
Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah
surat kecil untuk Umbu
barangkali pandanganku kepada Sumba
adalah cinta yang tak kenal
lelah dan sedih
oleh jarak dan titi mangsa
Ampenan, 11 Desember 2020
sepasang tangan
-Umbu Landu Paranggi-
sepasang tangan menanam ribuan kata
bercukul diri menjadi puisi
sumba, sabana dan melodia
di udara sayap-sayap burung berpendar
di atasnya paras awan memudar
oleh langit yang kukuh
yang jatuh
ke palung tak tersentuh
sepasang tangan menghimpun ribuan nama
sebelum melepas diri, meninggi
menyusur ke keanggunan
pagi
lalu sepasang tangan melipat diri
diam dan tenang
duka doa digenapkan malam
yang teguh
menjauh
dari batas penglihatan
Ampenan, 11 Desember 2020
kami di sini sekarang
kami di sini sekarang, sebuah kamar kecil
namun selalu longgar
bagi kembang-kembang yang datang
tradescantia: zebrina dan pallida
mirabilis, aloe vera, keladi, miana, alocasia
aglonema, philodedron, sirih gading
rumpun-rumpun sansevieria juga
berbatang-batang tegar celosia
selepas subuh berangkat, matahari hangat
angan dan mimpi kami membusung membubung
oleh tumpahan warna kelopak-kelopak portulaca,
paras bersih bunga kangkung
yang kami tanam
dalam kantung-kantung air
serupa paras para perempuan penjaga karamba,
pemilik berlarik-larik batang kangkung
di alir sungai jangkuk–lubuk
bagi ikan-ikan
di mana sebuah sampan kecil mengikat dirinya
di sebatang pohon ketapang, di belakang
pasar ampenan
kami di sini sekarang
tegar sekaligus gentar membangun sarang
sebelum bersepeda ke pantai, menukar udara ke taman
kami berbincang dengan kembang-kembang
di teras kamar, selayaknya seorang tua
yang cintanya dalam terbenam
ke jantung sepetak ladang
Ampenan, Maret 2021
ia yang menanam miana
benaknya adalah kebun kecil
dengan rumpun-rumpun miana
langkahnya barangkali masih sebatas
ke dapur, pasar, sungai sebelah taman
di mana para perempuan menjaga karamba
juga kangkung-kangkung rimbun
yang menghidupi keluarga
anaknya–laki-laki kecil itu baru akan sekolah
namun tiba-tiba ia berpikir apa sebaiknya
anaknya di rumah saja?
dengan buku-buku lucu dan ringan, tidak menegangkan
tidak menghancurkan pikiran
ia kembali menyetek batang-batang miana
menancapkannya ke dalam keranjang bekas,
botol-botol bekas, juga kantung bekas minyak goreng
dalam benaknya: kelak batang-batang itu tumbuh tegar
menyerap matahari mekar
mengeluarkan warna warni sembada
melipur batin-batin yang lara
menabahkan keluarga-keluarga yang ditinggal
pergi sanak saudaranya—setelah berpasang
pasang pengantin
yang merasa sah sebagai ahli sorga
meledakkan diri
di rumah-rumah ibadah mereka
Ampenan, 7 Ramadhan 1442 H/19 April 2021
dari sebuah malam
-almarhum Bapak-
dadamu adalah seceruk kolam
di mana daun-daun sabar luruh
diam lalu tenggelam
sengat matahari mengekalkan
warna samar
di ruas keningmu
rambut-rambut putihmu yang merata
seperti akar menyusur ke dalam
rengkah pundakmu
bertahun menopang pohon keluarga
menarik mengikat jarak
jarak yang tak henti
menjemput takbirMu
Ampenan, 7 Ramadhan 1442 H/19 April 2021
Penulis:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur. Buku kumpulan puisi pertamanya “Perginya Seekor Burung” masuk dalam 5 buku pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2020. Kini waktu luangnya kerap dipergunakan untuk mempelajari jenis-jenis tanaman. Bermukim di Ampenan dan menjadi bagian keluarga dari komunitas Akarpohon Mataram, NTB.