Esai
Empati Kultural Puisi Toeti Heraty

Empati Kultural Puisi Toeti Heraty

SAYA tulis esai singkat ini dari sudut pandang lain mengenai puisi-puisi Toeti Heraty yang dikenal sebagai tokoh feminis. Kancah perhatian esai ini pada puisi-puisinya yang berempati pada peristiwa kultural. Tentu saja menarik memperbincangkan puisi-puisi dengan empati kultural, karena ia memilki kekuatan sudut pandangnya sendiri sebagai penyair kontemporer.  Ia tak semata-mata diperbincangkan sebagaimana Nawal el-Saadawi yang melawan sistem otoritas kekuasaan patriarki yang berlindung dalam hegemoni negara, agama, moral, dan cinta.  

Tidak semua puisi Toeti Heraty bernuansa feminis. Begitu banyak puisi  Toeti Heraty yang berempati pada peristiwa-peristiwa kultural. Ia  menemukan ekspresi pribadi dalam bentuk puisi untuk mendekonstruksi segala bentuk dominiasi, membawanya ke luar dari pusat-pusat kultural yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga melahirkan pluralisme persepsi. Ia memandang bahwa “pusat” kebudayaan bersifat plural, bukan tunggal. Ia menyingkap kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, terlalaikan dan terlupakan. Ia telah membawa penciptaan puisi dari persoalan diksi, estetika, dan imaji, ke arah kesadaran struktur sosial dan kebudayaan.
***

Membaca puisi Toeti Heraty yang berjudul “New York I Love You”,  saya  dapat merasakan betapa di luar pusat kebudayaan terdapat suatu kehidupan sosial yang laten, yang tersembunyi, terlalaikan dan terlupakan. Ia menampakkan pandangan plural terhadap pusat kebudayaan. Ia justru berempati pada sisi gelap dan kepincangan yang berkembang di luar pusat-pusat kebudayaan: “Di Metropolitan Opera yang megah, tersenyum/ bergandengan pasangan berpakaian mewah/ jas bulu dan perhiasan, karcis 84 dolar/ …Sekali ditelah oleh peta kota, antara/ gemerlapan Broadway kita sesat karena pameran/aneka bentuk maksiat, — tanpa kemunafikan –//. Sebagai penyair yang mendalami filsafat, Toeti Heraty menampakkan empati kultural yang berkembang di luar pusat-pusat kebudayaan yang ternyata memberikan hiburan “sesat”, “maksiat”. Larik-larik puisi ini membawa kesadaran kultural akan kemungkinan-kemungkinan identitas budaya yang bersifat plural.      

Kesadaran akan pengetahuan bahwa dunia nyata ini palsu, dicirikan dengan perbedaan pandangan, dan tak ada identitas yang mutlak, tercermin dalam puisi “Jakarta”. Puisi ini memberikan sugesti bahwa manusia sebagai pemilik cerita dengan segala luka dan kenangan tentang dunia. Tidak  ada cerita dan kenangan yang lebih benar dibandingan dengan cerita dan kenangan orang lain: Jakarta/ tidak aman bagiku selalu/ terungkap lagi segala yang lalu/ betapa kan kuredakan kepedihan ini/ betapa kerinduan/ keharuan ini adalah/ kepedihan cerah cuaca luas/ menggetarkan siang hari yang biru/ menggetar pula  jaringan luka-luka beku/.  Dengan  kata-kata lugas, bahasa sederhana, ia mengekspresikan empati kultural tentang ibu kota Jakarta yang memberikan luka-luka kultural sebagai manusia yang memiliki ceritanya sendiri tentang ruang kehidupan yang menjadi atmosfer kepenyairannya. Ia melancarkan ideologi perlawanan terhadap pandangan-pandangan kultural yang dibakukan. Ia memanfaatkan kata-kata lugas, bernas, tajam serupa anak panah yang menghunjam pada sasaran. Ia tak bersembunyi di balik stilistika dan imaji kepenyairannya.

Dalam penciptaan puisi Toeti Heraty, bahasa lebih tajam dari sekadar  menyuarakan sugesti, tetapi kadang menjelma suasana yang menyentuh intuisi pembaca. Ia mengemas tuntutan-tuntutan pembebasannya terhadap pusat-pusat keadiluhungan kultural hampir-hampir tanpa simbol. Bahkan mitos-mitos mengenai keluhuran dan pusat-pusat kebudayaan pun dibongkar, didekonstruksi dalam puisi “Geneva Bulan Juli”: mengembara/ adalah menanggalkan nama, melepaskan bumi/ benda-benda kemilau dipermainkan angin/ dan sangsi/ mana pula yang lebih nyata, berjalan/ merunduk karena angin kencang, atau/ gemerlapan lampu di Amsterdam/ bunga, malam, dan kota-kota/ tersisip di antara yang sengaja dikenang//.
***

Sebagai doktor filsafat yang berkecimpung dalam bidang kebudayaan, puisi-puisi Toeti Heraty menyiratkan pandangan-pandangan pascastrukturalisme. Dalam puisi-puisinya, ia menuliskan begitu banyak empati kultural yang menciptakan kesan-kesan yang tak bersifat tunggal. Ia menggugat logosentrisme. Ia menciptakan suasana dan kesan-kesan yang baru mengenai ruang-ruang kultural, membebaskannya dari kesan yang bersifat umum, terpusat, dan tunggal.

Ia memandang persoalan kultural tidak hanya milik “dewa-dewa” yang melupakan perasaan-perasaan manusia yang terkalahkan. Ia juga bisa memandang kesia-siaan krisis kebudayaan, dengan simbol “taufan” dalam kehidupan manusia, secara satire dalam puisi “Coktail Party”: pertarungan dapat dimulai/ berlomba dengan waktu/ dengan kebosanan, apa lagi/ pertaruhan ilusi/ seutas benang dalam taufan/ amuk badai antara insan// taufan?ah, siapa/ yang masih peduli/ tertawa kecil, menggigit jari adalah/ perasaan yang dikebiri/ kedahsyatan hanya untuk dewa-dewa/.

Dalam larik-larik puisi itu, sebagai seorang budayawan, Toeti Heraty memanfaatkan simbol bahasa, yang harus dimaknai. Simbol “taufan” sebagai pusaran krisis kultur yang mengamuk kehidupan manusia, dan “dewa-dewa” sebagai simbol tokoh yang menggenggam pengaruh kekuasaan, menyiratkan pesan: tak seorang pun peduli – sebuah satire akan krisis kebudayaan yang diabaikan.

Tinjauan empati kultural puisi-puisi Toeti Heraty ini merupakan salah satu sisi yang mesti digali, untuk mempertegas sosoknya, yang menurut A. Teeuw, dianggap yang paling terkemuka di antara penyair perempuan. Kita kehilangan budayawan, filsuf, dan penyair kontemporer ternama ini. []


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan  program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.  

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *