Esai
Penyair Perempuan Indonesia

Penyair Perempuan Indonesia

Narasi mengenai kepenyairan—baik taraf dunia maupun Indonesia—selama ini selalu didominasi kaum laki-laki. Kita bisa menelusuri, misalnya, melalui catatan penerima nobel sastra. Penghargaan paling bergengsi di bidang kesusastraan yang diinisiasi oleh Alfred Nobel melalui Swedish Academy itu didominasi penyair laki-laki. Atau jika dalam ranah keindonesiaan, tidak banyak penyair perempuan Indonesia yang masuk dalam angkatan-angkatan sastra.

Terlepas dari politik sastra yang dimainkan—jika dilihat dari penyusun angkatan sastra pun juga kritikus sastra laki-laki, semisal HB. Jassin—ada sekian banyak pertanyaan yang belum juga terjawab hingga saat ini. Seperti, bukankah puisi yang mengeksplorasi perasaan dan kepekaan justru lebih dekat dengan perempuan? Kenapa jumlah penyair perempuan seolah lebih sedikit?

Dalam buku Seroean Kemadjoean (2018) Sartika Sari menjabarkan dengan sangat detail jejak pergerakan penyair perempuan rentang tahun 1919-1941. Artinya, keberadaan penyair perempuan sebenarnya sudah ada sejak pra-kemerdekaan. Dengan puisi, mereka menyerukan gagasan-gagasannya melalui sekian banyak surat kabar. Dalam satu dekade terakhir, dunia sastra Indonesia diwarnai oleh kemunculan sekian banyak penyair perempuan.

Mereka mewarnai media-media yang memiliki rubrik sastra baik cetak maupun daring. Bahkan, beberapa di antaranya turut menjadi bagian dalam daftar penerima penghargaan di bilang puisi, seperti Rini Intama dan Umi Kulsum—untuk menyebut beberapa nama—yang berhasil menyabet penghargaan Hari Puisi Indonesia (HPI). Bahkan Rini Intama memperoleh tiga kali penghargaan, yakni tahun 2016, 2018, dan 2019, sedangkan Umi Kulsum mendapatkan dua kali penghargaan, yakni tahun 2016 dan 2017. Prestasi keduanya adalah sebuah pencapaian yang patut diperhitungkan.

Pada pelaksanaan Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIG) yang dilaksanakan di Tanjungpinang dan Bintan Kepulauan Riau pada 29 November hingga 2 Desember 2018 lalu, dibentuk sebuah komunitas bernama Penyair Perempuan Indonesia (PPI). PPI dideklarasikan di hadapan puluhan penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang hadir. PPI dibentuk atas dasar kesadaran kolektif mengenai peran penting perempuan dalam dinamika sastra tanah air dan keberadaannya yang selama ini tidak begitu diperhatikan dengan serius.

Terpilihnya  Kunni Masrohati, penyair kelahiran Riau, sebagai ketua PPI bahkan digadang-gadang sebagai pengangkatan “Presiden Penyair Perempuan”. Sebagaimana galib kita tahu, selama ini kita hanya mengenal satu presiden penyair, yakni Sutardji Calzoum Bachri. Meski pengangkatannya tidak dengan sistem formal, tetapi menjadi sebuah konvensi, menjadi semacam bangunan tersendiri di kepala pemerhati puisi, atau bahkan di kalangan penyair sejauh ini, bahwa presiden penyair itu tunggal dan belum/tidak tergantikan.

Dengan kehadiran “presiden penyair perempuan” ini, saya kira sastra Indonesia mengalami perkembangan signifikan dalam wacana keseimbangan gender. Ada upaya merobohkan dominasi maskulin, yang entah berapa puluh tahun bertahan dalam jagad sastra Indonesia. Sejauh ini, PPI tidak sekadar untuk meneguhkan eksistensi penyair perempuan Indonesia. Lebih dari itu, ada upaya mendorong ke arah yang lebih progresif. Beberapa kali, PPI menyelenggarakan penerbitan buku puisi para penyair perempuan dari pelbagai latar belakang dan dari seluruh penjuru Indonesia. PPI adalah gerakan kultural yang kelak menghapus dominasi maskulin dalam perpuisian Indonesia. Gerakan ini menjadi penanda cerahnya masa depan (eksistensi) penyair perempuan Indonesia.

PPI hanya satu contoh dari sekian banyak perempuan yang saat ini turut meramaikan dunia kepenyairan di Indonesia. Di luar sana, di banyak kota dan di daerah-daerah tentu juga ada penyair-penyair perempuan. Hanya saja banyak di antara mereka yang bergerak secara mandiri, sangat sedikit yang membentuk gerakan kolektif. Padahal, gerekan kolektif perempuan penyair ini dirasa penting untuk menunjukkan eksistensi mereka di ranah sastra Indonesia.

Gerakan Perlawanan
Kehadiran komunitas-komunitas penyair perempuan ini barangkali sebagai penanda gerakan perlawanan terhadap inferioritas perempuan sebagai warisan pemikiran kolonial. Sebagaimana galib diketahui, dulu perempuan diposisikan sebagai golongan subaltern yang tidak bisa mengartikulasikan suaranya untuk melawan sistem patriarki yang ada. Leela Ganhdi, mengutip pernyataan Spivak, menyampaikan bahwa

“sebagai golongan subaltern, kaum perempuan dalam pelbagai konteks kolonial tidak memiliki bahasa karena tidak ada telinga dari laki-laki kolonial maupun pribumi untuk mendengarkannya. Ini bukan berarti bahwa perempuan tidak bisa berkomunikasi secara literal, tetapi tidak ada posisi subjek dalam wacana kolonialisme yang memungkinkan kaum perempuan untuk mengartikulasikan diri sebagai pribadi. Mereka ditakdirkan untuk diam.”

Saat ini, apa yang disampaikan Spivak agaknya sudah mulai pupus. Perempuan tidak lagi kesulitan dalam mendapatkan ruang di kehidupan bermasyarakat. Termasuk di dalamnya adalah dunia sastra.

Untuk itulah, eksistensi perempuan di ranah kepenyairan murni dikembalikan kepada para perempuan untuk mengambil kesempatan atau masih dibayang-bayangi ketakutan masa lalu untuk terus “bungkam”. Gerakan-gerakan feminis sudah merebak ke hampir seluruh sendi masyarakat. Edukasi mengenai keadilan gender juga sudah digaungkan di banyak tempat. Bisa jadi, penyair perempuan Indonesia, ke depan akan bermunculan meramaikan jagad sastra Indonesia. []


Penulis:

Dimas Indiana Senja. Penulis, dosen dan instruktur literasi nasional. Bukunya: Nadhom Cinta, Suluk Senja, Sastra Nadhom, Kidung Paguyangan, Museum Buton, Pitutur Luhur, dan Tantangan Pragmatisme. Founder Bumiayu Creative City Forum, Pengasuh Komunitas Pondok Pena Purwokerto, dan Pembina komunitas Rumah Penyu Cilacap. Pada tahun2016, pernah menjadi emerging writer pada UWRF (Ubud Writers and Readers Festival), Bali. Pada tahun 2019 pernah diundang sebagai pembicara di MWCF (Mandar Writer and Cultur Forum), Sulawesi. Pada tahun 2019 dia juga menjadi perwakilan esais Indonesia dalam MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara). Pada tahun 2021 menjadi juara 1 lomba menulis puisi dan juara 1 menulis esai tingkat ASEAN. Saat ini tinggal di Perpustakaan Rumah Kertas Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *