Cerpen
Tasbih Kayu Santeki

Tasbih Kayu Santeki

“ILMU agama yang paling tinggi adalah akhlak, karena nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak. Setinggi apa pun ilmu yang kamu miliki, tak akan berarti tak ada akhlak dalam diri. Ingat!” Pesan itu kembali terngiang di kepala selepas sepasang kaki saya turun dari bis.

Arloji di pergelangan kiri menunjukkan pukul lima lewat dua puluh enam menit. Saya memastikan tak ada barang yang tercecer sebelum meninggalkan terminal. Terbentang suasana tanah kelahiran di kelopak mata mereka. Saya hirup pelan desau angin yang terasa asin. Masih belum terkira betapa pagi ini saya menghirup aroma tanah kelahiran. Tak terasa enam tahun berlalu begitu cepat di penjara suci.

Seorang lelaki mendekat. Langkahnya tergesa-gesa. Senyumnya semringah. Memori saya terhempas pada enam tahun sebelumnya; lelaki dekil—kini sudah kelihatan tambun—berkulit hitam yang biasa menjemput saya sepulang mengaji di langgar. Lelaki yang kerap menemani saya keliling pantai. Lelaki yang kerap membantu saya mencari kerang. Lelaki yang menaiki nyiur bila saya kehausan. Jenggotnya masih seperti dulu. Panjang namun memutih. Kulitnya mengeriput kendati otot-ototnya masih kekar.

Saya meraih tangannya seraya menundukkan kepala.
“Ayo, Cong! Ibumu sudah tak sabar menunggu kamu pulang,” kata paman.

“Jangan terburu-buru, Man. Saya masih haus. Itu, ada es degan. Kita ke sana, biar Paman tidak usah manjat pohon kelapa,” canda saya.

“Pi’i masih ingat saja.” Kami tertawa sembari melangkah mendekati penjual es degan.

Nama asli saya Syafi’i. paman Mustapa seenaknya saja memanggil saya dengan panggilan Pi’i yang kemudian diikuti oleh teman-teman dan tetangga sekampung.

Usai tunaikan rasa haus, paman Mustapa memacu motor sedangkan saya membonceng di belakang. Desau angin seperti mengabarkan ada pesan rindu yang membara. Pantai, pasir, buih, ombak, bakau, pohon kelapa, semua menyambut. Perahu-perahu membujur seurut laut. Tambak garam terbentang. Batu karang berjejal di bibir pantai. Mengingatkan saya pada Taris, perempuan yang sering main nikah-nikahan dengan saya di bibir pantai Pasongsongan.

Pepohonan siwalan berdiri kokoh dengan dedaunan yang menjuntai. Buahnya yang kenyal dan manis membuat kerongkongan saya dikerontangi dahaga. Motor paman Mustapa membelah jalan kecil, menerobos gang sempit, dan melintasi tanean lanjeng Aroma kotoran sapi menguak dari kandang. Di bawah pohon siwalan, di antara kandang-kandang itu saya tumbuh menjadi bocah desa yang lepas dan bebas.

Ayah memang menekuni bisnis ikan, tetapi rumah kami cukup jauh dari laut. Awalnya keluarga kami tinggal di tepi pantai. Sepeninggal nenek, mereka pindah ke rumah yang sekarang kami tempati—rumah kakek dan nenek—sementara rumah yang lama ayah tukar dengan gudang ikan.

“Cong Pi’i sudah kelas berapa?”

Saya tersenyum.
“Saya hanya pendidikan muallimin, Man.”

“Sudah bisa membaca kitab, ya?”

“Bisa paman. Kitab. K-i-t-a-b.”

“Kalah hanya begitu, saya juga bisa” kami tertawa.

“Nanti saja paman, ceritanya. Kita sudah sampai.”

Ibu menyambut dengan muka berkaca-kaca. Sampir motif cengkeh dijinjing setinggi lutut. Saya jatuh di pelukannya. Pada dinding rumah, ada potret usang kakek dan nenek di pigura terpisah. Pada dinding yang lain, terpajang potret kenangan bersama Haji Husen bersama kuda yang saya tumpangi kala pertama kali khatam Al-Quran. Guru ngaji yang tidak hanya mengajarkan alif, ba, ta, tsa sampai fasih, melainkan juga banyak mengajarkan bagaimana memaknai setiap napas kehidupan. Haji Husen yang sederhana, sabar, dan istikamah dalam beribadah.

“Beliau sudah meninggal sebulan lalu. Tak ada yang menyangka karena beliau sehat-sehat saja. Jumat depan 40 harinya,” tukas Ibu. Seketika ada yang nyeri di ulu hati.

Saya tak menimpali apa yang dikatakan Ibu. Ada air yang jatuh dari kelopak mata. Kematian memang rahasia Allah. Makhluk mana yang tahu kapan ajal akan menjemput. Hari ini, besok, atau hari berikutnya. Kematian seperti permainan petak umpet antara Tuhan dengan hamba-Nya.


Malam hampir memasuki waktu Isya ketika tahlilan hari ke-40 Haji Husen dimulai. Rasa tak percaya masih menyelimuti perasaan. Beberapa pelayat tidak saya kenal. Barangkali kerabat jauh. Barangkali pula saya sudah lupa beberapa wajah dan nama-nama mereka. Mereka duduk khusyuk dan khidmat. Beralas tikar dari rajutan daun siwalan.

Saya tidak segera beranjak usai tahlilan. Bersila dan bertutur sapa dengan pelayat lain. Kami duduk di langkan langgar. Memerhatikan tiap sudut dan pilarnya. Tempat ini benar-benar sudah tua. Jaring laba-laba bergelantungan di langit-langit. Sebagian kayu plafon tampak lapuk. Tabing bagian bawah tampak keropos. Hanya keempat pilarnya yang masih tampak kokoh. Entah dari kayu apa. Rayap seakan tak mau memakannya.

Depan pengimaman ditumbuhi rumpun bambu berduri yang menudung atap langgar. Konon, rumpun bambu itu sengaja ditanam sebagai pelindung agar langgar dari tak terlihat di kejauhan oleh penjajah. Dulu, penjajah kerap membakar masjid atau langgar karena dianggap sarang gerilyawan, katanya.

Sayup-sayup terdengar suara azan. Suara itu mengingatkan saya dan teman-teman yang sering berlomba mengumandangkan azan. Setelah itu, gema selawat nariyah lepas. Meliuk-liuk di langit cakrawala. Biasanya Haji Husen berdiri di halaman, memantau para santri sebelum mengimami salat. Ia biasanya mengenakan songkok putih alias songkok haji. Kain serban melilit bahu, tasbih diputar, dan diselingi batuk-batuk kecil.

Entah kenapa saya merasa Haji Husen masih ada di sini dan saya sebagai bocah kecil yang terlahir kembali.


Haji Husen pernah bekerja untuk ayah. Ia menjadi pengangkut ikan yang siap dipasok ke Surabaya. Ayah menitipkan saya kepadanya. Bila sudah dewasa saya harus menjadi imam atau pemimpin yang baik, harapnya.

Angin berdesir pelan. Beberapa daun bambu kering jatuh di halaman langgar. Serangga-serangga kecil berputar-putar mengelilingi dop 5 watt. Cicak siap menangkap serangga yang lengah.

Hajjah Rukiyah mengantarkan tamunya sampai di depan pintu. Tampak perempuan paruh baya itu mengernyitkan dahi melihat saya berdiri takzim di depan langgar. Lalu ia melambaikan tangan, memberi isyarat agar saya mendekat. Ia menyilakan saya masuk.

“Pi’i kapan datang?”

“Minggu kemarin, Bu Haji. Saya turut berduka cita. Maaf, saya baru tahu kemarin kalau Pak Haji sudah wafat.”

“Tak apa. Semua manusia pasti mati, entah kapan.”

“Sebenarnya saya membawakan tasbih baru untuk Pak Haji. Dulu beliau pernah titip tasbih kayu santeki pada saya. Tasbih ini sebenarnya sebagai oleh-oleh untuk Pak Haji, sebelum saya tahu beliau sudah meninggal. Mohon diterima.”

Hajjah Rukiyah menerima dengan kelopak berkaca-kaca. Seketika sebuah cerita yang cukup panjang mengalir. Seolah terbang dengan sejuta nostalgia. Nadanya lirih nan tenang. Kadang suara itu menjadi serak. Kadang pula ditebus dengan air mata. Perempuan itu menggunduli masa lalu. Malam itu saya seperti baru sempurna mengenal sosok Haji Husen.

Satu hal yang membuat hati terasa lega; surau itu masih hidup. Anak-anak masih tetap mengaji. Hajjah Rukiyah yang meneruskan. Dibantu anaknya, Taris—seperti apa gerangan gadis yang sering saya nikahi itu? Hajjah Rukiyah juga menunjuk santrinya yang dianggap senior secara bergantian menjadi imam salat. Tentu santri-santri tersebut dibekali dulu bagaimana cara menjadi imam salat yang baik dan benar.

“Sebelum meninggal, Abah sempat menyatakan ingin memberikan tasbihnya untukmu, karena kamu katanya akan membawakan tasbih yang baru. Taris! Ambilkan tasbih Abahmu.”

Taris membawa seutas tasbih. Saya tercekat. Gadis yang sering saya nikahi di bebatuan karang itu kini tumbuh menjadi gadis yang anggun. Banyak perubahan darinya. Matanya serupa langit berbintang. Kulitnya yang dulu hitam legam kini jadi kuning langsat. Saya perhatikan saksama tasbih yang dibawanya. Tasbih kayu santeki.

“Ini. Ambillah.”

“Saya tak pantas memegangnya. Biar saja disimpan di sini.”

“Tasbih ini wasiat Abah. Barangkali ada sesuatu yang ingin Abah sampaikan kepadamu.”
Tasbih itu melingkar seperti anak ular yang terpisah dari induknya. Pesan apa yang hendak disampaikan?

“Seandainya perempuan bisa menjadi imam bagi laki-laki, tentu saya sendiri yang menjadi imam, pengganti Abah.”

Saya diam. Merenungi sebuah pesan yang hendak disampaikan Haji Husen melalui tasbihnya.
“Cong, sering-seringkah ke sini. Ajari anak-anak mengaji. Syukur-syukur bisa menjadi imam di langgar ini. Bukan begitu Taris?” Taris tak menjawab.

Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah di balik hijabnya. Seketika saya tercekat oleh satire itu.
Malam larut tanpa sepotong rembulan. Pelepah siwalan melambai pelan. Saya undur diri. Hajjah Rukiyah dan Taris mengantar sampai halaman. Dua senyum beda generasi terkembang sempurna menunggu saya sampai hilang di balik gelap.

Saya petik satu per satu tasih itu. Tasbih Dalam gelap nan senyap hati turut bertasbih; Apakah kau mau saya nikahi sekali lagi? Sekali dalam seumur hidup.[]

~Jember, Oktober 2020.


Penulis:
Fandrik Ahmad, cerpenis sekaligus jurnalis. Menulis cerita di sejumlah media nasional. Buku terbarunya Lelaki Ketujuh (Bukuinti, 2021). Kini bermukim di Jember, Jawa Timur. Telp: 082331021747.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *