghantam keabadian karang menghantam kali keseribu
yang dihitung jemari

kaukah itu? darimana kukenali
karat pada kunci?
pacak tiangtiang yang membekukan jalanan?
atau kita semata terpisah mimpi
dari bahasa orangtua yang urung mengembalikan
ingatan kanakkanak itu, hingga luka
berkali mencedera pada penutup
di babak perkenalan ini

Pejarakan, 2020


Penulis:

Iin Farliani, lahir di Mataram, Lombok. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Menulis puisi, esai dan cerita pendek. Karya-karyanya telah disiarkan di pelbagai surat kabar dan termaktub dalam beberapa buku bunga rampai terpilih seperti Himpunan Puisi Penyair Perempuan Nusa Tenggara Barat Taman Pitanggang (2015), Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos Pelabuhan Merah (2015), NUN Yayasan Haripuisi Indonesia (2015), Puisi Pilihan Suara NTB Kembang Mata (2015), Puisi Pilihan Suara NTB Ironi Bagi Para Perenang (2016), serta masuk dalam antologi Situs Kesedihan: Puisi-Puisi Terbaik Basabasi.co 2019. Cerpennya terangkum dalam antologi Melawan Kucing-Kucing (2015) dan Mata yang Gelap (2016).

Sejak tahun 2013 hingga sekarang masih terlibat aktif dalam kegiatan komunitas sastra Akarpohon Mataram. Buku kumpulan cerita pendeknya yang telah terbit berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019). Di tahun 2020, ia terpilih sebagai salah satu Emerging Writers MIWF 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *