Resensi Buku
Upaya Melestarikan Bahasa Indonesia

Upaya Melestarikan Bahasa Indonesia

Judul Buku  : Perca-Perca Bahasa
Penulis         : Holy Adib
Penerbit       : Diva Press
Cetakan        : I, Maret 2021
Tebal             : 180 halaman
ISBN             : 978-623-293-098-8

Selain bahasa daerah, bahasa Indonesia termasuk bahasa yang semestinya terus dilestarikan khususnya oleh para generasi muda bangsa. Jangan sampai kita sebagai orang Indonesia malah merasa “lebih bangga” menggunakan bahasa asing padahal posisi kita sedang berada di tanah kelahiran sendiri. Menguasai banyak bahasa memang penting, terlebih bagi mereka yang sering bepergian ke luar negeri. Namun keasyikan mempelajari bahasa asing jangan sampai membuat kita lupa dan abai untuk mempelajari bahasa ibu kita sendiri. Jangan sampai bahasa Indonesia punah dan tergantikan oleh bahasa lain.

Bahasa Indonesia, sebagaimana pernah ditulis Eko Sulistyo (Koran Sindo, 1/11/2018) tidak hanya menjadi alat ekspresi dari nasionalisme, tapi juga aspirasi tentang Indonesia. Dalam dunia kolonial yang hierarkis (dan rasis), Bahasa Indonesia juga menjadi ekspresi dari kebebasan dan persamaan di antara sesama manusia. Ben Anderson (2000) dalam Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, mengatakan bahwa fungsi publik utama bahasa Indonesia terletak dalam perannya sebagai pemersatu.

Holy Adib dalam buku terbarunya Perca-Perca Bahasa ini mencoba membeberkan sederet persoalan berbahasa kita selama ini. Banyak orang, termasuk mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan (seperti mahasiswa, guru, dosen) dan jurnalistik (seperti wartawan), yang masih kurang bisa menerapkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah berbahasa yang telah ditetapkan.

Menulis dengan kata-kata efektif dan tidak bertele-tele mestinya selalu diupayakan oleh setiap orang. Terlebih mereka yang berprofesi sebagai jurnalis. Dalam berita sering ditemukan kemubaziran kata-kata, misalnya kemubaziran untuk menunjukkan waktu. Misalnya pada kalimat: B.J. Habibie meninggal Rabu (11/9/2019) kemarin. Kata kemarin dalam kalimat itu tidak perlu ditulis karena maknanya terkandung dalam 11 September (11/9). Lagi pula, kemarin merupakan tafsir yang muncul dari orang yang membaca berita tersebut sehari setelah kejadian. Sementara itu, berita kadang-kadang juga dibaca dua hari, tiga hari, atau beberapa hari setelah kejadian berlangsung. Orang yang membaca obituarium Habibie pada 13 September tidak akan menganggap 11 September sebagai kemarin (hlm. 39).

Menurut Holy Adib, untuk menghindari pemborosan kata seperti itu, kata hari, tanggal, bulan, dan tahun tidak perlu ditulis dalam isi berita jika nama hari, angka tanggal, angka/nama bulan, dan angka tahun sudah dibuat. Jadi, juru kabar cukup menulis Rabu (11/9/2019) atau Rabu, 11 September 2019, bukan hari Rabu, tanggal 11 bulan September tahun 2019. Sejumlah media bahkan tidak menulis tahun dalam isi berita karena sudah terdapat di media. Di media cetak tahun ditulis pada bagian sisi atas tiap halaman beserta hari, tanggal, dan bulan, sedangkan di media dalam jejaring ditulis pada tiap berita, biasanya di bawah judul.

Singkat dan Padat
Menurut Holy Adib, ciri bahasa jurnalistik selain jelas dan menarik ialah singkat dan padat. Oleh karena itu, jurnalis perlu menerapkan prinsip hemat kata—ekonomi kata menurut wartawan senior, Rosihan Anwar. Namun, banyak kata mubazir dalam berita. Dalam berita kriminal, misalnya, sering terdapat kalimat boros seperti ini: Polisi menangkap kedua maling itu di dua kecamatan yang berbeda. Kalimat itu mestinya cukup ditulis sampai kata kecamatan karena dua kecamatan pasti berbeda.

Contoh lainnya: Hukum harus ditegakkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Mestinya, tidak perlu ditulis yang berlaku karena undang-undang yang digunakan memang undang-undang yang berlaku, sedangkan undang-undang yang tidak berlaku tidak dipakai lagi. Dalam berita kecelakaan juga sering ditemukan dalam kalimat lewah begini: Korban dilarikanke rumah sakit untuk diberi perawatan medis. Mestinya, wartawan tidak perlu menginformasikan kepada pembaca bahwa korban kecelakaan dibawa ke rumah sakit untuk diberi perawatan medis, sebab korban kecelakaan dibawa ke rumah sakit memang untuk diberi perawatan medis, bukan untuk disuruh membersihkan kamar mandi. Begitulah contoh-contoh kalimat yang mengandung kemubaziran (hlm. 43-44).

Menurut Holy Adib, ada beberapa solusi untuk mengurangi kesalahan berbahasa di media. Pertama, mempekerjakan redaktur bahasa. Redaktur bahasa tidak hanya bertugas  mengedit berita yang sudah disunting redaktur tiap rubrik, tetapi juga memberikan pelatihan bahasa kepada awak redaksinya secara berkala. Media-media yang mencurahkan perhatian lebih kepada bahasa tidak hanya mengandalkan redaktur bahasa dan redaktur senior untuk memberikan pelatihan bahasa kepada wartawannya, tetapi juga mengundang orang luar  redaksi.

Kedua, tidak mempekerjakan redaktur khusus bahasa, tetapi memberikan pelatihan secara berkala kepada wartawan, baik redaktur maupun reporter. Untuk memberikan pelatihan ini, media bisa memanfaatkan anggota dewan redaksi yang memiliki pengetahuan bahasa yang cukup luas. Media juga dapat mengundang orang dari luar redaksi untuk memberikan pelatihan. Setelah itu, media melakukan evaluasi kebahasaan secara berkala untuk melihat keberhasilan pelatihan yang diberikan (hlm. 47).

Pembahasaan dalam buku ini sangat menarik disimak oleh pembaca berbagai kalangan, khususnya para pelajar, pendidik, dan juga wartawan agar selalu berupaya melestarikan bahasa Indonesia. Tak sekadar melestarikan, tapi juga berusaha merangkai kata-kata yang menarik, memahamkan, dan tepat sasaran. []


Penulis:

Sam Edy Yuswanto. Lahir dan berdomisili di kota Kebumen Jawa Tengah. Penulis lepas di berbagai media. Ratusan tulisannya (cerpen, opini, resensi buku, dll) tersiar di berbagai media massa seperti: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Banyumas, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit antara lain: Percakapan Kunang-Kunang, Kiai Amplop, Impian Maya, Kaya dan Miskin, dan Filosofi Rindu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *