Esai
Puisi dan Tantangan Kebermaknaan

Puisi dan Tantangan Kebermaknaan

“…Puisi memang tetap terasing. Tapi keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di jaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah tak mengakui bahwa ada  fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa yang seakan-akan terdiam.” Kutipan tersebut merupakan pamungkas esai Goenawan Mohamad (selanjutnya: GM) bertajuk “Fragmen: Peristiwa” (GM, 2011:20). Epilog itu sebenarnya merupakan sasaran pencarian–semacam telos, nada dasar, sekaligus hal yang hendak dieksklamasi oleh GM sendiri. Dalam tulisan ini, penulis mengeksplorasi pertanyaan–semacam gugatan etis-politis atas puisi. Jawaban atasnya berpijak pada marwah puisi di atas dan memadukannya dengan buah-buah pemikiran penulis.

Puisi: Dialektika Teks dan Konteks
Jean Francois Lyotard (1924-1988), dalam proyek filsafat partikularitas menempatkan narasi-narasi kecil yang terfragmentasi berhadapan dengan narasi besar (grand story). Adapun narasi besar yang ditentang oleh Lyotard merujuk pada modernisme. Lyotard berikhtiar membela narasi-narasi kecil, mempropagandakan eksistensinya dalam sejarah besar dunia yang penuh ketakjuban, totalitas dan penyeragaman ruang publik yang hegemonik sebagaimana dicanangkan oleh modernisme. Baginya, hanya partikularitaslah pemberi makna paling kuat pada manusia. Ada benang merah antara filsafat partikularitas Lyotard dan marwah puisi yang digaungkan oleh GM. Hipotesis yang dapat diajukan ialah bahwa puisi merupakan sebuah teks historis, memiliki kelekatan dengan realitas, mengandung kebermaknaan yang kuat dan hal-hal kecil yang luput dari ‘mata biasa’ terakomodasi dalamnya.

Dalam esainya, GM memberikan sebuah tanggapan bernas terhadap pendapat Paul Ricoeur tentang makna teks. Ricoeur mereduksi teks sebagai sesuatu yang ‘a-temporal’, seolah-olah berada dalam tataran yang sama sekali ideal dan jauh dari hiruk-pikuk realitas. Seturut GM, hal itu tidak sepenuhnya dapat dibuktikan sebab teks tidak terlepas dari kelisanan bahasa. Teks, demikian GM hanya bisa mencapai titik ideal dalam sebuah proses abstraksi (GM, 2011:16).

Pandangan tersebut bisa dikaitkan dengan persoalan seputar puisi sebab bagaimanapun juga, puisi identik dengan teks. Teks berkaitan erat dengan kelisanan. Kelisanan merupakan matra bahasa manusia yang sangat ultim. Bahasa lisan adalah cerminan hidup konkret alam pada umumnya dan manusia pada khususnya. Dalam bahasa lisan itu, terdapat ‘suara’ tentang suka-duka, problema-kreativitas, persahabatan-permusuhan, kesahajaan-keruwetan, dan aneka fenomen antropologis lainnya. Puisi merangkul, membahasakannya melalui perangkat puitika hingga terciptalah makna baru atasnya. Dalam konteks itu, menjadi nyatalah bahwa puisi adalah sesuatu yang historis. Kelisanan adalah cerminan hidup konkret manusia dan dengan demikian, puisi yang adalah wujud tekstual dari bahasa lisan juga bersifat historis. Puisi ialah ruang yang mempertemukan teks dan konteks yang diwacanakan dalam teks. Dengan kata lain, puisi adalah cerminan dialektika wacana dan realitas, teks dan konteks.

Gugatan dan Jawaban
Dalam sebuah diskusi di ruang kelas filsafat, seorang mahasiswa melontarkan sebuah pertanyaan tentang peran puisi dalam peradaban modern. Pertanyaan semacam itu merupakan representasi kegelisahan kebanyakan manusia modern yang berhadapan dengan tuntutan ‘keberartian’ dalam sosialitas yang cenderung direduksikan pada perkara instrumentalitas objek. Dalam sejarah sastra Indonesia, tuntutan keberartian pernah digaungkan oleh dua tokoh sastra sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana dan Pramoedia Ananta Toer. Takdir misalnya, menuntut agar kesusastraan (Indonesia) mesti berarti bagi proyek pembangunan (GM, 2011:17-19). Tuntutan retoris-politis semacam itu senantiasa memperhadapkan diskursus kesusastraan pada pertanyaan, “Strategiskah puisi dalam peradaban kiwari?”

Puisi selalu strategis, kapanpun! Oleh karena itu ia masih dilestarikan. Upaya mereduksi peran puisi hanya pada matra politik dan pembangunan merupakan sebuah kesempitan pemahaman atas hakikat puisi yang memiliki jangkauan yang luas. Ada kecenderungan mengungkung ranah eksplorasi puisi. Padahal, laiknya hidup manusia tidak semata-mata soal kesejahteraan material, puisi tidak hanya bersuara tentang bagaimana manusia mencari makan dan minum tetapi juga jeritan dan derita manusia hanya demi makan dan minum itu sendiri.

Puisi bermain pada medan makna. Sentralitas posisi makna dalam sebuah puisi diuraikan oleh Kuntowijoyo (1924-2005). Sebagaimana dikutip Hasan Aspahani dalam esai singkat berjudul “Alami, Lupakan lalu Puisikan”, Kuntowijoyo menguraikan bahwa puisi adalah sebuah struktur yang tersusun atas tiga aspek yaitu pengalaman, imajinasi dan nilai-nilai; dan penyair bekerja dalam struktur itu (bdk. matapuisi.com). Aspek ketiga, yaitu nilai-nilai merupakan aspek vital dalam bangunan sebuah puisi. Ia menggerakkan dua aspek lainnya.

Secara konseptual, makna dan nilai bersinonim sehingga penggunaan keduanya dapat dipertukarkan (bdk. KBBI). Makna atau nilai adalah frame dasar yang menjiwai pengalaman dan imajinasi. Pengalaman dan imajinasi dimanfaatkan untuk menyampaikan makna puisi itu. Dalam puisi, penyair mengadopsi nilai yang dihidupi masyarakat ke dalam teks untuk disampaikan secara indah dan puitis. Puisi adalah media penyampai makna. Ialah pemberi makna alternatif bagi peradaban modern. Jika dalam proyek kapitalisme, instrumentalitas merupakan sebuah keberartian, maka dalam puisi keberartian itu terletak dalam makna itu sendiri. Puisi adalah pemelihara dan pemberi nilai-nilai kemanusiaan universal semisal hak asasi manusia (HAM), martabat persona, cinta kasih serta deretan warisan apriori manusia lainnya.

Puisi menghidupkan dan menyuarakan hal-hal yang tidak dirancang oleh kapitalisme yang ambisius serta penuh persaingan banal. Puisi mewartakan narasi-narasi kecil yang diabaikan oleh gegap gempita kapitalisme dan modernisme pada umumnya. Puisi adalah suara daun jatuh, jeritan embun yang mengering, punggung petani yang retak, tangisan gelandangan sebatang kara di kota. Narasi-narasi kecil itu menjadi teman perjalanan puisi. Mereka aktual dalam kehidupan tetapi luput dari perhatian manusia. Puisi berinteraksi dalam ruang historis yang kecil, terpencil atau terkucilkan–meminjam bahasa GM.

Apakah puisi itu terlibat? Jawabannya adalah ya. Keterlibatannya menyentuh narasi kecil tak bersuara atau yang riuh tapi dianggap ‘kurang riuh’, yang jauh dari pantauan dan jangkauan manusia. Mungkin karena itulah orang-orang yang tidak peka menganggapnya ‘a-historis’. Stereotip terhadap puisi yang umumnya merebak ialah bahwa demi mencapai hakikatnya dibutuhkan keuletan, kesabaran, dan kesetiaan. Bukankah nilai-nilai itu telah bermanfaat dalam historisitas dan peradaban manusia? Lalu, siapakah yang a-historis? Bukan puisi!


Penulis:

Petrus Nandi lahir di Pantar, Manggarai Timur – Flores pada 30 Juli 1997. Lulusan Fakultas Filsafat STFK Ledalero tahun 2020 ini menetap di kampung halamannya. Saat ini ia bergiat di Kelas Puisi Bekasi (KPB). Ia dapat disapa melalui akun Instagrm: @nandipetrus atau email: [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *