Mengusir Gulma, Menumbuhkan Keadilan

onflik agraria masih menjadi persoalan yang jamak didapati negara-negara Dunia Ketiga. Di dalam negeri sendiri, sengkarut antara masyarakat, tanah yang mereka tinggali, dan pemerintah atau perusahaan tertentu lebih sering menuai keuntungan sebelah pihak saja. Dalam kasus-kasus yang kita dapati selama ini, pihak masyarakat sekitar justru yang lebih sering memperolah kerugian.

Puisi Rizki Amir

barangkali peringatan dan kemampuan kita untuk membayangkan sejarah sejak mula memang tidak benar-benar ada. meski, kita sama-sama tahu, ada yang tetap lengket dalam hati dan kenyal di hari-hari sunyi.

Remen Tanem

Nalika plakat sing tulisane ‘Remen Tanem’ ngadeg ing sacedhake gapura desa, atine Marni kebrongot. Polatane ngluwihi cacing kepanasen. Apa maneh nalika saben dina ana wae pawongan sing mampir omahe nakonake panggonan kanthi jeneng ‘’Remen Tanem’ kuwi mau.

Perempuan, Madura dan Sejumlah Cerita

Sebuah cerita, barangkali memang merupakan cuplikan dari realitas di sekeliling kita. Terkadang ada banyak hal yang lupur untuk dijemput namun ternyata dari kisah-kisah yang berdatangan beberapanya kerapkali membuat kita kecut. Memang dengan membacanya, kita acap mendapati sejumlah pertanyaan baru; ihwal kenyataan tersebut—mengapa hal semacam itu bisa terjadi dan dekat dengan keseharian kita?

Kritik Sastra: Pengantar Perbincangan Awal

Ada dua problema besar berkaitan dengan jagat kritik sastra kita. Pertama, dunia kritik sastra kita seperti “pelari maraton” yang tertinggal dibanding dengan lajunya penciptaan sastra, kedua, “kegamangan” kritik sastra sendiri antara ilmu dan “subjektivitas”. Berkaitan dengan problem pertama, jauh-jauh hari dalam bukunya Pokok dan Tokoh II, A. Teeuw telah mensinyalir betapa terbelakangnya kritik sastra di antara pertumbuhan karya sastra yang terus bermunculan. Ketertinggalan kritik sastra disebabkan dua alasan besar, yakni miskinnya tradisi baca dan kritik dalam budaya kita dan masih mudanya usia kritik sastra.

Kliping Sayembara dalam Majalah Sastra

Sejak dulu, Sapardi Djoko Damono meyakini bahwa keberadaan sayembara dapat memajukan sastra. Hal itu merupakan respons perihal maraknya sayembara yang digelar berbagai pihak, mulai dari novel, cerpen, puisi, hingga naskah drama. Keberadaan sayembara memang mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Agaknya itulah yang dipahami Bandung Mawardi sehingga ia mengumpulkan lembaran saksi sejarah berupa majalah yang memuat penyelenggaraan sayembara.