Esai
Kritik Sastra: Pengantar Perbincangan Awal

Kritik Sastra: Pengantar Perbincangan Awal

/1/

Ada dua problema besar berkaitan dengan jagat kritik sastra kita. Pertama, dunia kritik sastra kita seperti “pelari maraton” yang tertinggal dibanding dengan lajunya penciptaan sastra,  kedua, “kegamangan” kritik sastra sendiri antara ilmu dan “subjektivitas”. Berkaitan dengan problem pertama, jauh-jauh hari dalam bukunya Pokok dan Tokoh II, A. Teeuw telah mensinyalir betapa terbelakangnya kritik sastra di antara pertumbuhan karya sastra yang terus bermunculan. Ketertinggalan kritik sastra disebabkan dua alasan besar, yakni miskinnya tradisi baca dan kritik dalam budaya kita dan masih mudanya usia kritik sastra.

Alasan pertama tentang miskinnya tradisi kritik dalam budaya kita sebagai salah satu alasan tertinggalnya kritik sastra kita barangkali ada benarnya, mengingat bahwa kritik sastra memang lahir dari masyarakat yang mempunyai tradisi baca yang kuat (reading society), sedang masyarakat kita masih berpijak pada tradisi lisan atau paling tidak lisan sekunder. Masyarakat yang tidak berbudaya baca dan serba tidak sabaran cuma menghasilkan kritik dan kritikus instan, yang menganggap bahwa kritik bisa dilakukan sembarangan dengan mengatakan hal-hal sembarangan dan secepat kilat.

Alasan kedua, memang fakta sejarah menunjukan bahwa istilah “kritik sastra” baru secara eksplisit dipakai dalam Majalah Pandji Poestaka yang diasuh Sutan Takdir Alisyahbana yang menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesastraan”. Dalam majalah itu pada edisi 5 Juli 1932, muncul untuk pertama kalinya istilah kritik dalam tulisan tulisan berjudul “Kritik Kesoesasteraan”*1. Meskipun demikian, jauh-jauh hari di awal abad XX sebenarnya meski sangat terbatas sudah pernah muncul tulisan yang bernada kritik meskipun masih dalam bentuk ringkas dan belum secara eksplisit memakai kata ‘kritik’*2 .

Problematika kedua berupa kegamangan kritik sastra kita antara ilmu dan subjektivitas. Hal ini tampak dengan munculnya kesan kritik sastra hanya merupakan arena tempat hantam menghantam, pukul memukul, siapa paling teliti dan rajin menunjukkan kesalahan pihak lain akan tampak paling benar, paling gagah dan paling baik. Kegamangan ini juga menampakkan kesan bahwa kritik sastra sekedar pada soal “saru” atau “tidak saru”, sopan dan tak sopan belaka. Pada sisi lain, muncul pula kritik satra yang muncul dengan gagah dengan semata-mata mengusung semangat dan teori ilmiah, dengan menggunakan tabel-tabel dan  bagan-bagan ilmiah*3, sehingga karya sastra seperti pasien operasi yang dibaringkan dimeja bedah siap disayat-sayat dengan pisau teori-teori. Padahal penulisan kritik sastra tidak saja menuntut kemampuan  analisis teoritis, tetapi juga menuntut kepekaan estetis, kesuntukan bergaul dan menggauli karya sastra serta kepekaan penghayataan sebelum sampai pada kepekaan kritis.

/2/

Karya sastra  sangat terbuka untuk menghadapi atau  berhadap-hadapaan dengan kritik karena sejak lama sastra telah dianggap sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah dan kesadaran budayaan. Sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah dan kesadaran budaya, sastra berfungsi sejarah pemikiran yang di dalamnya dapat ditemukan cara pemahaman, cara komunikasi dan cara kreasi masyarakat dan budaya beserta segenap perubahan dan permasalahan. Teks sastra sebagai objek dari sebuah kerja kritik merupakan persenyawaan antara ilmu dan seni, karena di dalamnya terdapat kisah sekaligus berita pikiran.

Kisah dan berita pikiran dalam sebuah karya sastra ini juga menuntut kritik sastra untuk secara manis menggabungkan unsur analisis, apresiasi, interpretasi, serta kepekaan estetis yang akhirnya berujung pada sebuah “penilaian”. Pada titik inilah kritik membutuhkan pendekatan dua arah. Pendekatan yang membentangkan unsur-unsur formalnya sekaligus membentangkan faktor-faktor ekstrinsik yang menyertainya. Pembentangan unsur-unsur formal itu merupakan sistem sastra mikro, sedangkan pembentangan unsur ekstrinsik merupakan sistem sastra makro. Kedua pendekatan ini secara serempak melakukan tahapan kegiatan mulai dari pemaparan, analisis, interpretasi dan penilaian.

Dalam hal ini kritik sastra dapat dianggap sebagai suatu proses pembacaan yang mumpuni. Di mana berbeda dengan seorang pengarang, seorang kritikus dituntut berbagai kebajikan dan kelihaian: cerdas, teliti, waspada, menguasai dunianya, serta pengalaman membaca yang memadai.

Kritik sastra pada dasarnya adalah penajaman dari tindak apresiasi sastra

Sebagai penajaman dari tindak apresiasi, kritik sastra mesti mendasari gagasannya pada usaha mengungkapkan nilai atas karya sastra, nilai atas peran profesional sastrawannya serta pengungkapan nilai positif dan penjelasan bagi maknanya. Dengan demikian kritik sastra yang berkualitas senantiasa menempatkan karya satra secara proporsional sekaligus mengangkatnya sebagai karya yang bermakna bagi manusia dan kemanusiaan.

Ujung dari kritik sastra adalah penilaian. Paling tidak sedikitnya ada enam kriteria yang lazim dipakai kritikus untuk sampai pada sebuah penilaian tentang sebuah karya sastra, yakni kebaruan, keterpaduan, kompleksitas, orisinalitas, kematangan, serta kedalaman atau eksploratif.

Kriteria pertama akan melihat karya satra pada dua ketegangan: konvensi atau inovasi. Pada titik ini kritik akan menyoroti bagaimana pengarang memanfaatkan “hak-hak estetika”-nya untuk menghasilkan sebuah karya. Secara ekstrim pada kriteria ini kritik akan membenturkan karya dengan sebuah pertanyaan “sampaikah proses kreatif pengarang pada sebuah pencapaian yang inovatif? Ataukah kreativitasnya “hanya” sebatas ‘biasa-biasa’ atau bahkan  sekedar “main-main” agar tampak sebagai karya avant garde?

Keterpaduan merupakan penelahan yang mencoba melihat keterpaduan unsur-unsur dalam karya sastra yang sedang ditelaah. Melihat bagaimana pengarang menjalin unsur-unsur itu menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Keterpaduan ini akan bermuara pada kompleksitas atau kerumitan. Kriteria tentang kompleksitas akan membawa kritik untuk menyoroti hubungan antara karya sastra dengan persoalan-persoalan sosio-cultural yang ditampilkannya.

Pada orisinalitas, kritik berusaha melihat karya sastra yang dihadapinya dengan karya-karya sastra sebelumnya. Bagaimanapun tidak ada karya yang benar-benar seratus persen orisinal, justru karena itu pembicaraan tentang karya seorang pengarang di tengah karya-karya pengarang lain akan menjadi sebuah kajian yang menarik. Dalam hal aspek kematangan, kritik akan berbicara mengenai bagaimana pengarang mengolah kenyataan faktual baik itu berupa persoalan besar atau biasa menjadi sesuatu yang memukau, mempesona, sekaligus merangsang emosi pembacanya. Sedangkan pada kedalaman, kritik satra mencoba melihat refleksi dari gejolak kegelisahan pengarang yang dipresentasikan dalam karyanya. Semakin karya itu memperlihatkan kedalamannya, semakin terbuka peluang lahirnya berbagai tafsiran.

Yang harus dipahami, kriteria-kriteria di atas hanyalah sekedar alat untuk menjaga “ke-objektivitasan”. Dengan kata lain, kriteria-kriteria ini menjadi parameter atas dasar objektivitas dalam proses penulisan kritik. Paling tidak, dengan alat bantu berupa kriteria-kriteria ini seorang kritikus mempunyai panduan atau landasan yang beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan.

/3/

Kenyatan empiris zaman kini telah merontokan dikotomi-dikotomi lama yang sudah mapan. Tidak ada lagi dikotomi yang kelewat kaku semisal fakta versus fiktif, intuisi versus kognisi, teks sastra versus filsafat, imajinasi versus persepsi, dan sebagainya. Kenyataan ini membawa kritik kepada persoalan-persoalan yang lebih besar lagi. Kritik membuka peluang untuk mengkaji teks sastra dalam dimensi yang lebih melebar, munculah kritik sastra yang mengaitkan karya sastra cultural studies, arkeologi pengetahuan, postkolonialisne, antropologi budaya dan sebagainya. Di sisi lain semarak pula “ragam” kritik semisal: kritik jurnalistik dan kritik polemik. Kenyataan semacam ini membuka peluang sumua orang dapat menjadi kritikus tentu dengan sebuah konsekuensi makin banyaknya kekayaan intelektual yang harus dimiliki.

Kritik sastra juga tidak saja dibutuhkan dan ditujukan untuk karya-karya sastra baru. Karya-karya baru memang memerlukan sebuah kritik karena mungkin dapat membawa semangat, aspirasi atau inspirasi baru yang perlu dipahami pembaca. Sastra-satra lama juga tetap membutuhkan kritik. Dalam hal ini kritik baru tentang karya sastra yang “lama” dapat membuka kemungkinan penemuan baru, penafsiran ulang, atau pemahaman baru terhadap karya lama. Selain itu berhadapan dengan karya sastra yang “lama”,  kritik sastra akan mengemban tugas alamiahnya yakni menjembatani pembaca (dalam hal ini generasi “baru”) dengan karya sastra lama sekaligus menciptakan ikatan dengan masa lalu.  Tentu saja dalam interpretasi baru, serta penyajian yang cocok dengan pembaca “baru” itu. []


1 Selanjutnya dalam edisi November 1932 —-Maret 1933, dimuat pula berturut-turut tulisan STA “Menoedjoe Kesoesteraan Baroe” yang pertama kali mencoba berbicara secara teoritis menolak style dan bahasa klise dalam sastra tradisional sambil mengajukan cirri-ciri sastra Indonesia modern.  Kemudian pada majalah Pojengga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang kritik atau pembahasan sastra mulai banyak bermunculan,  tulisan-tulisan kritik itu antara lain membahas karya Armijn Pane dan Amir Hamzah.

2 Komentar-komentar RM. Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1911) dan Poetri Hindia (1908-1911) merupakan upaya menulis kritik meskipun tidak atau belum berangkat dari sebuah teori kesastraan.

3 Tulisan  model Umar Yunus mewakili bentu kritik semacam ini. Subagio Sastrawardoyo almarhum, menyebutkan bahwa Umar Yunus terlamapu melandaskan kritiknya pada asas linguistic, sehingga kritiknya terlampau kering. Skripsi-skripsi mahasiswa jurusan satra atau pendidikan banyak pula yang “tersesat” dengan gagah membeberkan teori tetapi minim pergaulan dan penghayatan terhadap tek yang dibahas.


Penulis:

Tjahjono Widijanto. Penyair Nasional dan Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya a.l: Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpula Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011), Penakwil Sunyi di Jalan-jalan Api (2018), Wangsit Langit (2015), Janturan (Juni, 2011), Cakil (2014), , Menulis Sastra Siapa Takut? (2014),, Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Kepustakaan Populer Gramedian dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010), , Compassion & Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009), dll..

Diundang dalam berbagai acara sastra, a.l:, Cakrawala Sastra Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta,2004), memberikan ceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan  (Juni, 2009), Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival  2009), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), dll. Memperoleh Penghargaan Sastra Pendidik dari Badan Pusat Bahasa (2011), Penghargaan Seniman (Sastrawan) Gubernur Jawa Timur (2014) dan Penghargaan Sutasoma (Balai Bahasa Jawa Timur, 2019)

Memenangkan berbagai sayembara menulis a.l: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2004), , Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010), Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009), Pemenang II Sayembara Esai Sastra Korea (2009), dll. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur. Hp: 082143785362; 08155615593

1 thought on “Kritik Sastra: Pengantar Perbincangan Awal

    • Author gravatar

      Esai informatif yang menarik. Sayang sekali kita tidak dapat memperoleh sumber rujukan yang dipakai. Ada kesan penulis “sengaja” menyembunyikan—atau menenggelamkan—rujukan lain—nama lain yang justru tampak benar digunakannya sebagai sumber primer!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *