Puisi
Puisi-Puisi Eko Setyawan

Puisi-Puisi Eko Setyawan

TEMBUNG

pengantar bagi sebaik-baiknya pengantar ialah
ia yang datang dengan selawat yang tak putus.

tiada arti buah tangan tanpa disertai doa, bukan?

umpama kata,
doa ialah kata di antara pilihan kata.
pilihan di antara segala pilihan.

segenggam harapan disertakan.
keinginan dilafalkan.
kedatangan itu, bukan untuk menggangu tidurmu
melainkan menyempurnakan mimpi-mimpi yang semula berserakan.

semula, silaturahmi.
kedua, maksud kunjungan diutarakan.
ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya silaturahmi yang tak putus.

disulamlah dua keluarga.
direkatkan dan didekatkan.

kelak, suatu waktu,
jawaban atas harapan juga dikemukakan.
tinggal menunggu waktu,
diterima atau dikembalikan pada empunya.

(Karanganyar, 2020)

LUSAN

suatu hari, mimpi mengujungi.
ibuku, dihadiahi kebahagiaan untuk pertama kali di hidupnya.
dan ibumu, entah bagaimana.

jodoh, sebenarnya hanya soal apa dan siapa.
waktu yang membatasi.

aku pertama, kau ketiga.
kelahiran, hanya sebuah urutan dan tak bisa ditentukan.

tapi dalam hitungannya, satu-tiga tak ditakdirkan bersama.

mengapa?

entah siapa yang mencipta.
tentu, aku dan kau tak bisa menerima.
nahasnya, kita tak mampu berbuat apa-apa.

(Karanganyar, 2020)

MENEBAK ARAH YANG TAK PERNAH KITA PAHAMI

ada baiknya, kelak ketika takdir itu benar-benar menimpa,
mantu hanya dirayakan pada satu tempat saja.

aku tak peduli itu di rumahmu atau di rumahku.
aku tak peduli bagaimana
keangkuhan orang tuamu atau orang tuaku.
aku tak peduli sebesar dan semegah apa pestanya.

peduliku, aku berbahagia denganmu.
(Karanganyar, 2020)

BIBIT, BEBET, BOBOT

ayah ibumu menimbang berat kebaikan dan keburukan.
agar merpatinya tak salah memasuki sangkar baru..
keluarga baiklah yang layak dijadikan keluarga.

peminangmu terlahir dari perut ibu yang mana?

ia tidak terlahir dari puisi.
ia dilahirkan kenyataan.
ibu bapaknya mencoba dibaca.

bagaimana tabiatnya?

ia belum berdiri sempurna.
aku yang melengkapi sepenuhnya.

seberapa pantas ia?

tutur katanya doa.
perilakunya kesatria.
tanggung jawabnya: aku.

(Karanganyar, 2020)

BRISTOL

terhampar padang luas namun bukan Kurusetra.
tiada Pandawa atau Kurawa.
padang luas itu bukan pula Mahsyar.
namun, di sana kau dan tentu kekasihmu
diberi kehendak untuk bertemu.

siapa yang berhak memutuskan kehendak?

padang itu menyediakan tempat bagimu.
kau berada di tempat yang mirip surga.
meski tak lama, namun kau berbahagia.

bristol beraroma kembang kantil.
menyatu dengan tubuhmu.
menjelma Shinta. menjelma bidadari.

apa ini kayangan?

ini duniamu. ini mimpimu. ini inginmu.

aku tak mengenali diriku.

kau mengepakkan sayap terlampau tinggi.
hingga lupa diri.
namun tak apa. ini harimu. ini hari baikmu.

(Karanganyar, 2020)

ADOL DAWET

“beginilah hidup. beginilah kau harus berbuat.”

menjelang rekahnya air mata,
seorang ibu tetaplah seorang ibu
dan dengan cara paling sederhana
mengajari hidup bagi merpatinya.

adol dawet,
tak lain adalah cara paling sederhana
membuka mata.
agar kelak, merpati dan yang meminangnya tahu cara bertahan hidup.

kreweng adalah apa yang kau peroleh.
ketika kelak kau bekerja dan menyemai kebaikan.

terimalah apa saja barang sedikit.
asal kau tak mengambil
apa yang bukan semestinya milikmu.
sebab tangan kiri menyaksikan bagaimana tangan kananmu berbuat.

tuntunlah lelakimu ke sarang
dan ingatkan seperti apa yang ayahmu lakukan.
memayungi ibu. memayungi segala yang kau perlu.

“Genduk, cah ayu, hiduplah dengan cara bagaimana kami hidup dengan semestinya.
dengan semestinya.”

(Karanganyar, 2019)

KEBO GIRO

sekarang, kau belum paham hidup.
tapi kau berhak berbahagia.
kau belum memahami rezeki.
tapi kau berhak mengetahui.

bulan sedang dingin.
bintang kadung susut dan berpaling.
setiap detiknya, napasmu, mengandung takdir yang tak mampu kau baca maknanya.

ibu memecah masa depan dan masa lalu.
bapak memecah engkau dan aku.

langkahmu mencipta bekas
atau mungkin hanya semata kebas
dari lamurnya hitungan tanpa angka
tapi tampak begitu jelas dan nyata.

(Karanganyar, 2020)

SINDEN

1/
suaramu sabda, bagi telinga yang lapar.

2/
suaramu rapalan doa,
kepada Tuhan,
dari umatNya.

3/
lengking pita suara itu ilusi,
kaulahirkan kebahagiaan.

4/
tercipta dari apakah gelung dan sihir itu?
orang-orang lupa diri,
terjunlah mereka di sungaimu.

5/
hanyutlah aku,
juga telinga-telinga yang kau bisik saban waktu.

(Karanganyar, 2020)

DONGKE

Mbah Mento, atau barangkali seseorang yang lupa diberi nama, merapal mantra.
entah siapa menangkap suara yang sebenarnya tak mampu didengar manusia.

“Gusti pangeran, tlatah mriki wonten mantenan, ampun diparingi udan!”

mungkin saja, lafal itu bukan mantra.
bukan pula pinta.
melainkan doa yang tak dapat dipahami, namun penuh harap terpenuhi.

—doa, tak semua penuh dan sempurna.

tapi Gusti Pangeran jauh lebih tahu mana yang harus terlaksana.

musim yang gersang, kadang bisa berubah basah.
cuaca berganti secepat kedip mata.
secepat burung-burung enyah dari sarangnya.

garam disebar ke sekeliling.
setelahnya, hujan berpaling.

(Karanganyar, 2021)


Penulis:

EKO SETYAWAN, lahir di Karanganyar, 22 September. Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku yang telah terbit Merindukan Kepulangan (2017), Harusnya, Tak Ada yang Boleh Bersedih di Antara Kita (2020), & Mengunjungi Janabijana (2020). Memperoleh penghargaan Insan Sastra UNS Surakarta 2018, serta memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Karya-karyanya termuat di media massa baik lokal maupun nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *