Resensi Buku
Sastra Indonesia Tak Perlu Juru Bicara

Sastra Indonesia Tak Perlu Juru Bicara

Judul Buku : Ritual Karnaval Sastra Indonesia Mutakhir
Penulis         : Satmoko Budi Santoso
Penerbit       : Basabasi
Cetakan        : Pertama, Agustus 2020
Tebal             : 108 halaman

Apa yang hendak disampaikan Satmoko Budi Santoso lewat bukunya yang berjudul Ritual Karnaval Sastra Indonesia Mutakhir ini? Satu hal pasti, Satmoko tidak berpretensi menulis “sejarah sastra” di tanah air. Buku ini lebih sebagai pembacaan atas karya sastra Indonesia dalam kurun waktu tertentu.

Secara keseluruhan, buku ini berisi delapan belas esai. Dari delapan belas esai tersebut, tak satupun esai yang “merangkum” esai-esai yang ada sehingga, sebagaimana lazimnya sebuah buku bunga rampai, sering dijadikan oleh penulis untuk membuka dan menggambarkan garis besar ide bukunya. Pembaca dituntut “menyimpulkan” sendiri apa yang hendak disampaikan penulis.

Satu-satunya tulisan yang barangkali dapat dijadikan petunjuk untuk memahami gagasan yang hendak disampaikan penulis adalah “sekapur sirih dari penulis”–tulisan di awal buku dengan panjang tak lebih satu setengah halaman. Di sini penulis menyatakan, bahwa buku ini mengkritisi sejumlah hal yang berkaitan dengan perkembangan karya sastra Indonesia, terutama berbasis cerpen dan puisi, yang dihasilkan oleh sastrawan Indonesia dalam periode tertentu.

Dari bacaan Satmoko atas karya sastra Indonesia, terlihat bahwa dari segi tema maupun bentuk pengucapan, karya sastra Indonesia amatlah beragam. Satmoko menggambarkan, sejak era tahun 2000-an, telah terjadi perayaan pluralisme teks sastra Indonesia (khususnya cerpen). Adanya tema yang sangat beragam dengan keberjamakan eksplorasi teknis penceritaan dan pencapaian bahasa yang metaforis justru telah diterima publik tak hanya di kalangan sastrais, tapi juga kalangan awan bahkan kaum selebritis.

Akhirnya, cerpen Indonesia turun dari menara gadingnya (istilah dalam buku ini: kehilangan “sakralitas”) yang sempat dibangun tahun-tahun sebelumnya ketika sastra hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu sehingga untuk “mengantarkan” ke pembaca (awan) perlu bantuan seorang kritikus. Kondisi demikian, kebetulan atau tidak, dibarengi dengan macetnya kerja kritikus sastra. Alhasil, cerpen Indonesia hadir secara langsung pada kalayak tanpa perlu “juru bicara”.

Cerpen-cerpen realis di buku antologi Parmin (Jujur Prananto), Si Padang ( Harris Efendy Tahar), Sampah Bulan Desember (Hamsad Rangkuti), Acuh Tak Acuh (Korie Layun Rampan), Dunia Sukab (Seno Gumira Ajidarma), dan Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (Gus Tf Sakai) relevan sebagai cermin bagi kondisi hidup kekinian (tahun 2000-an). Cerpen-cerpen tersebut mampu mengegaliterkan cerita sehingga dekat dan bernilai the inner of soul interaksi kehidupan sehari-hari.

Karya bernilai the inner of soul lainnya, kali ini lekat dengan kehidupan religius dan dunia pesantren, dapat ditemuai pada karya-karya Kuntowijoyo (antara lain di buku  Hampir Sebuah Subversi) dan Gus Mus (misalnya di buku kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi). Meski kental dengan muatan nilai-nilai religius dan pesan transendental, tapi cerpen-cerpen mereka juga bisa hadir tanpa perantara seorang kritiukus atau pengamat sastra.

Keberjamakan eksplorasi teknis penceritaan juga bisa dilihat dari keliaran ekspresi dan pencapain estetika yang ditunjukkan oleh cerpenis lain, semisal karya Agus Noor dan Djenar Mahesa Ayu. Dalam buku Potongan Cerita di Kartu Pos Agus Noor terlihat mengembangkan “keliarannya” teknis penceritaan. Pada cerpen yang berjudul  Puzzle Kematian Girindra di mana cerpen dibagi dalam beberapa bagian, teknik penceritaan memang seperti permainan puzle. Pembaca yang telah menyelesaikan sampai bagian lima bisa saja menengok kembali bagian pertama.

Sedangkan karya Djenar, misalnya di buku Mereka Bilang Saya Monyet, lebih merupakan sebuah ikhtiar dekonstruksi wilayah ketabuan sebagai propaganda perlawanan budaya patriarki. Memang Djenar bukan satu-satunya, di genre novel ada nama Ayu Utami yang cukup fenomenal dengan sejumlah karyanya, diantaranya Saman. Lagi-lagi, karya semacam itu hadir langsung menemui pembaca, bahkan  memicu munculnya diskursus dengan label  “sastra selangkangan”.

Dari pembacaan atas sejumlah karya tersebut, menunjukkan cerpen Indonesia telah sanggup merayakan eksistensinya, menembus lini tanpa batas, tak perlu juru bicara dan telah melakukan bargaining terhadap publiknya sendiri. Sekalipun tak ada kritikus sastra yang menjembatani antara karya sastra dengan masyarakat, cerpen Indonesia sudah berjalan sendiri “mencuci otak” pembaca.

Kondisi tersebut, dalam pandangan Satmoko, jauh lebih berharga dibandingkdan kemeriahan sosialisasi cerpen Indonesia beberapa warsa silam yang penuh konsep, jargon, dan juru bicara, yang dalam cerpen-cerpen  Indonesia periode tahun 2000-an telah hablur dalam cerita. Pembaca anonim yang bukan dari varian the invisible hand justru menikmati kondisi tersebut sebagai jaminan atas kenyamanan katarsisnya.

Sebagai “pembacaan” atas periode tertentu terhadap karya sastra (terutama cerpen) di tanah air, keberadaan buku ini akan terasa manfaatnya. Hal ini karena pasca pembacaan karya-karya yang diulas buku ini, dinamika sastra Indonesia mengalami perkembangan yang tak terprediksi, terutama dengan kehadiran teknologi gawai di mana karya sastra dengan sangat cepat dan berjibun muncul lewat media sosial.

Dalam kondisi seperti itu, tentu nantinya ini akan memperlihatkan karnaval yang berbeda sama sekali dengan periode yang disajikan dalam buku ini. Jadi, sekali lagi, buku ini memang bukan tentang sejarah sastra, tapi siapa pun yang hendak menarasikan sejarah sastra di Indonesia tak bisa lepas dari buku ini. []


Penulis:

Marwanto, sastrawan dan pegiat literasi, lahir dan menetap di Kulonprogo Yogyakarta. Bergiat di komunitas Lumbung Aksara (2006–sekarang), mengetuai Forum Sastra-Teater Kulonprogo (2015-sekarang), dan membina komunitas Sastra-Ku (2019– sekarang). Bukunya yang telah ditulis antara lain: Demokrasi Kerumunan (esai, 2018),  Byar: Membaca Tanda Menulis Budaya (esai, 2019) Hujan Telah Jadi Logam (cerpen, 2019) dan Menaksir Waktu (puisi, 2021).  Karyanya dari beragam genre dimuat sekitar 30 buku antologi bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *