Resensi Buku
Menengok Sumur Melalui Kacamata Sastra Hijau

Menengok Sumur Melalui Kacamata Sastra Hijau

Judul    : Sumur
Penulis     : Eka Kurniawan
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Terbit       : 2021
Tebal        : 51 Halaman
ISBN         : 978-602-06-5324-2

Sumur menjadi judul buku karya Eka Kurniawan terbaru, karyanya fiksinya setelah kali terakhir ia merilis “O (Sebuah Novel)” yang terbit pertama tahun 2016. Eka bukannya absen sama sekali dalam hal menerbitkan karyanya, sebab dua tahun terakhir ia hadir di dalam buku kumpulan esainya “Senyap yang Lebih Nyaring (2019)” dan “Usah Menulis Silsilah Bacaan (2020)”. Dua buku itu diterbitkan oleh Penerbit Circa, salah satu penerbit indie di Yogyakarta.

Sebagai salah satu penulis yang namanya cukup diperhitungkan dalam jagat kesusastraan Indonesia kontemporer, Eka dengan karyanya ini, Sumur, mengundang antusiasme yang tak main-main. Publik sangat mungkin bertanya-tanya, hal apa yang ditawarkan Eka kali ini? Seperti apa kisah di dalam karya Sumur sendiri?

Publik kita makin penasaran, sebab jalan penerbitan yang dipilih Eka agak berbeda dengan yang biasanya dilakukan oleh penulis lain. Oleh Eka, Sumur diputuskan hanya terbit sebagai cerita pendek tunggal. Naskah itu berkisar sekitar 5000-an kata, jumlah yang bagi penikmat cerpen kita dianggap cenderung panjang. Lazimnya, cerita pendek seperti ini minimal hadir bersama karya lain, kita mengenalnya sebagai antologi. Atau, bisa juga dihadirkan di halaman koran atau majalah sastra. Akan tetapi, Eka berkeyakinan lain, sebab koran tak mungkin memuat ceritanya itu mengingat jumlah kata yang banyak untuk ukuran cerpen di koran. Menerbitkan di majalah sastra lebih tak mungkin lagi, sebab ya saat ini memang tidak ada. Mau menerbitkannya di internet? Tidak, menurutnya, tidak ada yang menyediakan honor yang layak.

Lama Eka menyimpan draft ceritanya ini, sebelum pada tahun 2020 terjemahannya terbit dibawah naungan penerbit Penguin Books. Penerjemah karya ini Annie Tucker—penerjemah untuk edisi berbahasa Inggris bagi karya-karya Eka sebelumnya, lalu buku disunting oleh John Freeman. Bersama karya penulis lain, termasuk di dalamnya Margaret Atwood, Sumur atau The Well hadir di hadapan pembaca global dalam buku “Tales of Two Planets”.

Publik kita, termasuk saya, pada saat itu bertanya-tanya: Apakah Sumur atau The Well akan hadir di dalam bahasa aslinya? Kalaupun iya, apakah nantinya akan hadir bersama karya lainnya dalam sebuah antologi? Pertanyaan pertama, segara terjawab awal tahun ini. Eka mengonfirmasi Sumur atau The Well akan terbit dalam edisi bahasa asilnya. Namun, bagi yang mengharapkan kemungkinan di pertanyaan kedua, jawaban Eka memancing perasaan masygul. Setelah membaca cerita “Malam Penghabisan” karya Prijono (Balai Pustaka) dan mendapat ilham menyoal menerbitkan cerita pendek tunggal, ditambah pula editornya di GPU, Mirna Yulistianti, menyambut ide menerbitkan dalam format tersebut, Sumur masuk proses penggodokkan untuk terbit sebagai cerita pendek tunggal.

Dihiasi ilustrasi yang sederhana tapi menawan oleh Umar Setiawan, Sumur hadir di hadapan pembaca Indonesia bulan April yang lalu. Persoalannya kemudian, cerita macam apa yang ditawarkan Eka kali ini?

Sebuah Sastra Hijau?
Kekeringan yang berkepanjangan. Isu ini yang begitu diperlihatkan Eka di dalam cerita Sumur. Ia mengaburkan latar tempat dan waktu, sehingga memancing perhatian pembaca untuk menebak-nebak sendiri. Namun, soal kejelasan itu sangat mungkin diabaikan sebab cerita utamanya sendiri seperti mencengkram perasaan pembaca untuk sepenuhnya menyimak romansa yang Eka hadirkan. Ya, kita bisa mengategorikan cerita Sumur sebagai kisah tragic-romance.

Kampung itu tak bernama, tapi persoalan yang mereka miliki sungguh nyata: Air sungguh sulit didapat, sehingga merembet menimbulkan banyak persoalan lainnya. Di kampung itulah, Toyib dan Siti tinggal. Keduanya sudah menyimpan asmara sejak duduk di bangku sekolah. Perjalanan menuju sekolah pun menjadi momen yang berharga bagi mereka. Dengan rasa malu khas kanak-kanak, romantisme itu tetap terjalin kendati pengutaraan perasaan belum sama sekali keduanya lakukan. Sayangnya, hubungan mereka menemukan titik yang menyesakkan ketika ayah mereka terlibat duel dan mengakibatkan terbunuhnya ayah Siti dengan perut memburai serta darah menggenang di rerumputan. Duel itu terjadi lantaran persoalan parit di punggung bukit yang menjadi sumber air kampung mereka.

Ayah Toyib mendekam di bui, sementara ayah Siti dikebumikan. Imbasnya, hubungan Toyib dan Siti pun merenggang. Mereka tidak lagi bertemu atau bepergian bersama. Tahun-tahun berlalu, kekeringan memanjang kian tak terukur, bahkan hampir sepanjang tahun. “Saat itu parit tak lagi berisi air, dan mata itu menyusut menjadi sepetak kubangan lumpur yang dikelilingi hamparan tanah kering. Pohon-pohon nipahnya membusuk dan tumbuh kerdil. Sawah-sawah menjadi terlantar, mereka hanya menanaminya jika ada kemungkinan hujan akan datang. Kadang-kadang mereka tertolong oleh hujan sesaat itu, meskipun panen yang dihasilkan tak pernah memberi senyum, lebih sering itu menjadi kesia-siaan.” (Hal. 8)

Keadaan itu semakin menyulitkan warga kampung. Dan seperti tak ada harapan lagi, banyak dari mereka kemudian merantau ke luar kota. Seharusnya, Toyib remaja pun bisa ikut gelombang perpindahan itu. Hidup kian susah dan mesti diperbaiki, merantau jadi salah satu jalannya. Namun, Toyib berpikiran lain, ia tak kunjung pergi sampai ayahnya bebas dari penjara dan meminta bantuan Toyib untuk memberikan uang tabungan ayahnya sebagai bentuk balas budi kepada keluarga Siti.

Keduanya pun bertemu di sumur yang kini menjadi satu-satunya mata air yang bisa digunakan warga kampung. Pertemuan itu demikian canggung. Menahun mereka saling menghindar satu sama lain, kini mereka bertemu untuk kali pertama setelah sekian lama. Toyib lantas mengutarakan maksudnya, tapi Siti menolaknya. Siti kemudian pulang dengan pikulan ember berisi air di punggungnya. Nahas, di jalan yang tak landai, Siti terjerembab jatuh. Siti hampir saja celaka, tapi Toyib bertindak sigap.

Alih-alih membuat hubungan keduanya membaik, pertolongan itu rupanya tidak menyatukan keduanya. Hubungan mereka justru kian runyam. Tidak ada pertemuan lagi. Siti juga tidak lagi mengambil air sebagaimana yang dilakukannya saban fajar. Namun, cinta Toyib seolah tak berkarat atau mengering seperti mata air di kampung mereka. Cinta itu, selama berminggu-minggu ditunjukkan dengan mengisi bak air di rumah Siti saban hari. Oh, Siti tentu mengetahui tindakan pemuda itu, tapi ia tak pernah menampakkan diri. Hubungan mereka tetap merenggang.

Kerenggangan itu jelas menyesakkan. Sisi sesak itulah yang ditunjukkan Eka dalam tiap fragmen kisah Sumur. Segalanya seperti tidak ada kesempatan, apalagi harapan untuk memperbaiki beragam permasalahan itu. Akar permasalahan yang bermuara ke masalah lingkungan—kekeringan menahun, kemudian bisa dianggap sebagai upaya penulis memposisikan karya ini dalam kategori sastra hijau. Eka menggambarkan, ketidakstabilan lingkungan, atau permasalahan lingkungan yang ekstrim demikian memberi dampak yang signifikan bagi makhluk hidup di sekitarnya. Dampak itu tidak saja dialami oleh binatang sapi dan kambing yang kesulitan mendapat air serta makanan, tetapi juga menyasar sosio-cultural masyarakat sekitar.

Semua itu bahkan menerbitkan semacam pesimisme sebagai salah satu respons masyarakat. Hal itu, misalnya, tampak dari monolog Siti sewaktu bertemu Toyib: Kau lihat, kekeringan di mana-mana dan sekali hujan datang, sungai meluap dalam angkara. Kau dan aku tak kenapa semua itu terjadi, dan mungkin kita juga diamuk kemarahan. Yang menderita bukan hanya aku dan kamu, tapi semua orang. Kau lihat, tak ada lagi anak-anak di kampung ini. Mereka berhenti sekolah dan pergi ke kota. Jadi pembantu, jadi pelayan warung, jadi juru parkir. Kau tahu, singkong pun tak lagi mau tumbuh di petak sawah kami (Hal. 41).

Dengan sekian dampak lingkungan yang digambarkan di dalam Sumur, apakah lantas membuat karya ini menjadi sebuah karya sastra hijau? Bisa saja. Kalau kita merujuk pengertian sastra hijau sebagai karya yang bercorak lingkungan, baik yang mengetengahkan persoalan lingkungan ataupun menjadi semacam kritik terhadap masalah lingkungan tertentu, maka Sumur bisa masuk ke dalam kategori ini. Lebih dalam lagi, dengan keterbatasannya sebagai cerita pendek, kompleksitas dampak dari permasalah lingkungan tersebut benar-benar terepresentasikan di dalam cerita. Sumur, selanjutnya, memang tidak menawarkan solusi atas segala permasalahan tersebut. Toh, Eka tak memposisikannya seperti itu. Kita cukup menilainya sebagai sentilan atau pengingat bahwa dampak permasalahan lingkungan bisa sedemikian runyam dan kompleks, persis seperti jalinan kisah cinta antara Toyib dan Siti. Kisah mereka memang penuh sesak, tapi Eka tak membiarkan pembaca sebatas merasakan kesesakkan, tapi juga mengajaknya merenungkan sekian isu yang ia hadirkan. Di situlah, coraknya sebagai bagian dari sastra hijau menemukan validasinya.


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *