Puisi
Puisi Alex R. Nainggolan

Puisi Alex R. Nainggolan

Tualang Silsilah

aku menggapai-gapai sejarah. pintu waktu menghukum
terkulum dalam lelah. catatan yang penuh darah
maka kupanggul semua perih. sayatan nasib yang membakar
kampung halaman. amarah yang tak pernah selesai
menggapai renyai mimpi yang terkulai
kau telah lenyap
tertipu leluhur yang lama ditelan kubur
bagaimana kucari benang ingatan, jika engkau sesungguhnya dimurka
serupa malin kundang, menunggu di pelabuhan
lepai dalam musim hujan
sempat aku ingin mencatatnya,
tapi kau terus saja tualang
hilang tanpa bekas berita
tak pulang lagi ke rumah

kini aku gemetar, menunggu lampion waktu yang baru
mengganti tahun-tahun lain yang kelak mengeras di punggungku
aku singgahi setiap jazirah, lembah, dan padang
menemukanmu. ah, apakah kesepian acap mengganggu?, lesap
dalam igau tidurmu, memberangus karat kenangan
yang telah layu dalam kubur
menampung bangkai rindu yang uzur

atau, mungkin, ada baiknya kita melupakan para tetua
yang penuh uban. pun hujan, yang tak kunjung meranggas
sebab melulu yang ngalir cuma puluhan petaka
lindap bersama kaki-kaki cuaca yang pucat

Setiap Keluh

setiap keluh, barangkali akan selesai
seperti hujan. mimpi-mimpi jadi usang
kita tak lagi sempat berdebat tentang matahari pagi
senandungmu dari dalam kamar mendadak pilu
setiap keluh, cuma jadi lipatan mimpi buruk yang rusuh
kita tak lagi punya waktu luang sekadar bercakap
tentang pekarangan di depan rumah

namun kau memilih pergi
tak bisa kurampingkan getar kenang yang menyambar
langkahmu berdetak
menjauh

walau aku tumbuh lagi
jadi lelaki
jika kau kembali

sebab, bagiku, setiap keluh akan usai
dengan sendirinya

Menggambar Jalan Pulang

kau pun mulai menggambar jalan pulang
tak ada pantai yang landai
isyarat kidung yang murung
ombak yang bengkak
tenggelamkan tiang-tiang penyanggah rumah

kau mengingatnya sebagai bencana
tangis anak-anak, suara ibu yang ketakutan,
atau kekelaman yang tak semuanya dicatat dalam layar televisi
mungkin besok pagi, orang-orang akan terbangun
lupa pada peristiwa. hanya serbuk hari yang sibuk
tergeragap melecut waktu lalu menyergap dalam rutinitas
yang hampa

di mana jalan pulang?
kau pun menggambarnya. tak ada senja yang penuh pintu
dengan kesumat piuh matahari emas. tak ada kicau burung
yang menyelinap di rapat pohon dan ilalang

cuma engkau mengigau
bertanya dalam hati, sampai kapan darah terus tumpah
di atas tanah?

Segala Silam

segala silam, pelan-pelan tumbuh dalam kepalaku
seperti barisan kafilah lelah, menyeretku dalam
pada pasir yang terik. peluh yang menetes
tak ingat pagar rumah

di situ, aku pernah terperangkap oleh
semua hal-hal cengeng. dusta, atau tangis
perempuan yang tak jadi dihapus oleh
sapu tangan hujan

segala silam, cuma jadi kenangan yang hambar
kesedihan memang selalu melecut takut
untuk tetap terjaga
sekadar membetulkan langkah kaki
esok pagi

tiba-tiba, aku ingin diam di sini
di sekap dalam rumah

Sinyal Dirimu

lantaran kangen, sinyal dirimu tiba-tiba hilang. telepon genggam tak lagi bergetar, mungkin terlalu lelah menahan sesumbar. asmara melulu meninggalkan jejaknya yang kelabu. tapi aku terus terperangkap, dalam bilik tubuhmu. menahan semua kenang yang liar. hanya mimpi-mimpi gelap, terbungkus dalam percakapan kosong. meski kuyakini, jika dirimu adalah gerhana bulan yang paling manis. kuyakini, kelak di rahimmu akan lahir anak-anak yang lucu. menggambar mimpi kita yang baru.
barangkali cinta tak cukup kuat untuk menuntaskannya. atau mungkin saja aku terlambat untuk mengunjungi tubuhmu. lalu kita begitu dangkal untuk terus menyelam, ke dalam laut yang tak punya ukuran. sinyal dirimu putus-putus sampai. tak cukup kurebahkan lelah padamu.
tapi belum terlambat. cinta kita akan kembali liat. kuat dan rekat. lantaran kangen, aku akan terus menanti kabarmu.

Mata Senja
-asrina

matanya adalah mata senja
lelakiku tertidur di situ
seperti matahari yang tersudut
di batas laut
jingga, memenuhi mulutku
dengan aroma asin pantai
ia lenyapkan kalut
segala takut yang bersungut
ditanggalkannya
seperti perlahan, ia tanggalkan
pakaianku saat rebah di ranjang impian

“kau adalah lelaki. tegarlah, biarlah aku yang berjalan di belakang,”
haruskan kutangisi semua derita yang dipikulnya
sementara terus aku lelap setiap kali
bersitatap dengan matanya
ingin bergayut padanya

Kesumat

lantas, apa namanya kota jika kita tak pernah sempat menorehkan mimpi di sana
puluhan pecundang lahir. penuh dengan kesumat
puluhan pendatang mengumpat tentang nasib yang sekarat
seperti harga yang naik
memintal lelah
pekik yang bertempik

nyatanya, kau terus hadir di sini
apa yang kau cari?
sebuah kota yang terjerembab
memikul resah di pundak setiap orang

Dusta

1.
apa yang sesungguhnya kau tawarkan?, setelah ratusan hari kenangan
jadi bangkai lalu kau menuntut untuk segera dikuburkan
cukupkah ingatan menjadi karib seluruh kesedihan
ah, aku telah dirajang dustamu
cinta yang tunduk serupa ilalang
disimpan dalam deru tangismu yang maya

2.
kau teriakkan hujan yang sesak
jatuh di seluruh pori tubuh
tapi berpuluh hari kau biarkan aku
mengurung diri sendiri dalam kamar
menahan sesak derita

3.
kau tak jadi pulang
di halaman rumah
rumput-rumput telah berbunga
menuntut janjimu untuk pulang

4.
atau, baiknya aku lupakan dirimu
sekaligus seluruh catatan yang kutulis
di malam-malam pahit
mengubur sakit?

Ujung Hujan

hujan turun membisu-bisu
meraup percakapan terakhir kita
tanpa pesan pendek, atau suaramu di pangkal
telepon seluler
aku menghitungnya, seperti sergapan jarum-jarum sedih yang lelah
air yang basah, kangen kita lungkrah dan terbelah

tak ada ceracap igau tentang mimpi malam tadi
kisah tubuhmu yang bergandengan dengan sunyi

ah, mestinya tak lekas kujerat sekarat rindu ini
sebab ciumanmu kerap gelembung
menampung kidung yang terus berkalung
di leherku

Potret Stasiun

selepas kereta, kau akan membetulkan cuaca
mengingat gegas perjalanan yang kangen hujan datang
tapi jarak selalu bentangkan ingatan ganjil
seribu derit rem kereta yang beradu rel

orang-orang mengapung
menunggu batas kota
impian, atau kenangan yang menabrak
tanpa bunyi klakson

apakah aku melulu tiba pada stasiun
saat kuingat warna kulitmu yang cokelat?


Penulis:

Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di pelbagai media dan antologi. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016). Facebook: [email protected] Alex R.  Nainggolan Email: [email protected]

1 thought on “Puisi Alex R. Nainggolan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *