Resensi Buku
Betawi Dalam Fiksi

Betawi Dalam Fiksi

Judul               : Rumah Ini Punya Siapa?
Penulis            : Fadjriah Nurdiarsih
Penerbit          : Pustaka Kaji
Terbit              : Desember 2020
Tebal              : X + 176 halaman
ISBN               : 978-602-5735-90-5

Bagaimana konfigurasi kisah lokal—utamanya terkait kebudayaan Betawi—dalam kumpulan cerpen ”Rumah Ini Punya Siapa?” dapat menawarkan sebuah daya tarik kepada pembaca dari berbagai bentuk-ragam lingkungan sosial budaya kita?

Fadjriah Nurdiarsih sebagai penulis buku ini mampu merangkul lokalitas tanpa harus meninggalkan ”kodrat” cerita yang pada dasarnya diperuntukkan kepada pembaca dalam bahasa Indonesia, bahkan ia tak melulu memakai bahasa Betawi dalam setiap rangkaian cerita gubahannya. Pun kebetawian nyaris tetap tak tercerabut dalam buku ini—tentu dengan segenap tanda-tanda yang memang sudah sengaja dirancang olehnya.

Baik secara sosial maupun agama, beserta problematika di dalamnya, sodoran primer dari 20 cerpen di buku tersebut hampir keseluruhannya membicarakan kehidupan masyarakat Betawi. Hanya terdapat beberapa cerpen yang tidak menyangkut-pautkan hal tersebut. Senyum Nyai Itih, misalnya, menceritakan tentang masa Hindia-Belanda, cerpen ini berlatar di Bandung dan sama sekali tidak menyorot kebetawian (hal. 106).

Dibuka dengan cerpen Anak-Anak Ustazah Rahma, penulis mencoba memproyeksikan kehidupan yang tak bisa lepas dari utang piutang, ketakselarasan antara mertua-menantu, serta ibu yang menjadi tulang punggung keluarga (hal. 5-8). Selain itu, di dalam cerpen ini juga tampak masih kental keagamaannya, di mana seorang ustazah yang memiliki ketaatannya dalam melaksanakan perintah tuhannya pun pada akhirnya juga menikah dengan seorang ustaz (hal. 2).

Tema serupa terdapat dalam cerpen Rumah Ini Punya Siapa?. Sama-sama membingkai kehidupan seorang perempuan (ibu) yang ditinggal suaminya dan masih harus terbebani dengan menanggug hutang yang dilakukan oleh anaknya (hal. 162).

Dalam Rumah Ini Punya Siapa?, yang juga terpilih menjadi judul buku, sangat apik menonjolkan latar Betawi. Penulis tidak serta-merta berbahasa Betawi dalam menyusun tiap-tiap kalimatnya, tetapi ia hanya menonjolkannya melalui dialog dan penyebutan nama karakter—Engkong, Emak, Baba, dan Abang, serta menyebutkan salah satu permainan tradisional, yakni ”tok kadal” (hal. 164).

Perkara yang lebih intens dari cerpen tersebut ialah perihal jual-beli tanah warisan. Problematika tersebut menimbulkan satir atas masyarakat Betawi yang mulai punah, entah karena berpindah tempat secara alami atau paksaan. Dengan demikian, tanah-tanah mereka tersebut dibangun menjadi gedung-gedung yang menjulang langit atau hanya sekadar dijual untuk melunasi hutang.

Tengoklah dalam Peristiwa di Depan Kebun Haji Salim, Balada Kampung Kami, dan Malam Lebaran. Cerpen-cerpen tersebut begitu akrab dengan tema-tema tanah warisan atau jual-beli tanah serta kelokalan dan keagamaan yang melingkupinya.

Kendatipun demikian, berlain-lain pulalah cara penulis menstrukturkan tiap-tiap cerpennya. Peristiwa di Depan Kebun Haji Salim, sebermula dikisahkan melalui kilas balik, lantas kemudian penulis berpindah ke alur maju. Ia menceritakan tentang kebun dari tokoh Haji Salim yang dijadikan indekos oleh anaknya (hal. 170). Padahal, bagi Haji Salim, kebun tersebut memberi banyak kenangan dan penghidupan sewaktu ia masih memiliki istri.

Serupa dengan Peristiwa di Depan Kebun Haji Salim, Fadjriah juga menggunakan alur kilas balik, lalu maju dalam cerpen Malam Lebaran. Cerpen ini juga mengisahkan tentang jual-beli tanah (hal. 27).

Sementara itu, dalam Balada Kampung Kami, penulis memaparkan keotoriteran orang-orang berkuasa terhadap masyarakat (hal.109). Melalui tokoh Hamdani, terlihat bagaimana Fadjriah membingkai masyarakat yang diberdaya dengan iming-iming uang sebagai gantinya. Di satu sisi tokoh Hamdani menolak lantaran uang yang diajukan tak sebanding dengan harga tanah di kampungnya, di sisi lain ia juga tidak mampu melawan karena merasa bukan siapa-siapa.

Dalam cerpen tersebut pula, ada bias-bias kelicikan yang dilakukan oleh orang yang sewenang-wenang (hal. 110), tetapi penulis tidak terlalu menampakkannya. Fadjriah memberikan ruang bagi pembaca untuk menerka-nerka sendiri apa dan bagaimana perangai orang-orang berkuasa tersebut.

Dalam ketiga cerpen tersebut, Peristiwa di Depan Kebun Haji Salim, Balada Kampung Kami, dan Malam Lebaran, penulis masih mengungkapkan kebetawian hanya melalui dialog, penyebutan nama tokoh, dan suasana yang mencerminkan masyarakat Betawi.

Selain tentang tanah warisan, kisah perempuan yang ditinggal suaminya, dan utang piutang, cerpen-cerpen lainnya mengisahkan tentang perselingkuhan dan kepelikan hubungan sepasang kekasih dan/atau sebuah rumah tangga.

Dari 20 cerpennya yang tertutur dalam ”Rumah Ini Punya Siapa?”, Fadjriah tahu kapan ia harus memulai dan mengakhiri ceritanya. Ia tak sekadar menyuguhkan akhir terbuka (open ending), melainkan juga akhir cerita yang jelas dan clear. Pun ia juga pandai menempatkan dialog-dialog kehidupan yang tak menjenuhkan.

Kendatipun tema dalam kumpulan cerpen ini mengait erat dengan kesederhanaan, tetapi ia mampu membuat istimewa melalui karakterisasi, konflik, dan struktur ceritanya, sehingga cerpen-cerpennya bisa membuat pembaca ikut menyelami kisah-kisah yang ada di dalamnya. Bahasa dan perihal yang bersinggungan dengan Betawi pun begitu rapi ia jabarkan. Semestinyalah ia tidak menggurui tentang apa itu Betawi dan masyarakatnya, melainkan ia membiarkan pembaca berkelana dan berimajinasi sendiri atasnya melalui petunjuk-petunjuk yang ia berikan. []


Penulis:

Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya atau karib disapa Jeng Kanya, di samping bekerja sebagai penulis cerpen dan novel, ia juga peneliti dalam bidang seni film dan kini menjadi tim redaksi situsweb https://monoskrin.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *