Cerpen
Perkara Dua Mantan Kombatan

Perkara Dua Mantan Kombatan

KAMI menyusuri sebuah lorong beraspal. Beberapa lampu jalan yang tegak di setiap dua puluh meter menyala pucat. Saman berhenti dekat sebuah poster seorang lelaki bertubuh pendek, di bawahnya dengan tegas tertulis Sang Pemenang. Saman menunjuk ke poster itu lalu berkata, “Dia dan aku pernah berlatih di Libya. Aku seniornya. Tapi, sekarang dia menjadi sang pemenangnya. Pukima!”

Ia melirik ke pistolnya, tampak seperti ada kenangan tertentu antara lelaki di poster itu dengan benda mematikan di pinggangnya.

“Dua tahun sebelum damai, aku di Gunong Goh. Naseer memberiku pistol ini. Aku kemudian bertemu Laila, gadis pertama yang pernah kuucapkan cinta. Darinyalah awal kehangatan tubuh perempuan kurasakan,” kenang Saman meniliti gerak rokok yang mengikuti punggung jari-jari tangannya.

“Naseer jatuh cinta padanya. Ia memenuhi setiap kebutuhannya, baju baru, makanan enak, barang mewah dan tempat tinggal yang nyaman. Aku kasihan pada gadis itu. Kecantikannya tak pantas dinikmati Naseer yang berpenampilan jelek dan pendek. Setinggi bahu Laila,” lanjuta Saman mengembuskan asap rokok.

Sejenak ia memandangi kelebat asap yang centang perenang di depan wajahnya. “Tapi, Naseer beruntung punya posisi bagus setelah damai. Mudah saja baginya untuk menyenangkan Laila,” katanya menatap melekat poster itu.

Aku tak tahu perkara tersebut. Yang aku tahu, setelah sepasukan tentara Republik memporak-poranda kampung kami, Saman bergabung dengan pemberontak, bergerilia di punggung-pungung gunung. Berselang dua tahun ia dikirim ke Libya melalui jalur Pakistan.  Saat yang sama, aku telah meninggalkan kampung, merantau ke Jakarta menuruti kehendak ayahku; beliau melarangku bergabung dengan pemberontak.

Saman kembali mengenang masa indah dengan perempuan itu, hendak memberitahuku sedetil mungkin tentang kisah asmaranya yang mendebarkan itu.

“Ada hal yang sangat memilukan terkait Laila, caranya mendapat hati Laila, meski gadis itu selalu bersikap sabar dan hormat padanya,” tambahnya membiarkan rokok terus menyala di depan mulutnya.

Sebagai seorang teman yang berpisah begitu lama, aku telah siap mendengar apa pun yang keluar dari mulutnya, setidaknya ia bisa melupakan sisi buruk yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Setelah perjanjian damai antara Negara Republik dan Pemberontak, Saman menarik diri dari garis perjuangan. Baginya, perjuangan telah mati setelah perjanjian. Ia memilih kembali ke kampung dan bekerja sebagai petani. Padahal tak terhitung orang yang datang ke tempatnya, mengajaknya bergabung dengan kemewahan dan kegemilangan, tapi ia menolak.

Saman menggiring matanya ke arahku, kemudian berkata lirih, “Suatu hari, Laila mendatangiku, mengatakan kalau dirinya telah dipinang Naseer. Dia bahkan telah diberikan kalung emas. Dan, dua cincin kuning melingkar di kedua jari manisnya. Sungguh, Laila tampak bagai seorang perempuan terhormat dengan perhiasan itu. Aku tahu ia sengaja menunjukkan semua itu padaku agar aku lekas meninggalkannya. Sebab, ia tahu aku tak sanggup memberikan kemewahan semacam itu kepadanya.”

Saman menahan napas, membiarkan sisa asap rokok mengendap dalam mulutnya beberapa lama sebelum melepasnya perlahan-lahan. “Kau orang baik Saman,’ kata Laila, ‘Kau juga naif, sok suci, seperti orang yang tak punya cita-cita dalam hidup. Tapi, Naseer punya.’ Mata Laila berkilat-kilat,’ Naseer seorang yang penting di kota ini.’ Kuhabiskan sisa sore itu di warung kopi dengan pistol pemberian Naseer sambil membayangkan seandainya aku bisa membunuhnya dengan benda ini.”

Aku terkejut mendengar kata-kata terakhir Saman. Awalnya aku berpikir itu adalah semacam penegasan bahwa ia memang pernah menggunakan benda mematikan itu ketika bergerilia di hutan bersama dengan teman-temannya. Tapi, begitu aku melihat matanya meriak merah, aku menduga ia memang telah merencanakannya jauh sebelum bertemu denganku.

“Kau tak harus melakukan itu. Sekarang kita sudah damai,” kataku mencoba menyadarkan dan berharap keinginan konyolnya itu tak sampai terjadi.

Saman tak memedulikan kata-kataku, ia menarik pistol dari pinggangnya dan mengarahkan ke poster itu. “Dor! Dor! Mati kau pengkhianat!” katanya mengeluarkan suara tembakan dari mulutnya. “Jangan kuatir. Kau tenang saja.” Matanya perlahan berubah menjadi dua kolam yang teduh.

“Seorang yang penting. Bagaimana mungkin pengkhianat menjadi orang penting?” rutuknya. “Akan kuceritakan padamu sesuatu tentang menjadi orang penting,” tambahnya geram. “ Pang Dobra, pamanku sampai sekarang tak mampu berjalan. Kau kenal dengannya? Dia bertahun-tahun menemani Naseer. Peluru yang tembus di betisnya itu akibat nekat melindungi Naseer dari serangan tentara pemerintah. Setiap aku berjumpa dengannya, ia selalu bertanya tentang Naseer yang tak pernah menjenguknya. Apakah itu yang dikatakan orang penting?”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Semuanya tampak suram di kepalaku tentang perjuangan pamannya. Aku hanya mendengar tentangnya dari beberapa mulut saat aku tinggal di kampung beberapa waktu lalu. Soal Pang Dobra, aku tahu ia memang tak mampu berjalan lagi.

Saman menendang sebuah kaleng susu yang bergelinding di depannya. Pistolnya jatuh dan menimpa lantai jalanan. Dengan hati-hati, ia memungutnya dan memasukkan kembali ke pinggang.

“Seharusnya pamanku membiarkan dia mati saat itu,” katanya dengan nada sedikit meninggi.

***

Selewat tengah malam orang-orang mulai menyusut dari jalanan kota, sementara aku dan Saman masih duduk di atas tembok beton yang berdekatan dengan sebuah gedung besar bercat merah menyala. Dua orang membuka gerbang, lalu satu per satu mobil mewah masuk. Aku melirik ke arah Saman, wajahnya mengerut memandangi beberapa orang bertubuh gagah meloncat turun dari mobil Robicon.

“Kau lihat bagaimana hidup mereka sekarang?” ujarnya sambil memijit pangkal rokok kreteknya.

Angin berdesir agak kencang, membuat tubuhku menggigil. Saman memeluk tubuhnya, membiarkan rokok di sudut bibirnya tetap menyala.

“Biarlah. Seharusnya kau seperti mereka juga kalau kau mau,” kataku.

“Bedebah! Memang niat mereka hanya untuk mendapatkan itu.”

Saman berpaling ke arahku, matanya meriak marah seakan ada kepingan bara yang berkobar di dalamnya. “Mereka yang ambil untung, sementara rakyat semakin miskin. Haram jadah!”

Aku akan sia-sia saja menjawab sebab aku tahu tak mudah meredamkan kemarahannya.

Ini malam ketujuh aku menemani Saman di kota Birem. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersamanya. Karena saat bersamanya, aku seperti terseret ke masa kecil kami, ke masa kami berenang di sungai, ke masa kami menyaksikan kebrutalan tentara pemerintah meremukkan kampung kami.

Namun, di tengah kenangan itu mulai menggelora, kami dikejutkan oleh suara batuk keras dari sosok yang membungkuk di kolong meja kedai kopi. Saman melompat. Betapa anehnya Kota Birem yang kembali sunyi setelah ia terbiasa dengan suara ledakan bertahun-tahun menggema di telinganya. Dan, apa pun yang mendengung di telinganya, kurasa berubah menjadi suara ledakan.

Kami berjalan menuju sebuah kedai kopi yang masih buka. Saman memperbaiki rambutnya dengan telapak tangan, seolah-olah ia hendak bertemu dengan teman kencan. Di sebuah kursi, duduk seorang lelaki, mengenakan jaket beludru hitam, memandang lekat ke arah kami. Wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat tampak tidak ramah, dan mata besarnya menelisik penampilan Saman.

“Saman, kaukah itu?” lelaki itu bertanya. “Bagaimana mungkin orang kebun turun kota? Hahaha….”

Saman memincingkan mata seperti mengingat-ingat lelaki itu. Sontak senyum lebar terpancar dari mukanya, lalu dengan riang Saman berlari ke arah lelaki itu.

“Naseer, benarkah kau? Kau terlihat begitu gagah, lama kita tak bertemu,” kata Saman berpaling ke arahku. “Sungguh aku sangat senang bertemu dengan Sang Pemenang. Aku berencana berjumpa denganmu esok hari. Oh Tuhan, Engkau mempertemukan aku dengannya secepat ini!”

Sejenak, Naseer kembali menelisik penampilan kami. Matanya makin membesar kala menatap wajah Saman yang tampak seperti orang susah.

“Laila. Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Saman.

Naseer menarik rokoknya dan menyisip kopi. Lalu, ia menatap Saman dengan sorot mata tajam. “Ia baik-baik saja. Tambah cantik pastinya.”

Aku tahu, Naseer ingin membuat Saman cemburu. Saman masih mencintai Laila.

Ada penyesalan terpancar dari mata Saman. Aku menduga, ini bukanlah semata tentang perempuan, tapi lebih kepada pengabaian terhadap nilai-nilai perjuangan yang pernah mereka ikrarkan.

“Itu karena kau telah merampasnya dariku, dan dengan kekayaanmu kau bisa dengan mudah memanjakannya,” ucap Saman terkekeh menepuk bahu Naseer.

Kira-kira setengah jam kemudian, aku pamit pulang. Meninggalkan Saman dan Naseer yang masih asyik mengobrol. Dalam perjalanan pulang aku terus memikirkan kata-kata Saman. Apakah ia benar ingin membunuhnya? Apakah pembunuhan itu gara-gara perempuan atau mereka memang punya masalah pribadi yang harus mereka selesaikan. Terus pertanyaan-pertanyaan itu menggeliat di kepalaku hingga ke tempat tidur.

Pagi itu, aku tidak mendapat panggilan telepon dari Saman sebagaimana pada hari-hari ketika ia mau mengajakku minum kopi atau berjalan-jalan demi menghangatkan pertemanan kami yang lama membeku. Aku memencet nomornya. Menunggu, tapi aku tak mendengar apa pun selain jawaban mengecewakan yang muncul di ponselku.

Aku keluar menuju kedai kopi yang kami singgahi semalam. Orang-orang di kedai itu melihatku dengan tatapan nanar, membayang kecurigaan.

Hamid menghampiriku. Ia tahu aku berteman baik dengan Saman. Ia menyeret sebuah kursi dan duduk berhadapan denganku.

“Tragis!” lelaki itu manatapku dengan sorot mata tajam.

“Maksudnya?”

“Fajar yang menyedihkan setelah perjanjian damai.”

“Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?”

Memang benar, kami duduk di kedai kopi ini semalam bersama Naseer. Tetapi, aku tak tahu lagi apa yang terjadi di antara mereka selepas aku pergi. Aku menuntut lelaki itu untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan temanku, Saman.

Rupanya, setelah aku pergi, Naseer mengajak Saman ke rumahnya. Mengingat keduanya berteman baik, tak mungkin Naseer menaruh curiga pada Saman. Namun, apa pun bisa terjadi, pikirku.

Menjelang fajar, terdengar suara letusan pistol dari rumah Naseer. Seorang perempuan terkapar di tanah setelah sebutir peluru menembus batok kepalanya.

Aku belum puas, sebab ada hal lain yang perlu aku ketahui.

“Saman juga mati di tempat itu!” Hamid menegaskan.

Aku menggeleng, menarik napas, dan kembali menuntut lelaki itu untuk menceritakan sedetil mungkin.

“Naseer pencemburu,” katanya. “Aku mengenalnya dan aku mengenal Saman. Kami sama-sama mantan kombatan.”

“Benarkah?” tanyaku ragu.

“Ya. Pada fajar itu, Saman bertemu Laila, dan tanpa bisa dicegah, ia berlari ke arahnya dan memeluknya. Naseer punya pistol. Tak sanggup melihat mereka berpelukan, Naseer menarik pelatuk, dan menembak kepala Laila, lalu peluru kedua bersarang di dada Saman.”

“Tak mungkin.” Aku kembali menggeleng, masih tak percaya. Lelaki itu mengangguk dan menambahkan.

“Karena Naseer sangat marah saat tahu Laila mengandung anak Saman!” ungkapnya.[]


Penulis:

MUHAMMAD ABDUH adalah nama pena Abduh Awab yang bermukim di Dusun Glee Bruek, Blang Crum, Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe, Aceh. Sehari hari bekerja sebagai guru SMA dan pegiat sastra. Sebagian puisinya dimuat dalam Antologi Tsunami Kopi. Novel perdananya hampir rampung dikerjakan. Akun Facebook: Ahmed Abduh. Instagram: ahmedabduh.

1 thought on “Perkara Dua Mantan Kombatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *