Resensi Buku
Darah Kuli Asia di Suriname

Darah Kuli Asia di Suriname

Judul              : Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname
Penulis          : Koko Hendri Lubis
Penerbit        : DIVA Press
Cetakan         : Pertama, Mei 2021
Tebal               : 172 halaman
ISBN                : 978-602-391-838-6

Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname, novel berhalaman tipis, hanya 172 halaman, hasil kreatif Koko Hendri Lubis. Bertitimangsa Jakarta, Den Haag, Medan, 2016-2018. Isinya membuka wawasan pembaca akan zalim dan kejinya kekuasaan. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi di Nusantara, begitu juga di Suriname. Para kuli yang diangkut dari berbagai belahan dunia, termasuk dari pulau Jawa, dijanjikan hidup sejahtera, ternyata menuai penderitaan tak terperikan. Siksaan hingga kematian.

Kuli Jawa baru tiba di Suriname sekitar dekade terakhir abad 19. Saat mana SS Emma tiba di pelabuhan Paramaribo, 9 Agustus 1890, setelah berlayar hampir 3 bulan,   menurunkan sekitar tiga ratus penumpang ke kapal kecil Celebes dan Java. Untuk selanjutnya  menjejakkan kaki di pelabuhan. Sebuah keluarga Jawa yang ikut dalam kapal tersebut adalah keluarga Suriono, tokoh novel ini.

Sebelum kehadiran kuli Jawa di Suriname, Belanda telah mendatangkan budak belian dari Afrika dan negara negro lainnya.  Para budak-budak––disebut sebagai Bangsa Kreol––ini telah menjadi bagian terpenting dalam kelas sosial di Suriname di awal penetrasi penjajahan Belanda.  Mereka sudah naik daun, dari budak yang nenek moyangnya dicambuk untuk bekerja, beberapa tingkat, menjadi majikan, atau setidaknya menjadi warga kelas utama. Maka kedatangan kuli Jawa dan bangsa lainnya mereka anggap sebagai orang-orang bernasib malang, sebagai orang-orang yang terkulikan.

“Bagi mereka, karena sikap yang low profile, orang Jawa dianggap dengan manusia bodoh dan rendahan. Kata-kata law-law Jampanesi, Jampanesi opo pep poeroe sket (orang Jawa yang bodoh, orang Jawa tukang angkut pipa penguras tinja)  adalah ucapan yang sering mereka lontarkan. Tetapi kalau orang Jawa habis kesabarannya dan terus mengambil sebilah golok, tanpa ayal mereka lari pontang-panting seperti pengecut. Orang negro tahu bahwa orang Jawa tidak segan menggunakan golok untuk berkelahi. Orang Jawa juga punya julukan yang tidak kurang serunya untuk orang Negro. Mereka menyebutnya blaka ting-ting atau blakaman foe-foeroeman (makhluk hitam yang menjijikkan). (hal. 129).

Di tanah jajahan Belanda ini, mulai dibangun perkebunan tebu dan usaha petambangan bauksit. Kedua mega-usaha ini memerlukan begitu banyak jumlah pekerja. Belanda menyebut waktu itu, pulau Jawa dihuni oleh orang-orang miskin. Maka perlu mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sama dengan klik berbagai pembohongan yang mereka lakukan ketika mengirim orang Jawa ke Sumatera (Deli), diangkut ribuan orang Jawa ke Suriname.

Konflik terbesar dalam novel yang ditulis dengan kalimat-kalimat pendek ini––tidak mendewasakan pembaca—adalah keberanian kuli Tiongkok melakukan perlawanan. Di dalam kelompoknya sendiri, kuli Tiongkok terbelah antara yang pro dinasti dan pemberontak yang terjadi di negaranya. Sampai terjadi pembakaran rumah usaha cuci Panorama yang dituduh sebagai rumah para pemberontak untuk menggulingkan dinasti Tiongkok yang sudah berusia ribuan tahun. Korban jatuh di kedua belah pihak.

Suriono yang berhasil menjadi seorang wartawan di Koran Moedig menjadi jangkar atas berita-berita yang berkembang selama hampir 30 tahun. Ia kawin dengan perempuan asal Tiongkok yang menjadi rekan kerjanya di Panaroma sebelum menjadi wartawan. Konflik terakhir terjadi pemberontakan kuli Tiongkok terhadap Belanda dan antek-anteknya orang Kreol. Dave van Nellen, bos penambangan bauksit yang paling kejam––pernah bertugas di Jawa––terbunuh oleh A Tak, pemimpin pemberontakan.

Dave tak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam keadaan terikat, ia tewas ditusuk A Tak. Huang Sik Cong yang menyaksikan seluruh pembunuhan tersebut memicingkan mata. Lalu, ia sadar dan segera masuk ke rumah. Sumiyati yang duduk di ruang tamu, kelihatan seperti orang binging dan putus asa. (hal. 146). Sumiyati adalah perempuan muda yang diambil Dave van Nellen menjadi nyai dengan membunuh tunangannya, Pan Jing.

Tahun 1949, Suriono memboyong istri Tiongkoknya yang mualaf kembali ke tanah air yang sudah merdeka. Bersama 300 orang kepala keluarga, pukul 3.15 Dolores mengangkat sauh. Tak lama dua perahu dengan mesin tempel dengan beberapa orang di dalamnya, termasuk Joop van Berg untuk memberi salam terakhir kepada kami. Kapal berangkat. Dan, pada pukul 4.15, Dolores sudah berada di laut lepas, menutup kenangan hidupku di Suriname. (hal. 171).

Novel pertama Koko Hendri Lubis ini mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan. Namun andai penulisnya memperhatikan imajinasi sebagai bagian penting untuk sukses sebuah novel, Permulaan Sebuah Musim Baru di Suriname yang terbelenggu oleh fakta ini akan lebih sukses mendulang lebih banyak pujian. Tak mengapa, sebagai novel pertama. Ditunggu novel selanjutnya yang bersumbu panjang. []


Penulis:

Nevatuhella, lahir di Medan, 1961. Alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Buku ceritanya Perjuangan Menuju Langit (2016) dan buku puisinya Bila Khamsin Berhembus (2019). Buku terbarunya Teriakan dalam Senyap (2021) sebuah biografi Damiri Mahmud.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *