
Puisi Daviatul Umam
Jalan-jalan ke Jantung Jogja
Peta didedah berulang kali. Nama-nama
Kota dirapal sekian kali. Kemudian kita
Bergegas membawa sekoper perhitungan,
Setelah ratusan ribu jam impian disemai.
Dua mingguan menghafal jalan tanpa daya
Ingat. Menyibak rimbun ring road, menyimak
Siul sawah, menyapa Malioboro, menghirup
Bumi keraton hingga makam para junjungan.
Dadaku menggelugut ketika pertama kali
Merapi menatapku dari tudung kabut. Kau
Terpejam begitu tubuh kereta yang seseram
Laju kematian menderam di hadapan mata
Budak kefanaan.
Papan-papan petunjuk tak minta kita baca.
Spanduk-spanduk ruko berebut gantungan
Di ranting kepala.
Roda-roda kekhilafan lesat meninggalkan
Asap gerutu. Lampu yang terlalu berambisi
Mengajarkan kedisiplinan & kesabaran jadi
Musuh. ‘Belok kiri jalan terus’ membantu
Pengkhianatan berjalan mulus.
Selama dua minggu itu, tak pernah muncul
Pertanyaan tentang taman kota yang belum
Kita jumpa. Barangkali karena kita sama-
Sama paham bahwa ini kota sudah merupa
Taman bagi setiap kegelisahan.
Bangku-bangku kosong terus tersaji, terisi.
Rancangan terus tumbuh menghidangkan
Kegelisahan baru.
Yogyakarta, 2021
Pernahkah Kau Masuk Mall?
Pernah
Di sana aku kehilangan kampung yang sepi
Tapi acap melintas wajah usang haus utang
Kesenangan bagai lantai bertingkat-tingkat
Sementara pengorbanan yang tersembunyi
Adalah eskalator yang susah-payah dinaiki
Sebelum menaklukkan eskalator berikutnya
Hawa AC begitu rakus menjilati kulit-tulang
Sebagai rakyat keparat aku teriak: penjilat!!
Kendati aku sadar, ia bukan makhluk yang
Pernah merangkulku dalam busa kata-kata
Apa yang kau beli?
Hanya sebuah museum kecil yang mampu
Menghimpun serpihan perasaan manusia
Yang terabai dan perlu dibaca atau dihapus
Yogyakarta, 2021
Menemani Pikiran Lembur
Lagi-lagi kita melerai dengkur
Teguhkan mimpi di luar tidur
Likat malam menyergah dengan
Kejailannya: Apakah ‘mimpi’
Merupakan sinonim dari benih-
Benih berahi? Bukankah ia
Sekadar rekaman layar yang
Tidak dapat diputar?
Kau rebah hindari bualan sepi
Bangun aku penuhi rayuan kopi
Lalu diajaknya aku berkelana
Mengitari kehampaan yang cuma
Dihuni oleh sekelompok rahasia
Serupa musafir di lorong kelam
Atau pengamen yang terbiasa
Diguyur bermacam bentuk
Penolakan, aku berjalan atas
Tuntunan sebuah kepercayaan
Akan buah pahit yang minta
Dipetik laiknya bintang-bintang
Yogyakarta, 2021
Mainmain, Petang itu
Langit kafe akan segera diganti
Lima kursi rotan sabar menunggu
Lampu-lampu mengisap sari gelap
Semakin manis lingkar perjamuan
Sepasang cangkir tinggal inti dingin
Tinggal hujan menepis cerita reda
Genang air mengilau di bangku luar
Tergambar sepi-gigil keterasingan
Musik diumbar dari bawah sawah
Tiada peduli siapa memainkannya
Tawa mengarus tapi wabah & waktu
Bekerjasama membatasi nostalgia
Langit kafe segera diganti kembali
Kelam mengusir, kuyup menjemput
Yogyakarta, 2021
Bersandar di Warmindo
Sejenak menyandarkan beban
Baru di kota yang terlampau
Istimewa untuk suatu kegilaan
Pelayan mengantar mi dok-dok
Yang tak bisa menyamai pedas
Tahun yang tengah kita hadapi
Segelas kapucino menyusul
Mengurai kemacetan jalan pikir
Membuka alternatif di sisi getir
Anak-anak muda meracik tawa
Tanpa kita tahu dan ingin tahu
Apa saja bahan-bahannya
Toh tiada lebih lucu ketimbang
Luka bakar di dada kita yang
Orang lain kira lukisan mawar
Kita fokus menatap bentangan
Angan hingga hampir tertutup
Ingatan akan dunia & taktiknya
Yogyakarta, 2021
Penantian di Hari Pertama
Kita melacak tempat tinggal tidak semata-
Mata buat menakar lelah dan lapar. Tetapi
Juga ingin menyelami luka lebih dalam,
Mendiaminya sesuka hati, membiarkannya
Bertindak sebodoh-amat mungkin.
Telapak tangan dibuka umpama rumah
Membutuhkan udara pagi. Tapi udara nakal
Dan hanya melambai di depan jendela.
Berapa mahal harga kedatangan? Teramat
Nista sederet tunggu yang bersusun-susun.
Ruang pengap oleh harap dan keluh yang
Saling himpit. Sampai tak sanggup kita
Mengelus dada. Kesepian mengajari tentang
Betapa pentingnya satu orang yang berkali-
Kali kita ludahi ketimbang banyak orang
Yang kita sembah di lembah ilusi.
Yogyakarta, 2021
Penulis:
Daviatul Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Kini tinggal dan bekerja di Warung Puitika, Yogyakarta. Buku puisinya, Kampung Kekasih (2019).