Esai
Obituarium Paria

Obituarium Paria

Di tangan Amanda Stronza, maut tampil dengan sentuhan estetis. Antropolog lingkungan dan fotografer Amrik tersebut kerap memberikan penghormatan pamungkas kepada jasad hewan-hewan yang ditemukannya dengan ornamen floral. Kita bisa menyaksikan ketakziman tak lazim itu di akun instagramnya yang selalu dihujani apresiasi warganet.

Unggahan terakhirnya adalah foto ular mati yang dilingkari delapan kuntum daylily (Hemerocallis fulva). Kecenderungan eksentrik ini hanya akan dilakukan orang-orang yang memiliki keyakinan ekologi dalam (deep ecology) atau mereka yang benar-benar menghayati bahwa setiap makhluk terus berputar dalam sirkulasi reinkarnasi sebelum karmanya tuntas. Pada keyakinan ekologi dalam, seluruh makhluk memiliki derajat yang sama di mata kosmos sehingga tidak ada alasan untuk tidak menempatkannya pada posisi moral yang setara dengan manusia. Sementara itu, pemeluk teguh siklus samsara memandang semua makhluk memiliki inti eksisten yang sama, yaitu atman—yang acapkali diidentikkan dengan Ilahi. Berkhidmat kepada semua makhluk, termasuk kepada satwa-satwa, sama artinya dengan tawaduk di hadirat Yang Mahakuasa.

Tidak hanya memajang gambar raga mairat para binatang, akademisi yang telah menghabiskan tiga puluh tahun hidupnya sebagai peneliti dan konservator di Amazon tersebut membubuhkan takarir puitis dan sentimental:

Aku mendapatinya di jalan sempit di Pedesaan Virginia dekat perkebunan kacang. Ia semestinya punya waktu melintas. Ia amat besar dengan lalu lalang yang terbatas. Mungkin ia tengah berjemur. Barangkali seseorang memukulnya dengan sengaja. Dengan kebencian. Aku berharap orang melihat ular dengan netra baru. Dengan cinta. Ia blackracer. Nama yang indah untuk ular yang jelita. Ia bersinar di jalan itu. Mentari membuatnya keperakan, bercahaya, dan berkilauan. Penuh warna. Ia permata. Ketika mengangkatnya, aku menemukan tiga butir telur di bawahnya, remuk. Saat menulis memorialnya, aku menjumpai telur keempat yang robek dari tubuhnya yang rusak. Aku meletakkannya di atas daun di sisinya, di pusat lingkarannya. Daylily bertebaran di parit ia mati. Aku membaringkannya untuk bersemayam di hutan yang tak jauh dari tenda. Ketika malam jatuh, kunang-kunang beterbangan di mana-mana, di atas jasadnya.

Ketika figur publik wafat, catatan memorabilianya muncul di mana-mana untuk mengenang kemasyhuran namanya. Kita menamainya ‘obituarium’. Ia menjadi perpanjangan batu nisan.

Batu nisan dipancangkan sebagai penanda teritori orang mati. Ia juga ditugurkan agar ingatan tentang mendiang tetap terpatri. Bagi yang hidup, nisan begitu penting karena ia menjadi lokus ziarah di mana aktivitas nostalgia dan doa-doa dialamatkan.

Meskipun sama-sama ditakhlikkan untuk mengheningkan kematian, nisan dan obituarium memiliki kedudukan berbeda. Obituarium biasanya cuma ditulis untuk kematian ‘orang-orang bernama’. Dalam obituarium, selain untuk mengingatkan masyarakat pada jasa-jasanya, riwayat sang almarhum dipaparkan ulang agar menjadi inspirasi bagi yang lain.

Di tangan seorang penulis obituarium piawai, kadangkala kematian akan membuat seseorang menjadi lebih bertenaga. Sebuah memoar yang ditulis setelah kematian tokoh bisa jadi merupakan obituarium dalam bentuknya yang lain. Babad dan suluk, misalnya, dianggit untuk merekam kebesaran raja-raja dan kemakrufan para mistikus. Babad kerap disusun untuk memberi legitimasi ilahiah kepada sosok penguasa dan suluk digubah untuk mengokohkan karisma seorang sufi.

Gelar kepahlawanan, orang-orang kudus, nabi, bahkan insan setengah dewata seringkali disematkan kepada figur tertentu justru setelah hijrah ke alam baka. Maka, orang-orang percaya arwah para wali mampu memakbulkan hajat. Martir yang disakralkan—meminjam kata-kata Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot—adalah orang yang telah berhasil mengatasi batas maut sehingga hadir secara ajaib, baik di tengah umat manusia maupun di hadapan Tuhan.

Dalam bukunya, Imagined Communities, Benedict Anderson membahas obsesi manusia pada figur pahlawan. Cenotaph adalah istilah yang digunakan untuk menyebut makam yang sengaja dibuat kosong untuk mengenang para serdadu gugur yang jasadnya tidak ditemukan. Kuburan-kuburan itu diisi pembayangan-pembayangan gaib yang bersifat nasional. Artinya, sosok pahlawan menjadi bagian dari emblem jati diri bangsa. Maka, sebuah monumen—makam kosong itu—perlu dihadirkan sebagai referensi fisik dari simbol identitas yang hendak dibangun.

Puisi penyair Sunda, Toto Sudarto Bachtiar, “Pahlawan Tak Dikenal” bisa dikatakan cenotaph dalam genre yang berbeda. Obituarium anonim ini ditulis sebagai komplimen kepada para pahlawan yang namanya luput ditatah dalam catatan historis. Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun. Orang-orang ingin kembali memandangnya sambil merangkai karangan bunga. Tapi yang nampak wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya. Puisi tersebut seperti ingin menunjukkan fiksasi manusia pada identitas (wajahnya sendiri) meskipun dirajut dari benang yang kabur (yang tak dikenalnya). Di sini kita melihat paradoks: identitas yang berwatak jelas berhulu pada asal-usul yang sebam.

Bernama atau tidak, biografi seorang pahlawan akan tetap dipahat pada ode, himne, obituarium. Lalu siapa yang akan menulis obituarium untuk para pahlawan harian yang juga berperan penting dalam hidup kita tetapi telanjur dipandang sebagai orang-orang yang melakukan pekerjaan remeh? Petugas kebersihan, penambal ban, para penanam? Dalam karyanya, Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?, penulis Swedia, Katrin Marçal mengkritik ekonomi liberal sebagai teori yang telah menyisihkan tugas domestik perempuan yang dianggap tidak berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Ketika seorang feminis wafat, secara ironis obituarium akan sibuk meriwayatkan jasa-jasanya di ranah publik, tetapi kerap lupa memajang potretnya sebagai seorang ibu. Ibu, dalam kultur patriarkal, adalah paria. Penggunaan kata ‘paria’ mungkin terlalu lajak. Namun, istilah ini terpaksa digunakan untuk mengingatkan kita betapa pentingnya pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap tidak bergengsi sehingga kematian orang-orang yang menekuninya tidak perlu diabadikan dalam obituarium. Tetapi Amanda Stronza telah merayakan ajal sebuah kasta paling pungkas dari segala jenis paria: hewan-hewan. Jika ada lebih banyak obituarium ekosida yang membentangkan kepunahan satwa-satwa, kematian mata air, kemusnahan pohon-pohon, barangkali tragedi tidak hanya memberi definisi atas hidup kita, tetapi juga menunjukkan betapa cepatnya maut akan mengakhiri sejarah umat manusia. []


Penulis:

Royyan Julian adalah penulis, akademisi kambuhan, dan pegiat budaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *