Empati Kultural Puisi Toeti Heraty

SAYA tulis esai singkat ini dari sudut pandang lain mengenai puisi-puisi Toeti Heraty yang dikenal sebagai tokoh feminis. Kancah perhatian esai ini pada puisi-puisinya yang berempati pada peristiwa kultural. Tentu saja menarik memperbincangkan puisi-puisi dengan empati kultural, karena ia memilki kekuatan sudut pandangnya sendiri sebagai penyair kontemporer.

Puisi Imam Budiman

segaris hikayat musim lekas ditoreh ketika malam belum seutuhnya runtuh di kelopak keladi yang membasah akibat terjang-dera kekanak gerimis yang bersikejar. tidak seperti para pendongeng tak berumah yang kerap menyediakan cerita-cerita kuntil, kuyang atau hantu banyu.

Penyair Perempuan Indonesia

Narasi mengenai kepenyairan—baik taraf dunia maupun Indonesia—selama ini selalu didominasi kaum laki-laki. Kita bisa menelusuri, misalnya, melalui catatan penerima nobel sastra. Penghargaan paling bergengsi di bidang kesusastraan yang diinisiasi oleh Alfred Nobel melalui Swedish Academy itu didominasi penyair laki-laki. Atau jika dalam ranah keindonesiaan, tidak banyak penyair perempuan Indonesia yang masuk dalam angkatan-angkatan sastra.

Gracella

GADIS kecil itu terkurung di dalam tabung kaca raksasa berisi cairan putih kental seperti santan. Ia menggeliat, meronta-ronta, berupaya memecahkan tabung itu sekuat tenaga. Dengan tangan dan kakinya, ia memukul dan menendang, bahkan ia juga membenturkan kepalanya hingga terdengar bunyi ‘dung-dung-dung’ yang menggema panjang, memenuhi lorong-lorong, ruangan demi ruangan di dalam sebuah objek terbang raksasa yang sedang berlabuh di sudut jauh galaksi Andromeda.

Dermaga Aeng Panas

DERMAGA Aeng Panas, dermaga yang muram di sore hari. Cahaya senja jatuh di permukaan air, perahu-perahu terombang-ambing tanpa muatan, camar-camar terbang rendah di antara riuh ombak yang menabrakkan dirinya pada batu-batu karang. Semua seolah diciptakan hanya untuk dirinya sendiri, seperti puisi yang menolak untuk dimengerti.

Darah Kuli Asia di Suriname

Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname, novel berhalaman tipis, hanya 172 halaman, hasil kreatif Koko Hendri Lubis. Bertitimangsa Jakarta, Den Haag, Medan, 2016-2018. Isinya membuka wawasan pembaca akan zalim dan kejinya kekuasaan. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi di Nusantara, begitu juga di Suriname.