Cerpen
Dermaga Aeng Panas

Dermaga Aeng Panas

DERMAGA Aeng Panas, dermaga yang muram di sore hari. Cahaya senja jatuh di permukaan air, perahu-perahu terombang-ambing tanpa muatan, camar-camar terbang rendah di antara riuh ombak yang menabrakkan dirinya pada batu-batu karang. Semua seolah diciptakan hanya untuk dirinya sendiri, seperti puisi yang menolak untuk dimengerti.

Namun, ialah dermaga tempat kita memulangkan perasaan, merawat kenangan, dan menyulam masa depan. Setiap sore hari, saat orang-orang pulang dari melaut, kita selalu berdiam di sana, duduk bersisian sambil menyaksikan apa saja dari lautan. Sesekali cerita-cerita menyela, mengisi ruang kosong di antara kita, sampai langit barat lindap dan burung-burung pulang ke peraduan.

Bagi kita, tak ada tempat yang layak untuk berbagi semuanya selain dermaga ini. Setiap senja, kita selalu datang sebagai orang yang saling membutuhkan. Berharap segala kepelikan hidup menemukan jalan keluar. Entah tentang masa lalu yang tak bisa dilupakan. Tentang hari ini yang tak dimengerti. Atau masa depan yang masih abu-abu.

Entahlah, bagaimana kedekatan ini tercipta hingga membuat kita seperti sepasang kekasih yang merasa saling memiliki? Padahal dulu kita sama-sama asing. Tidak kenal satu sama lain. Tapi kemudian dermaga ini yang mengubah kita menjadi bersama. Saling mengerti bahwa kita sama-sama lari dari sebuah luka masa  lalu.

Aku masih ingat, waktu itu, kau duduk menyendiri di ujung dermaga. Senja memang tampak begitu eksotis di langit barat, tapi kau seperti tak berminat melihatnya. Wajahmu justru tertekuk, tubuhmu bergetar, sementara tanganmu berkali-kali mengusap mata dengan ujung baju. Aku yang baru datang dan melihatmu, hanya tertegun. Tapi lama-lama aku merasa kasihan dan mencoba menghampirimu.

“Apakah wanita diciptakan hanya untuk menumpahkan air mata?” Aku menegur. Mencoba mengalihkan kesedihanmu. “Berbagilah jika memang ada masalah!”

Kau menoleh, tapi hanya diam. Kau barangkali berpikir aku terlalu sok kenal, sok perhatian. Tapi aku segera menyadari itu. “Anggap saja aku temanmu, mulai sekarang,” lanjutku, mencoba mematahkan pikiran negatifmu.

Sebagai pemuda yang banyak berkecimpung dalam dunia perasaan, aku tahu kau sedang patah hati. Wajahmu begitu sendu, matamu begitu sayu. Itu lebih mudah kutafsirkan daripada gelagat seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Apakah lelaki yang tega mencampakkanmu itu tidak mengerti tentang nilai keindahan, padahal wajahmu begitu cantik dan menawan?

Aku tak menyerah. Aku tetap berdiri di sampingmu sambil mengajakmu bicara meski kau tetap tak peduli. Aku yakin kau tak akan tahan terlalu lama sendiri. Mungkin kau hanya gengsi dan butuh waktu.

Dan benar, saat aku hendak pergi, kau tiba-tiba memanggilku. Aku hanya tersenyum dan memintamu pulang karena sore sudah tua dan gelap mulai mengaburkan pandangan.

Kau kembali lagi esok harinya. Aku datang lebih awal, menunggumu sebagomana janjiku sore itu. Kita lantas duduk bersama, mengahabiskan sore sampai senja tak lagi menyala.

Entah bagaimana, kita tiba-tiba sudah begitu akrab. Kau tak segan lagi bercerita tentang apa pun, bahkan mengajak bercanda saat suasana mendadak berubah membosankan, seolah-olah kesedihan yang menggayuti perasaanmu telah menguap menjadi masa lalu yang jauh. Sementara aku tetap menutupi perasaanku dan pura-pura bahagia agar kau tidak curiga bahwa aku masih menyimpan luka dan berharap kau menjadi penyembuhnya suatu hari nanti.

Keakraban itu terus berlangsung hingga beberapa tahun berlalu. Hingga kita benar-benar melupakan masa lalu. Namun jangan salah, kita tetap tidak menjadi sepasang kekasih. Kebersamaan kita hanya diisi dengan curhat, canda tawa, dan senyuman-senyuman yang tak bertujuan selain hanya hiburan. Sementara hal-hal yang biasanya dilakukan sepasang kekasih tetap menjadi  ketabuan yahg tak pernah kita lakukan.

Seperti halnya aku, apakah kau juga menyimpan benih-benih cinta dan berharap untuk tetap bersama sampai mati? Begitulah aku selalu bertanya-tanya dalam hati setiap kali duduk bersisian sembari mencuri-curi pandang ke wajahmu. Tapi tetap saja, di hadapanmu, aku hanya menjadi lelaki pecundang, lelaki yang selalu kalah pada ketakutan-ketakutan.

Hingga akhirnya, pada suatu hari, aku tahu Hari Valentin sudah semakin dekat, dan kupikir momen spesial itu tak boleh kusia-siakan. Jadi kukumpulkan segala keberanian untuk menyiapkan sebuah kejutan. Kejutan yang akan menentukan bagaimna nasib hatiku ke depan.

Dan, hari yang dinanti-nantikan itu ternyata adalah sore ini.

Aku sudah berada di perjalanan dengan sebungkus kado dan setangkai mawar di tangan, berdiri berdesakan bersama orang-orang yang gelisah menunggu sampai di tempat tujuan. Tapi sepertinya aku akan datang terlambat, arus lalu lintas seperti iring-iringan semut, sementara tujuan masih cukup jauh dan udara makin pengap terjepit bau-bau tubuh bersimbah peluh, juga bau angkot yang membuat sebagian penumpang mual-mual.

Kado dan mawar masih tergenggam erat di tangan. Sejak tadi, orang-orang memandangku aneh. Barangkali mereka pikir aku lelaki yang kurang hiburan karena masih suka membawa kotak dan bunga untuk bermian-main. Tapi aku tak peduli. Mereka hanyalah orang-orang udik yang ketinggalan zaman. Mereka hanya paham seluk-beluk pasar tradisional. Tak heran jika mereka pulang membawa keranjang butut, kardus bekas, juga kantong palstik lusuh yang entah apa isinya. Bau-bau mereka pun aneh, seperti bau tempe, bayam, acan, juga ayam. Semua berbaur menyesakkan.

Angkot terus melaju di antara pejalnya harapan-harapan para penumpang. Kecepatan pun kian meningkat saat kemacetan mulai terurai. Tapi perjalanan terasa makin berat sebab memasuki jalur bergelombang. Berkali-kali angkot bergoyang, para penumpang saling dorong. Sementara aku semakin terdesak, tapi tetap berusaha menjaga kado dan mawar agar tidak rusak dan berguguran.

Persimpangan yang menawarkan banyak jalan mulai terlihat dan aku segera memberi aba-aba pada kernet bahwa aku  hampir sampai di tempat tujuan. Angkot mulai munurunkan kecepatan dan aku mulai bersiap. Kuucapkan permisi pada penumpang-penumpang yang kebetulan duduk di sisiku. Dan akhirnya aku benar-benar turun tepat di bawah baliho iklan yang dipancang di sisi kiri jalan.

Di jalan menuju arah dermaga ini, angin makin berembus deras, dan aku masih belum beranjak. Kali ini aku ingin bertemu denganmu dengan cara yang paling spesial. Jadi aku singgah dulu di warung Bu Suti hanya untuk numpang bercermin, menyisir rambut, dan menyemprotkan parfum yang sengaja kubawa di saku celana belakang. Dan aku tersenyum bangga setelah tampak rapi dan elegan. Aku yakin kau pasti akan terkesan.

Aku pun melangkah penuh percaya diri. Berharap diamini daun-daun yang menangkup di atas pohon, rumput-rumput yang mendongak di sepanjang jalan, juga batu-batu yang bergeming khusyuk di bibir pantai. Tak lupa kado dan mawar kusembunyikan dulu di balik punggung. Sementara pikiranku penuh dengan khayalan akan romantisme sebuah kebersamaan. Kubayangkan kau akan terkejut dan tersenyum bahagia begitu aku datang dan mempersembahkan kado dan mawar di Hari Kasih Sayang ini. Tapi tentu saja, bersamaan dengan itu, aku akan memintamu menjadi kekasihku, satu-satunya wanita yang ingin kucintai dan kujaga hingga akhir nafas ini.

Gerbang dermaga lalu menyambutku dan kulihat kau sudah duduk berjuntai di sana, menghadap senja yang perlahan mengendap-ngendap ke permukaan air. Tapi tunggu, kau ternyata tidak sendirian. Ada seorang lelaki yang luput dari penglihatanku sedari tadi dan tiba-tiba mendekat ke arahmu dengan menggenggam sebungkus kado dan setangkai mawar seperti milikku. Aku tak tahu siapa lelaki itu, tapi yang jelas kau tampak begitu akrab dan bahagia atas kedatangannya.

Akhirnya aku tak jadi meneruskan langkah. Sejenak aku terdiam, kado dan mawar kuremas dan kubanting sembarangan sebelum akhirnya aku pergi dengan hati yang rompal. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk melupakan dermaga yang bersimbah kenangan ini. Dan entah kenapa, setelah menjalani hari-hari pahit itu, hidupku menjadi terasa sangat ringan, lebih ringan daripada suasana pagi sebelum burung-burung terbang ke arah mentari di langit timur.

Namun, aku tak tahu apa yang telah terjadi pada diriku. Aku tiba-tiba suka keluyuran, jarang mandi, dan tak peduli tatapan-tatapan aneh orang-orang yang nongkrong di pinggir jalan.[]

Kota Ukir, 2021


Penulis:

ALIM MUSTHAFA, lahir dan tinggal di Sumenep Madura. Alumnus PBA di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk. Selain mengajar, ia menulis fiksi dan menerjemah karya-karya berbahasa Arab. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional dan lokal, seperti Media Indonesia, Republika, Solopos, Rakyat Sultra, Banjarmasin Post, Denpost, Analisa, Radar Malang, Bhirawa, Radar Banyuwangi, dan Tanjungpinang Pos.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *