Cerpen
Anatomi Kegilaan

Anatomi Kegilaan

KEPADA semua orang, Suminten berkata bahwa urat-urat setiap daun di Ponorogo melukiskan paras Subroto, keras bebatuan menyimpan lekuk liku tubuh Subroto, matahari tidak terbit kecuali untuk menyinari Subroto, bulan dan bintang mendapat cahaya dari pancaran pesona Subroto, hujan turun untuk membelai Subroto, udara segar berkat dengus napas Subroto, dan seterusnya. Namun semua orang tahu bahwa Suminten tidak pernah bertemu atau melihat langsung Subroto.

“Aku sudah bertemu dengannya bahkan semenjak aku belum dilahirkan ke dunia ini,” kata Suminten. “Di surga,” lanjut Suminten, “seekor ular besar yang cemburu melihat kebahagiaan kami menghasut agar kami memakan Khuldi. Lalu Tuhan yang marah menghukum kami dengan lahir ke dunia. Dan begitulah kami terpisah. Lalu menghabiskan waktu untuk saling mencari, sebelum pada akhirnya nanti kami kembali bersama, dan hidup berbahagia selama-lamanya.”

Ayahnya, Warok Gunoseco, mengelus cambang yang lebat untuk mengurangi cemas melihat tingkah polah Suminten. Orang-orang mengatakan kepadanya bahwa Suminten gila dan satu-satunya cara agar gadis itu mendapatkan kembali kewarasannya adalah menikahkannya dengan Subroto.

“Tapi bagaimana bisa aku menikahkannya dengan Subroto?” ujar Warok Gunoseco. “Pemuda itu anak bupati Trenggalek dan aku hanya warok yang tak memiliki kuasa sebesar seorang bupati. Dan lebih dari itu semua, pemuda itu sudah memilih menikahi Cempluk Warsiah, anak Warok Suromenggolo, saudara seperguruanku sendiri.”

Lalu Warok Gunoseco menyalahkan semua orang. “Jika semua orang,” katanya, “tidak terus-terusan membicarakan ketampanan Subroto, tentu Suminten tidak akan berkhayal yang bukan-bukan.”

***

Suminten pernah begitu waras dan bahagia. Hari itu, ia bangun pagi sekali meski malamnya ia tidak tidur dengan nyenyak. Ia mandi lama sekali. Ia menggosok setiap bagian tubuhnya dengan batu kali yang halus untuk menghilangkan daki yang mungkin tertinggal. Ia mencuci rambutnya dengan getah dari tujuh helai lidah buaya. Sejak sepekan sebelumnya, ia rutin mengonsumsi daun beluntas dan kemangi untuk menghilangkan bau ketiak. Kemarin, sesiangan ia mengangkang di atas tungku berasap yang ditaburi ratus wangi seraya menahan linu-linu di paha dan betis.

Dari luar bilik mandi, ayahnya berkali-kali memeringatkannya, “Ayo, jangan sampai terlambat.”

Ia mendapatkan baju dan riasan terbaik hari itu. Lalu duduk seperti kepompong di samping kursi pengantin kosong. Pantatnya panas dan ia tidak sabar. Namun ia berusaha tenang. Seperti orang suci dalam semedi.

Ketika matahari meninggi, keringat mulai membanjiri tubuhnya dan berkali-kali ia menengok ke ujung jalan. “Dia tidak datang…”gumamnya berulang. Ayahnya menenangkannya. “Dia masih dalam perjalanan.”

Ketika sore, Suminten sudah melepas sanggul dan riasannya rusak berkat air mata. Bibirnya pucat dan telapak tangannya berkeringat. “Dia tidak datang,” katanya. Ia melihat kursi kosong di sebelahnya. “Kursi itu akan kosong selamanya,” lanjutnya. “Aku hanya menikah dengan angin,” rengeknya di sela ingus bening yang meleler hingga bibir.

Ayahnya masih mencoba menenangkannya. “Trenggalek Ponorogo tidak dekat,” kata si ayah. Sesekali, lelaki itu berdiri, berjalan hilir mudik sambil mengelus cambangnya yang lebat. Lalu desahan besar keluar dari bibirnya yang tebal. “Hapus air matamu,” kata si ayah kemudian. “Kita tidak mau calon pengantinmu datang dan melihatmu seperti itu.”

Menjelang surup, seorang utusan datang. “Saya membawa permintaan maaf dari bupati Trenggalek. Raden Mas Subroto tidak bisa datang dan tidak akan pernah datang untuk menikahi Suminten,” kata utusan itu. Singkat dan tajam dan panas.

Suminten meraung. Warok Gunoseco menenggak segelas air sebelum bertanya kepada utusan itu, “Apa yang terjadi?”

“Raden Mas Subroto akan menikah dengan Cempluk Warsiah, putri Warok Suromenggolo di Ponorogo.”

“Apa maksudmu? Aku yang berhasil mengalahkan Warok Surogento dan itu artinya aku bisa minta apapun dari bupati Trenggalek. Dan aku minta ia mengambil anakku sebagai menantu.”

“Masalahnya,” kata utusan itu. “Warok Suromenggolo juga berhasil mengalahkan Warok Surogento. Dan ia juga menginginkan anaknya menikah dengan Subroto.”

“Kenapa Subroto memilih menikah dengan Cempluk Warsiah dan bukan dengan Suminten?”

“Sebab mereka saling mencintai.”

Suminten kembali meraung. Ia melucuti pakaian yang ia kenakan dengan sobekan dan tarikan kasar. Lantas berjalan tak tentu arah. Dan berbicara kepada semua orang bahwa urat-urat setiap daun di Ponorogo melukiskan paras Subroto, keras bebatuan menyimpan lekuk liku tubuh Subroto, matahari tidak terbit kecuali untuk menyinari Subroto, bulan dan bintang mendapat cahaya dari pancaran pesona Subroto, hujan turun untuk membelai Subroto, udara segar berkat dengus napas Subroto, dan seterusnya. Dan bahwa ia dan Subroto telah bertemu jauh sebelum mereka dilahirkan ke dunia. “Namun seekor ular yang iri kepada kebahagiaan kami menghasut agar kami memakan Khuldi.”

“Siapa ular itu?” seseorang bertanya.

“Iblis yang terkutuk,” kata Suminten. “Tapi kami akan bertemu kembali, hidup bersama, dan bahagia selama-lamanya, seperti dulu di surga.”

***

Trenggalek pada akhir abad 15 Masehi tidak pernah langgeng dalam damai. Warok Surogento dari Gunung Pegat membuat onar dengan menjarah dan membakar rumah penduduk, menculik gadis-gadis dan mencuri hewan ternak.

Hari-hari di Trenggalek dan sekitarnya, termasuk Ponorogo, pada waktu-waktu itu, hanya berisi dua topik percakapan: kebiadaban Warok Surogento dan ketampanan Subroto. Lantas pada suatu hari, bupati Trenggalek memanggil putranya dan berkata, “Aku ingin pembicaraan di Trenggalek berubah. Aku ingin orang-orang membicarakan Trenggalek yang aman dan kau yang cakap sebagai penerusku. Dan kau tahu apa yang harus kau lakukan.”

“Aku tahu apa yang harus kulakukan tapi aku takut tidak bisa,” kata Subroto. “Warok Surogento terlalu sakti, bahkan jika aku membawa seluruh prajurit Trenggalek.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Membuat sayembara, bahwa siapa pun yang bisa mengalahkan Surogento, berhak meminta apapun dari Trenggalek.”

Ada dua orang yang kemudian menyambut sayembara itu. Warok Gunoseco, atas permintaan Suminten, adalah yang pertama pergi ke Gunung Pegat, membuat Warok Surogento babak belur, lantas mengusir warok itu agar pergi sejauh-jauhnya. Setelah itu, Warok Gunoseco berangkat ke kadipaten Trenggalek untuk menuntut haknya.

“Anakku sudah lama mendengar desas-desus tentang Subroto. Dan meski mereka belum pernah bertemu, namun satu-satunya yang diingini anakku di dunia ini adalah menikah dengan Subroto,” katanya kepada bupati Trenggalek.

“Kalau begitu,” kata bupati Trenggalek. “Itulah yang akan terjadi. Pulanglah dan siapkan pernikahan itu. Kami akan datang sepekan dari sekarang.”

Surogento kabur ke utara waktu itu. Dan ia dihadang oleh Warok Suromenggolo, yang marah lantaran Surogento pernah berusaha berbuat cabul terhadap anaknya, Cempluk Warsiah.

“Tapi aku belum sempat berbuat cabul kepadanya,” kata Surogento. Tubuhnya biru-biru dan linu-linu, sisa-sisa cambukan usus-usus milik Warok Gunoseco, dan itu mengikis kesombongannya, membuatnya sadar bahwa ia tidak akan menang bila mesti bertarung sekali lagi dengan seorang warok.

Dan memang begitulah kenyataannya. Ia memang belum sempat berbuat cabul. Cempluk Warsiah sedang berkasih-kasihan di tepi sebentang kali bersama Subroto ketika Surogento bertemu mereka dan bermaksud berbuat cabul. Mereka berhasil kabur meski Subroto menderita sedikit lebam dalam upaya menyelamatkan kekasihnya.

Suromenggolo tidak peduli kepada pembelaan tersebut, dan menghajar Surogento dengan usus-usus yang serupa benar dengan milik Warok Gunoseco sebab mereka saudara seperguruan, sekaligus membuat penjahat itu berjanji untuk tidak lagi berbuat onar di Trenggalek. Setelah itu, Warok Suromenggolo datang ke kadipaten Trenggalek dan berkata kepada bupati Trenggalek, “Aku berhasil mengalahkan Surogento dan membuatnya bersumpah tidak membuat onar lagi di Trenggalek.”

“Apa maksudmu? Kemarin Warok Gunoseco datang dan mengatakan hal yang sama kepadaku,” kata bupati Trenggalek.

“Maksudku adalah aku mengalahkan Surogento. Dan bila sebelumnya saudara seperguruanku berhasil mengalahkannya, itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa aku juga berhasil mengalahkan Surogento. Dan itu berarti, aku berhak menagih hadiah yang kau janjikan.”

Bupati Trenggalek mengangguk. “Ya, kau benar. Lalu apa yang kau inginkan?”

“Yang terbaik untuk kita semua. Anakku dan anakmu adalah sepasang kekasih. Aku ingin mereka menikah dan hidup bahagia selama-lamanya.”

Bupati Trenggalek menghela napas besar. Lantas membanting punggungnya di sandaran kursi. “Dua hal itu bukan sesuatu yang bisa kukabulkan. Pertama, Warok Gunoseco juga meminta agar Subroto menikahi anaknya dan aku telah menyetujuinya. Kedua, tidak ada yang bisa menjamin kebahagiaan orang lain kecuali dirinya sendiri, apalagi kebahagiaan yang berlangsung selama-lamanya. Katakan permintaan yang lain.”

 Suromenggolo menyadari posisinya tidak mudah. “Baiklah,” katanya, “aku mengerti apa yang terjadi. Maka permintaanku adalah biarkan Subroto memutuskan sendiri dengan siapa ia ingin menikah.”

Subroto memilih Cempluk Warsiah. “Aku bahkan belum pernah melihat Suminten,” kata pemuda itu. “Dan kalau pun aku sudah melihatnya, itu tidak akan mengubah fakta bahwa aku hanya ingin menikah dengan Cempluk Warsiah.”

“Kita sedang membuat perkara dengan Warok Gunoseco. Dan ia bisa lebih berbahaya ketimbang Surogento,” jawab bupati Trenggalek.

“Perkara selalu datang kepada siapa pun yang hidup,” jawab Warok Suromenggolo.

***

Pada masa-masa puncak kegilaan Suminten, orang-orang berkata kepada Warok Gunoseco. “Kau seharusnya datang untuk menggagalkan pernikahan Subroto dan Cempluk Warsiah. Kau seharusnya memerjuangkan hakmu dan kewarasan putrimu.”

“Tapi Subroto sudah memilih. Dan cinta, kupikir, tidak bisa dipaksa-paksa,” kata Warok Suromenggolo.

“Kalau begitu, kau harus menerima anakmu gila seumur hidupnya.”

Lantas pada suatu hari, Warok Gunoseco berkemas dan membawa Suminten pergi ke tempat Warok Suromenggolo. Perjalanan itu berat dan lama, sebab sepanjang perjalanan, Suminten terus berbicara tentang Subroto kepada siapa pun yang ia temui, dan berbicara kepada aneka benda mati seolah-olah mereka adalah Subroto.

Di hadapan Warok Suromenggolo, Warok Gunoseco berkata, “Lihatlah apa yang kau lakukan terhadap anakku.” Pada saat itulah Cempluk Warsiah muncul dan Suminten berteriak-teriak, “Itu ularnya. Itu ular yang membuat kami dibuang dari surga!”[]


Penulis:

DADANG ARI MURTONO, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta  Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia 2019. Buku terbarunya, Cara Kerja Ingatan, merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Saat ini tinggal di Yogyakarta dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *