Resensi Buku
Jakarta, Oh Jakarta

Jakarta, Oh Jakarta

Judul       : Cerita-Cerita Jakarta
Penulis    : Ratri Ninditya, dkk
Editor      : Maesy Ang & Teddy W. Kusuma
Penerbit  : POST Press
Terbit      : Maret 2021
Tebal       : xv + 213 Halaman
ISBN       : 978-602-60304-6-7

Cuma orang sakti yang bisa bertahan hidup di Jakarta, kata Ratih Kumala dalam salah satu novelnya, Wesel Pos. Seperti narasi-narasi yang sudah lebih dulu kita dengar, ibukota atau Kota Jakarta digaungkan sebagai magnet sekaligus medan juang yang tak ringan. Selain Ratih Kumala, paruh awal ’80-an juga terdapat film yang secara gamblang menggambarkan kengerian Jakarta. Film yang disutradarai oleh Imam Tantowi itu berjudul, “Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota”.

Tiga dekade lebih sejak film itu dirilis, kesan yang ada dalam diri kota Jakarta tidak banyak berubah. Ratih Kumala mengenalkan kalimat itu di tahun 2018. Sementara kini, tahun 2021, dalam sebuah buku berjudul Cerita-Cerita Jakarta, wajah yang kompleks itu ditampilkan lagi.

Kita bisa meraba-raba kompleksitas wajah Jakarta dari kesepuluh cerita di dalam buku. Kesepuluhnya ditulis oleh penulis yang berbeda, sehingga bagaimanapun, selain membawa topik cerita yang beragam, mereka juga menyisipkan sudut pandang masing-masing dalam memandang kota mereka.

Bagaimana Jakarta akan bercerita tentang dirinya? Pertanyaan yang dilayangkan dua penyunting buku dalam pengantarnya itu, semacam pembuka bagi sekian narasi dengan kekhasan mereka tersendiri. Jakarta, mula-mula dianggap sebuah entitas tunggal yang menggeliat hidup. Namun, seiring dengan halaman demi halaman yang dibuka, kita menyadari bahwa Jakarta bukan saja entitas kota sederhana, melainkan sebentuk kerumitan yang tak akan usai digali dan dikisahkan. Sekalipun itu dari sepuluh pasang mata yang berbeda.

Hal itu disadari benar oleh penyunting buku ini. Bahwa seberapa pun mereka mencoba menghadirkan keberagaman di dalamnya, selalu ada sudut pandang dan narasi penting yang luput untuk digaungkan. Bahwa dengan kompleksitasnya, tidak mungkin Jakarta diwakili oleh sepuluh cerita saja. Lalu, apakah dengan begitu, kedudukkan buku ini tidak layak sama sekali untuk dilirik?

Begini, kita bisa membayangkan sedang memegang kamera dan tengah membidik sebuah objek, lalu cekrik, dan kita mendapatkan bidikan kita, sebuah objek foto dari sudut kota kala malam hari penuh kerlap-kerlip lampu dan kendaraan yang padat merayap. Saat melihat foto itu, kita seperti dihisap ruang yang membuat kita berhenti sejenak, merenungi semua elemen di dalamnya, lalu kita sadar ada cerita tersendiri di dalam foto itu. Ya, kita bisa menganalogikan kesepuluh cerita di buku ini seperti objek foto tadi.

Lantas, sebenarnya, apa saja yang mereka suguhkan? Apa saja sudut pandang yang mereka kisahkan? Beragam. Di kisah pertama, cerpen berjudul “B217AN” karya Ratri Ninditya, kita akan diajak berkeliling melewati sudut Jakarta yang penuh gang sempit, sungai yang kecoklatan, lapangan bulu tangkis tanpa jaring, sampai kontruksi yang terbengkalai. Perjalanan itu dilakukan oleh sejoli kelas menengah yang menghabiskan malam terakhir dalam hubungan mereka.

Ratri bercerita soal kegelisahan yang bermula dari latar belakang dan tujuan hidup yang berbeda satu sama lain. Kendati sama-sama datang dari kalangan kelas menengah, keteraturan hidup keduanya tidak sama. Si perempuan lebih tertata, sementara si laki-laki lebih bebas.

Apa makna perjalanan itu? Bagi si perempuan sendiri, perjalanan malam itu bakal dikenangnya sampai kapan pun. Sebab, esok harinya ia akan menikah dengan laki-laki lain, dan besar kemungkinan itu kali terakhirnya mereka menghabiskan waktu bersama. Ia menuturkan dengan sendu sesuatu yang akan berakhir dan terenggut: Perlahan bagian diriku yang paling kusukai akan hilang di antara gang-gang kota yang carut-marut, warung rokok pinggir jalan, warung Seafood si Montok. Pelan dan tak kau sadari, seperti kemacetan yang perlahan terurai (hal. 16).

Carut-marut kota kiranya menjadi fokus yang banyak dibidik oleh penulis di buku ini. Di cerpen-cerpen berikutnya, seperti “Masalah” karya Sabda Armandio, “Aroma Terasi” karya Hanna Fransisca, dan “Buyan” karya utiuts, Jakarta ditampilkan dengan sekian kesemrawutan. Dalam cerpen berjudul “Masalah”, kesemrawutan itu menjelma dalam detik-detik yang menegangkan dalam peristiwa demonstrasi. Kita dikenalkan dengan dua tokoh utama, sepasang pengamen yang terjebak dalam arus demonstrasi di daerah Palmerah, yang menjalani hari mereka dengan kekhawatiran. Mereka merasa, ada sesuatu yang bakal mengancam, yang mengawasi mereka, terlebih ketika mereka menjalin pertemanan dengan seorang aktivis.

Sementara itu, kesemrawutan lain ditawarkan oleh Hanna Fransisca. Alih-alih, ia mengemasnya dengan kisah yang menggelitik berkaitan dengan ribetnya proses pembuatan paspor di kantor imigrasi. Keberadaan calo yang diharapkan melancarkan urusan, rupanya tak begitu saja memudahkan proses pembuatan paspor si tokoh utama. Sebab, si tokoh utama datang dengan celana pendek, maka oleh petugas imigrasi ia tidak diperbolehkan menjalani sesi foto, dan mengharuskan si tokoh utama untuk mengganti pakaiannya terlebih dahulu.

Di cerpen ini, ada kritik sekaligus komedi yang datang di waktu yang bersamaan. Bahwa kebebasan berekspresi ternyata belum sepenuhnya diamini oleh semua orang, dan ketika si tokoh utama sudah mendapatkan pakaian pengganti, ia tidak begitu saja terbebas dari prasangka dari orang-orang di sekitarnya. Ya, tentu, itu berkaitan dengan aroma terasi.

Berikutnya, di dalam cerpen “Buyan”, kesemrawutan lain ditampilkan walau Jakarta sudah mengalami kemajuan yang pesat dengan keberadaan taksi otomatis. Kemudahan yang ditawarkan teknologi itu ternyata bisa menjelma sebuah bencana. Si tokoh utama, seorang ibu yang agak gagap teknologi, mesti terjebak di mobil yang membawanya ke daerah yang tergenang banjir. Ada yang salah dengan aplikasi di mobil itu, tentu saja. Sialnya, si ibu kurang paham, jadilah ia berusaha mencari bantuan ke sana-kemari dengan menghubungi pihak aplikasi dan anaknya. Dari keseluruhan cerita di buku ini, bisa dibilang cerpen ini yang paling kuat elemen komedinya.

Kemudian, seolah untuk mengimbangi sekian tema dan elemen cerita, cerpen-cerpen selanjutnya lebih menawarkan keberagaman yang lain. Di dalam cerpen berjudul “Rahasia dari Keramat Tunggak” karya Dewi Kharisma Michellia, kita akan menjumpai sepasang ibu dan anak yang berusaha menutup luka masa lalu. Luka itu tentu hitam, enggan disingkap dan diingat-ingat. Tapi, waktu rupanya menyingkap rahasia di antara keduanya. Dan, di saat rahasia itu terbuka, tidak ada hal lain yang lebih mereka harapkan selain rahasia itu seharusnya dibiarkan tertutup saja. Sebab, rahasia itu berhubungan dengan keselamatan mereka.

Keberagaman lain, bisa dilihat dari cerpen berjudul “Anak-Anak Dewasa” karya Ziggy Zesyazeoviennazabrizkie. Cerpen ini menawarkan kesegaran yang unik. Ia gabungan dari narasi kesadisan, komedi, dan nasib malang. Berkisah tentang sekelompok lansia yang melakukan petualangan penutup di hari terakhir Istana Boneka berakhir, Ziggy menunjukkan kemalangan nasib mereka-mereka yang ditelantarkan keluarga, ditinggalkan dalam kesendirian dan usaha melawan kepikunan.

Apakah sudah berakhir? Belum. Terdapat empat cerpen lagi yang dibawakan dengan kekhasan sudut pandang dan kesegaran bidikan. Ben Sohib di cerpen “Haji Syiah” menawarkan komedi khas Betawi dengan akhir yang menyentuh. Lalu, Cyntha Hariadi dalam cerpen “Matahari Tenggelam di Utara” mengisahkan dua orang sahabat yang dipaksa terpisah oleh situasi politik dan identitas diri mereka.

Kemudian, Afrizal Malna dalam cerpen “Pengakuan Teater Palsu” mengajak kita dalam perjalanan untuk terus mempertanyakan soal yang jujur dan palsu, serta indah dan tak indah dalam dunia seni. Dan, di cerpen terakhir, “Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta” karya Yusi Avianto Pareanom, kita akan diajak jalan-jalan selama satu hari yang penuh peristiwa unik dan bertemu orang-orang yang tak kalah uniknya dalam perjalanan seorang pria ke Ibukota.

Dus, beberapa kejadian di dalam cerita ini barangkali pernah dialami atau minimal didengar oleh kita. Berita di televisi hampir melulu dipadati peristiwa yang terjadi atau yang berkaitan dengan Ibukota. Sialnya, semua itu kerap membuat kita muak dan bosan. Kita membutuhkan sarana lain dalam memandang Jakarta dengan kompleksitasnya. Kita butuh sesuatu yang segar dan berbeda. Maka, bisa dibilang, di situlah letak buku ini. Ia bisa menjadi jangkar yang sejenak menjeda kita dari seliweran berita dan informasi yang tak terbendung. Tentu saja, jangkar itu hanya di pikiran, dan berhubungan dengan waktu yang dihabiskan dengan keasyikan. Tapi, kiranya itulah yang dibutuhkan oleh kita saat ini. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *