Esai
Narasi Konfrontasi Hegemoni Sori Siregar

Narasi Konfrontasi Hegemoni Sori Siregar

KESAN saya tentang Sori Siregar persis sama seperti yang dirasakan Joni Ariadinata: lembut, suka humor, tak pernah menyakiti hati orang lain. Ia sangat ramah. Ia mencipta cerpen tak semata-mata fokus pada persoalan estetika, tetapi lebih pada persoalan manusia yang menjadi obsesi cerita: sosial, kultural, dan hegemoni kekuasaan.  

Sori Siregar lahir di Medan 12 November 1939,  pernah bekerja sebagai wartawan, penyiar, dan redaktur. Lahir dari keluarga yang gemar membaca, Sori Siregar bermain drama, menulis cerpen, cerita anak, dan novel. Ia juga menerjemahkan beberapa buku. Ia pernah mengikuti International Writing Program, University of Iowa, USA, tahun 1970-1971.     

Teks sastra yang diciptakannya terkesan dekat realitas keseharian, dengan struktur narasi yang diikat kausalitas. Ia menciptakan motif-motif cerita yang dikembangkan dari persoalan kehidupan di yang dihadapinya. Kancah perhatian cerpen-cerpennya terutama pada kehidupan manusia yang memperjuangkan eksistensinya di tengah pergolakan sosial, kultural, dan himpitan kekuasaan.  

                                                  ***

Saya memilih empat cerpen Sori Siregar yang termuat dalam beberapa buku. Asumsi saya, cerpen-cerpen ini sudah melalui tahapan pemilihan editor yang sangat ketat. Tentu merupakan cerpen-cerpen terpilih. Cerpen pertama yang menarik perhatian saya adalah “Penjara”, yang termuat dalam Horison Sastra Indonesia 2, editor Taufiq Ismail.

Cerpen ini ditulis di Washington DC, berlatar dunia birokrasi sebuah kantor di negara Barat. Ia mengisahkan  belenggu hegemoni kekuasaan yang memenjarakan ruang gerak tokoh utama, dan membangkitkan konfrontasi untuk melakukan pembebasan. Sori Siregar menciptakan empat tokoh yang menolak menjadi kacung hegemoni kekuasaan. Empat tokoh itu dikucilkan, dipingggirkan. Mereka menuntut hak, menuntut janji dan martabat. Ia berempati pada kegigihan empat tokoh yang melawan hegemoni kekuasaan. Ia  telah menyingkap kepedihan luka hegemoni, dan menciptakan narasi dengan konflik perbenturan ideologi kekuasaan.

Cerpen lain “Krueng Samantoh” tercantum dalam Mata yang Indah: Cerpen Pilihan Kompas 2001. Dalam cerpen ini Sori Siregar mengisahkan tokoh Parlagutan, seorang perwira militer yang melakukan dominasi kekuasaan dengan kekuatan koersif di wilayah Krueng Samantoh: membakar kampung, memporakporandakan sekolah, menyiksa orang yang belum tentu bersalah, membunuh, meneror penduduk dengan berbagai ancaman.

Parlagutan dipecat dari dinas ketentaraan, karena mengepung desa itu dan menghujani dengan tembakan, hingga tak seorang pun lolos dari tembakan, termasuk anak-anak dan bayi. Ia diajukan di pengadilan militer, dipecat dan dijatuhi hukuman kurung satu tahun. Cerpen ini dikonstruksi dengan struktur narasi yang menyimpan teka-teki, untuk mencipta konflik batin tokoh dan melarutkan narasi dominasi kekuasaan.

Dominasi kekuasaan itu pula yang diangkat Sori Siregar dalam cerpen “Senjata” yang termuat dalam Tanah Air: Cerpen Pilihan Kompas 2016, Sori Siregar menciptakan kisah dominasi kekuasaan yang melibatkan para teroris, penjahat, yang melakukan pembantaian atau pembunuhan. Tokoh cerpen ini memutuskan untuk memiliki senjata api, untuk melindungi diri dari penjahat dan teroris. Ia menembak seorang pemegang kekuasaan yang melukai hati masyarakat dan menipu rakyat. Orang itu adalah adik kandungnya sendiri.

Sori Siregar telah menciptakan narasi konfrontasi terhadap hegemoni kekuasaan, dengan jalan melancarkan kekuatan koersif, bahkan melakukan pembunuhan. Ia menarasikan sebuah perilaku kekerasan dan terorisme yang memberi pelajaran untuk melawan hegemoni kekuasaan yang merugikan rakyat dengan kekuatan koersif yang sama kejinya.

Cerpen lain yang menarik perhatian saya adalah “Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu” yang dimuat dalam Kasur Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2017. Cerpen ini berkisah tentang konfrontasi hegemoni kekuasaan kolonial Jepang, yang dilakukan para pemuda pribumi. Gozo Yoshimasu, perwira tentara Jepang, menjadi korban pembantaian para pemuda, dibunuh dengan sangkur senapan. Begitu juga anak buah Gozo Yoshimasu, diberondong senapan di depan penduduk yang datang menonton. Dalam cerpennya, Sori Siregar menyampaikan pesan bahwa hegemoni kekuasaan, melahirkan kekuatan koersif yang tak kalah kejinya.      

                                                     ***

Pandangan Sori Siregar terhadap konfrontasi hegemoni kekuasaan berbeda-beda dalam setiap cerpen yang diciptakannya. Dari empat cerpen yang saya bicarakan dalam esai ini, terdapat empat cara penyelesaian terhadap konflik hegemoni kekuasaan. Pertama, pandangan Sori Siregar bahwa tokoh yang menciptakan hegemoni kekuasaan tetap bersikukuh dengan posisinya untuk menikmati hidupnya. Tokoh cerita terus menciptakan hegemoni kekuasaan untuk melindungi kenyamanannya.  Kedua, Sori Siregar bersikap bahwa hegemoni kekuaasaan.  memberi kesadaran pada diri tokoh. Tokoh cerita menghindari untuk melakukan kekuatan koersif, tak lagi berbuat kekerasan kemanusiaan. Ketiga, Sori Siregar menciptakan tokoh yang melakukan konfrontasi hegemoni kekuasaan dengan kekuatan koersif pembunuhan, karena mengikuti jejak kejahatan yang dilakukan masyarakat sekitarnya.  Keempat, ia menciptakan tokoh yang melakukan konfrontasi hegemoni kekuasaan dengan memilih jalan kekuatan koersif pembantaian, sekalipun sesungguhnya penyelesaian konflik bisa dicapai jalan yang damai.

Sebagai seorang pengarang yang pernah mengikuti International Writing Program Iowa University, sudah barang tentu Sori Siregar memiliki horison pemahaman estetika yang sepadan untuk membingkai tema-tema konfrontasi hegemoni kekuasaan. Dalam cerpen-cerpennya tampak bahwa ia menciptakan kisah dari saat motif, struktur narasi hingga kisah yang memikat hati pembaca. Ia menciptakan cerita tentang konfrontasi hegemoni kekuasaan dengan bahasa yang lugas dan terang, jalan cerita sederhana dan wajar. Tokoh-tokoh yang dimunculkannya pun hidup dalam realitas keseharian.

Kita  dapat belajar tentang kecintaan dan kesetiaan mencipta teks sastra dari Sori Siregar. Ia bersama Umar Kayam, Gerson Poyk, Putu Wijaya, dan Wilson Nadeak dari tahun ke tahun mempublikasikan teks sastra di antara generasi baru sastrawan yang terus bermunculan. Ia menegakkan suatu pilihan profesi, konsisten dan tekun merawat talenta kesastrawanannya. []


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan  program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.   

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *