Cerpen
Laki-Laki Koin

Laki-Laki Koin

AKU punya kebiasaan menyimak betul-betul apa saja yang diucapkan orang-orang dengan wajah ditumbuhi berewok. Sekalipun yang keluar dari mulut mereka rupanya cuma omong kosong, aku bakal tetap bersenang hati menyimaknya. Selalu. Apalagi kalau orang-orang berewokan ini memanjangkan rambut mereka juga, kesungguhanku dalam menyimak akan berlipat dengan sendirinya.

Orang-orang ini, buatku, punya daya tarik yang ganjil—yang tidak bisa aku gambarkan bagaimana jelasnya, nanti kalau sudah ketemu kata-kata yang tepat akan aku jelaskan benar-benar buatmu. Aku curiga kesanku terhadap mereka ini bermula dari kesenanganku memandangi gambar-gambar di buku mata pelajaran sejarah waktu sekolah dulu. Tapi jangan keburu salah menyangka, sebagai pelajar normal yang tahu betul dirinya sehat-sehat saja, sudah tentu aku tidak menyukai mata pelajaran satu ini. Sumpah, aku yakin mata pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah menengah pasti ada hubungannya dengan obsesi abadi para guru untuk menjinakkan gejolak puber kami, para siswa, yang waktu itu tentu sedang lincah-lincahnya. Maksudku, mata pelajaran sialan ini nyaris tidak pernah gagal bikin aku lemas menahan kantuk. Aku yakin dalam kasusmu juga begitu—ya, kurang lebihlah. Tapi, untungnya memandangi gambar-gambar pada buku-bukunya aku selalu senang.

Suatu kali, waktu Pak Sobari sedang mengoceh soal keseharian masyarakat Romawi Kuno, aku melihat gambar ini tertera pada buku: gambar koin usang yang sudah rompal sana-sini dengan ukiran wajah seorang laki-laki berewokan di salah satu sisinya. Laki-laki ini tengah menghadap kanan kalau tidak salah, dan mengenakan ikat kepala, atau mahkota berdaun, atau apalah sebutannya aku tidak tahu. Nama laki-laki ini aku tidak ingat, tapi kata Pak Sobari, si laki-laki koin ini pada masanya adalah salah seorang dari segelintir kaisar yang dianggap baik, baik yang seperti apa aku kurang paham, aku yakin Pak Sobari juga tidak tahu sebetulnya kaisar yang satu ini baiknya baik yang seperti apa. Ya, tidak bisa disalahkan juga, dia cuma membaca teks yang tertera pada buku.

Tapi, kupikir, kalau kita sampai jadi kaisar lalu kita dikenang baik, jumlah pengikut kita saat berkuasa pastilah ramai sekali. Jadi, sambil pura-pura menyimak ocehan Pak Sobari, aku bayangkan laki-laki koin ini sedang bersiap memberikan pidato di hadapan ribuan atau jutaan rakyatnya itu. Dia melangkah perlahan menuju mimbar yang dibuat tinggi-tinggi; sebelum berhenti sebentar, lalu membelai-belai berewoknya sambil memandang serius ke horison: di depannya, hadirin tumpah tidak habis-habis. Di koin itu, orang ini memang digambarkan seolah sedang menatap tegas pada sesuatu, dan waktu kucermati sekali lagi, sumpah, dia seperti punya pancaran impresi yang keren sekali, semacam impresi yang cuma keluar dari orang-orang bermental tangguh. Kau boleh buktikan sendiri.

Itu pidato yang cukup menyedihkan sebetulnya, soal harga-harga kebutuhan pokok yang akan naik lagi bulan depan. Gandum naik sekian; minyak zaitun naik sekian; telur, keju, madu, sekian, sekian, sekian. Nongkrong-nongkrong malam hari tidak lagi dianjurkan. Masyarakat diimbau menyumbangkan sisa tenaganya ke tambang-tambang logam sehabis menjalankan profesi harian masing-masing. Kekaisaran butuh lebih banyak logam untuk keperluan perang, masih banyak negeri yang belum ditaklukkan. Jadi, bertahanlah, kekaisaran juga sedang mengusahakan paceklik cepat berakhir. Berhentilah mengeluh selayaknya manusia Romawi tulen.

Orang-orang menyambut penutup pidato ini dengan sorak-sorai penyemangat, beberapa malah tersedu-sedu sambil bertepuk tangan. Aku bengong, semua tampak percaya kaisar bekerja siang-malam demi harga diri Romawi. Betul-betul pemimpin yang bisa diandalkan; tegas seperti Kapolri, seseorang bilang. Pokoknya tidak bercelah, sambung yang lain. Aku bingung, tapi semangatku malah ikut-ikutan terpompa; pantat puberku waktu itu memang mudah bergetar mendengar jargon-jargon soal harga diri dan cinta tanah air. Aku pun jadi terikut bersorak, aku tidak bohong. Aku kagum betul dengan isi kepalaku sendiri.

Ya, kira-kira sesepele itulah. Dari situ rasanya aku mulai sering memberikan perhatian tidak beres kepada orang-orang berewokan ini. Tidak beres, itu istilah pacarku, aku cuma mengiyakan saja, tidak mau urusanku tambah runyam. Dia masih sering kesal karena dulu pernah kutinggalkan di toilet sebuah bioskop. Malas sekali menceritakannya panjang-panjang, yang jelas saat di toilet itu, dia mengira aku masih antre membeli tiket film cinta-cintaan yang maksudnya bakal kami tonton berdua, padahal yang terjadi sebetulnya, saat itu aku malah tengah menyabotase agenda rekreasi kami dengan bergegas sendirian menuju salah satu teater bioskop itu demi menonton film tentang seorang paman yang menyetir semalaman menuju klinik tempat selingkuhannya melahirkan. Sumpah, aku nekat meninggalkan pacarku di toilet setelah tidak sengaja melihat poster film itu saat sedang mengantre. Di poster tersebut, paman ini berewoknya keren sekali. Sudah, segitu saja, aku yakin kau tahu betul perkara kusut macam apa yang menungguku setelah itu.

Aku punya seabrek pengalaman lain yang jauh lebih menarik soal orang-orang berewokan ini—kalau kau memang menganggapnya menarik. Aku pernah melewatkan ujian tengah semester sebuah mata kuliah demi menyaksikan bapak tua dengan berewok ala Rhoma Irama sedang memukuli istri ketiganya. Kali lain, aku hampir ikut ajakan enam bulan berkelana dari masjid ke masjid di India-Pakistan-Bangladesh, setelah terkagum-kagum mendengar bunyi bahasa aneh yang diucapkan seorang jamaah dengan berewok yang bauknya memanjang sampai ke dada, di masjid yang kebetulan kusinggahi akibat terjebak hujan. Pernah juga aku nyaris kena tempeleng karena disangka sedang memelototi dada istri seseorang, padahal waktu itu aku sedang takjub memandangi berewok orang tersebut, yang saking kacaunya, bergoyang-goyang heboh setiap kali dia bicara. Tapi yang paling ingin kuceritakan kepadamu adalah pengalamanku satu ini. Tidak tahu kenapa, cuma rasanya dorongan buat menceritakannya semakin kuat akhir-akhir ini.


Aku mengenal Uwak sejak keluargaku pindah ke kompleks yang kami tinggali sekarang. Uwak tetangga pertama yang datang berkunjung, membawakan bubur sumsum yang enak sekali buat aku dan kakakku. Aku baru tamat SD waktu itu. Saat kami pindah, Uwak sudah enam tahun menjanda, menghidupi dua anaknya yang masih sekolah dengan berkeliling kompleks menjajakan bubur sumsum dan es mambo, sementara anaknya yang tertua baru setahun ikut orang berdagang sandal di Tangerang. Sejak itu, aku jadi sering memaksa jajan bubur sumsum Uwak kepada ibuku. Di hari minggu, Uwak tidak pergi berkeliling, tapi tetap menerima pembelian bubur dan es di rumahnya. Maka setiap akhir pekan, sebelum pergi main ke rumah teman, aku hampir selalu menyempatkan jajan bubur dulu di rumah Uwak.

Suatu hari, anak tertua Uwak mengirimi adik-adiknya seperangkat konsol PlayStation 2, dan mulai waktu itu rutinitas hari mingguku ikut berubah: pagi-pagi aku akan ke rumah Uwak, bersama anak-anak tetangga lain, untuk jajan bubur sumsum sambil menonton anak kedua Uwak bermain Grand Theft Auto: San Anderas sampai siang—yang kadang-kadang, kalau beruntung, aku dan anak-anak lain bisa kejatuhan giliran main juga. Sementara anak terakhir Uwak, perempuan seumuranku, kelihatannya tidak sedikit pun menaruh minat pada kiriman kakaknya itu.

Aku tidak begitu mengenal anak kedua Uwak ini selain sebatas tahu kalau dia dipanggil Endik dan sudah SMA, dan saat aku SMA dia sudah tamat dan merantau ke Bangka, cuma itu. Aku lebih mengenal anak bungsunya karena kami sempat satu sekolah saat SMP.

Tahun lalu, waktu aku sudah kuliah di Indralaya, tanpa kabar lebih dulu, anak kedua Uwak mendadak pulang dari perantauannya, lalu mengunci diri sepanjang minggu. Seminggu kemudian, dia mulai kerap berteriak-teriak tanpa ada yang tahu alasannya. Di minggu ketiga, dia melempari sekelompok pemuda yang bermain gitar di ujung gang dengan batu-batu sekepalan tangan orang dewasa. Di minggu keempat, dia nyaris membacok tukang bakso yang melintas di depan rumahnya. Di minggu kelima, dia dibawa ke rumah sakit jiwa untuk diperiksa kewarasannya. Di minggu keenam, dia kabur dari rumah sakit jiwa dan diam-diam kembali ke rumahnya. Di minggu ketujuh, dia mengancam akan membunuh anak tetangga yang sedang bernyanyi di kamar mandi. Di minggu kedelapan, dia menyepak kepala adiknya sampai membentur tembok ruang tamu, lagi-lagi tanpa ada yang tahu penyebabnya. Di minggu kesembilan, sekelompok bapak-bapak dan pemuda-pemuda gang, dengan persetujuan Uwak dan Pak RT, memutuskan menyergapnya saat dia sedang tidur, lalu memasungnya dengan dua balok kayu berat di rumahnya agar tidak kembali meresahkan warga. Sepupuku ikut dalam kelompok warga yang menyergapnya malam itu. Dia bilang, sebelum disergap untuk dipasung, dia menyaksikan sendiri bagaimana anak kedua Uwak ini tetap menggenggam erat sebilah belati sekalipun dalam tidurnya.

“Untungnya aku sempat pakai penutup muka,” kata sepupuku. “Bayangkan kalau di kemudian hari, tahu-tahu belatinya menancap di punggungmu karena dia ingat rupamu malam itu.”

Aku baru tahu masalah ini waktu libur lebaran sebulan kemudian. Di malam takbiran, aku mendengar teriakan mengumpat-umpat bersahut-sahutan dengan gema takbir dari masjid kompleks. Ibu yang menyadari keherananku buru-buru menjelaskan. “Teriakan si Endik, anak Uwak,” katanya. Aku sekadar mengangguk. Ya, kupikir ribut-ribut keluarga biasa.

Esoknya, seperti kebanyakan orang di hari lebaran, aku ikut bertandang ke rumah-rumah tetangga, termasuk rumah Uwak. Kuputuskan pergi duluan tanpa keluargaku karena siangnya keburu ada janji dengan seorang teman. Waktu aku datang, Uwak menggosok-gosok kepalaku seperti kebiasaannya dulu. Aku langsung menanyakan bubur sumsum, dan dia tertawa dan bilang kalau tidak ada bubur sumsum kali ini, sebagai gantinya, aku boleh puas-puas menikmati kue bolu yang sudah dia siapkan buat para tamu. Aku agak kecewa sebetulnya, tapi bisa mengerti. Sejak rematik memaksanya banyak istirahat, Uwak memang tidak lagi berjualan bubur sumsum dan es mambo. Dia sekeluarga kini sepenuhnya mengandalkan uang bulanan kiriman anak tertuanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Uwak banyak bertanya tentang kuliahku—yang coba kujawab sebaik-baiknya lewat penjelasan sesingkat-singkatnya. Dan waktu itulah, dari arah belakang, terdengar lagi umpatan yang juga kudengar saat orang-orang sedang takbiran itu, lalu disusul tangisan anak bungsu Uwak yang mengomel kalau dia tidak tahan lagi dan ingin menyusul kakaknya saja ke Tangerang. Tidak tahan terhadap apa, aku juga bertanya-tanya. Saat anak bungsu Uwak menyadari keberadaanku, dia mendadak diam dan berlari ke kamarnya. Uwak buru-buru menjelaskan, tapi sepatah-sepatah, sebelum memintaku menunggu, lalu masuk menyusul putrinya.

Di situasi canggung semacam itu, kebanyakan orang akan pamit untuk membiarkan keadaan tenang dengan sendirinya, tapi tentu saja aku bukan orang-orang itu. Aku penasaran setengah mati sampai nekat ke belakang, ke ruangan yang dulunya separuh tempat memasak separuh tempat mencuci itu. Dan di sanalah, kutemukan si laki-laki koin, yang dulu cuma bisa kulihat di buku mata pelajaran sejarah, kini nyata dalam wujud manusianya: dengan kaki terpasung, berkubang ompol, di atas tikar di rumah Uwak.

Aku termenung. Sumpah, persis sekali, berberewok persis si laki-laki koin. Hanya tanpa ikat kepala, atau mahkota berdaun, atau apalah itu namanya. Aku langsung mengambil posisi bersila di hadapannya sambil mengeluarkan rokok dan menyulut sebatang. Waktu kugeret pemantik, dia tiba-tiba menatapku. Sejak aku masuk, dia cuma bergumam tidak jelas tanpa menatapku. Kini kami bertatapan langsung. Aku mengangguk dan menarik sebatang lagi. Kuselipkan ke bibirnya sambil menghindari kubangan ompol, lalu kusulut dengan pemantik, sebelum kembali bersila. Dia meraba rokok pemberianku lalu mulai mengisap-embuskan asapnya lambat-lambat. Kuisap juga rokokku, kuembuskan lambat-lambat. Lama kami dalam posisi seperti itu, sebelum dia mendadak bergumam, lalu bilang sesuatu:

“Bangsat,” katanya, lalu lanjut mengisap.

Aku cepat mengangguk, “Betul,” jawabku. “Bangsat.”

Ada sepiring nasi dan segelas air di dekat kami. Kuduga tadinya dia sedang disuapi adiknya sebelum mulai mengumpat dan mengompol. Aku refleks menyendok, lalu menyorongkannya. Dia menarik rokok dan membuka mulut, menyambut suapanku.

“Bangsat,” katanya sambil mengunyah.

“Memang bangsat,” jawabku.

Uwak kaget sekali waktu mendapatiku sedang menyuapi anaknya. Dia mengaku telah mondar-mandir mencariku sejak tadi.
“Tenang, Wak, biar aku yang handle,” aku bilang begitu kepada Uwak. Handle, bukan tangani atau apalah. Handle, dalam bahasa Inggris. Aku pakai istilah intelek untuk menyesuaikan situasi, di dekatku ada si laki-laki koin, orator ulung dari Romawi.

Waktu ibuku menelepon untuk memberitahu kalau temanku sudah datang, nasi di piring tinggal sesendok. Aku dan si laki-laki koin masing-masing telah menghabiskan dua batang rokok. Sebelum berpisah, kuselipkan sebatang lagi yang sudah kusulut ke bibirnya.

“Bosmen. Kupanggil kau Bosmen ya,” kataku. “Bosmen, aku pergi dulu. Besok kukunjungi lagi.”

Aku menjabat tangannya, lalu pergi menemui temanku.
Malamnya, aku sulit tidur, memikirkan Bosmen. Meski lebih banyak diam, rasanya seperti kami sudah berbincang banyak sekali. Berdiskusi soal macam-macam. Maka, esoknya sampai hari terakhir libur, aku selalu datang mengunjungi Bosmen. Kebanyakan merokok bersama sambil menyuapinya makan. Sekali-sekali aku bercerita soal pacarku. Tanggapan Bosmen tetap sama: bergumam lalu memaki.


Libur semester setelahnya, aku kembali menemui Bosmen. Kondisinya sedikit lebih baik; balok kayu tidak lagi memasung pergelangan kakinya. Orang-orang dari Dinas Sosial mengetahui keadaan Bosmen, dan bilang kalau apa yang ditimpakan kepada Bosmen ini tidaklah manusiawi, tapi cukup bisa diterima kalau sekadar dirantai besi. Maka esoknya rantai besi yang ditambatkan ke tiang ruangan mulai menggantikan balok kayu di kaki Bosmen. Ini memungkinkannya berjalan-jalan, meski sebatas jangkauan rantai. Satu lagi yang membuatku bersemangat adalah rambut Bosmen jauh lebih panjang ketimbang sebelumnya.

Kami, seperti biasa, menghabiskan hari-hari dengan merokok bersama. Aku bercerita kepada Bosmen soal rencanaku menyambi jadi ojol mulai semester depan.

“Bagaimana menurutmu?” tanyaku.

Dia mengembuskan asap rokoknya pelan sekali.
“Biadab,” dia bilang.

Kuartikan ini sebagai persetujuannya.
Tapi sial sekali, aku mesti mengakhiri liburan kali ini lebih cepat dari biasanya. Ada persyaratan yang harus segera kulengkapi agar beasiswaku tidak dicabut pihak kampus. Mengetahui itu, Uwak memintaku membantunya memangkas rambut gondrong dan berewok semarak Bosmen dulu sebelum aku kembali ke Indralaya. Aku terus terang sangat berberat hati, tapi merasa tidak enak kalau menolak. Mata Uwak sudah kurang awas—sebelumnya, dia nyaris memotong telinga Bosmen waktu coba-coba memangkas rambutnya. Sementara putrinya tidak lagi sudi bahkan untuk dekat-dekat kakaknya itu. Jadi, pilihan yang tersisa cuma aku. Kuputuskan menerima permintaan ini dengan persyaratan yang kubuat sendiri dan kuajukan kepada diri sendiri, bahwa: apapun penilaian Uwak, aku akan meninggalkan berewok Bosmen apa adanya dan cuma akan memangkas rambutnya dengan gaya sesukaku. Kucari contoh paling mantap di internet. David Beckham di urutan pertama.

“Kau kenal dia, Bosmen?” tanyaku. “Tentu kau kenal, orang tangguh tentu mengenali sesama orang tangguh.”

Aku tenggelam dalam tugasku sebagai penata rambut mendadak sembari menguliahi Bosmen tentang Hukum Gossen I.
“Tahu tidak? Orang-orang bisa saja terus mengonsumsi suatu jenis barang sampai mampus sebelum mencapai sebuah fase bernama titik kejemuan” jelasku. “Jadi, selama orang-orang belum jemu, kau masih mungkin mengeruk kantung-kantung mereka sampai mereka kere. Hahahaha.”

Setelah tugasku beres, segera kusadari kalau potongan rambut Bosmen ribuan tahun cahaya dari potongan rambut David Beckham.


Semester itu semester paling kacau. Sepanjang empat bulan aku mempertanyakan apa gunanya buatku terus-terusan duduk di bangku kelas. Menarik ojek jauh lebih punya faedah. Tapi waktu kudapati nilai semesteranku satu pun tidak ada yang beres, rasanya panik setengah mati juga. Kali ini beasiswaku terancam betulan dicabut. Jadi terpaksa kumulai libur semester dengan perasaan kusut semacam itu.

Aku sedang mengusir mual sehabis perjalanan dengan teh panas buatan ibu waktu Uwak tiba-tiba datang memintaku membujuk Bosmen agar mau mengisi perutnya. Sudah berhari-hari dia menolak makan. Aku menoleh kepada ibu, dari rautnya aku tahu dia kurang berkenan. Aku baru saja sampai ke rumah, belum cukup beristirahat, lalu harus buru-buru menyuapi makan orang tidak waras, mungkin begitu pikiran ibu. Tapi aku berangkat juga mengikuti Uwak. Bosmen, si laki-laki koin, perlu pertolongan.

Kondisi Bosmen jauh memburuk. Balok kayu kembali memasung pergelangan kakinya. Waktu aku masuk, dia gelisah dan terus-terusan mengoceh dalam bahasa ciptaannya sendiri, dan setiap beberapa saat, seperti hendak menangis. Dia Bosmen, tapi bukan Bosmen yang kutahu. Tubuhnya jauh lebih kurus, dan buruknya lagi: kepalanya luka lecet, nyaris botak, serta berewoknya hilang. Hilang!

“Apa yang terjadi, Bung?” tanyaku.

Dua bulan sebelumnya, Bosmen mendadak kumat. Kini yang diancam akan dibunuhnya bukan lagi para tetangga, tapi Uwak dan adiknya sendiri. Dia mengamuk dan menghancurkan banyak perabot. Jadi, tidak ada pilihan bagi Uwak selain kembali memasung Bosmen dan cepat-cepat mengirim anak bungsunya ke Tangerang. Sekitar seminggu sebelum aku pulang, salah seorang paman Bosmen mampir dari Mukomuko, dan segera saja memutuskan memangkas habis rambut serta berewok Bosmen. Tapi tidak tanpa perlawanan. Butuh lima jam serta bantuan tujuh orang tetangga untuk merampungkannya.

Masih terkejut, aku membuka lebar-lebar pintu belakang ruangan itu. Sinar petang menyentak masuk. Aku berjongkok. Tidak peduli berapa lama aku memandanginya, dia memang bukan lagi Bosmen yang dulu, ada yang hilang dan rasanya tidak akan balik lagi: laki-laki koin yang pernah lekat dengannya kini raib sepenuhnya.

Aku menyulut rokok—kalau bingung begini, aku memang suka tiba-tiba menyulut rokok. Bosmen melihatku dan memberikan tanda dalam raut mau menangis kalau dia ingin sebatang juga. Tapi aku diam saja.

Kutaruh rokokku di asbak untuk bangkit mengambil nasi yang sudah disiapkan Uwak, sebelum menyodorkan sesendok ke mulut Bosmen. Tapi Bosmen menangkisnya sampai sendok terlempar dari tanganku. Dia tetap meminta rokok.

Kuambil sendok tadi, kukembalikan ke piring.
“Kau ingat Hukum Gossen I, Bosmen?” tanyaku sambil kembali membuka bungkus rokok. Kutarik sebatang. “Rokok ini barangnya. Dan kau, Bosmen, kau calon konsumen.”

Kuangkat sebatang tadi. Bosmen menggapai-gapai hendak meraihnya.
“Masalahnya adalah,” aku melanjutkan. “Masalahnya aku ragu kalau yang namanya titik kejemuan itu memang benar-benar ada. Nol besar, Bosmen. Maya belaka. Seperti kau tidak akan ada jemunya merokok.”

Lalu kuselentikkan sebatang tadi ke dekat kakinya. Dia menggapai-gapai tapi tidak terjangkau, bergumam, lalu menggapai-gapai lagi. Aku tidak yakin mengapa aku memperlakukan Bosmen seperti itu. Kuduga aku kesal karena laki-laki koin sudah lenyap darinya.

Aku menyendok lagi, kini kudorong paksa ke dalam mulutnya. Dan Bosmen menyambut, tapi lantas menyemburkan seluruhnya ke mukaku.
Dia terkekeh. Aku tersulut.

“Monyet!” makiku. “Kau pikir kau siapa, heh!? Anjing!”
Kusepak ujung balok pemasung Bosmen. Pletak! Goblok sekali. Mendadak terasa jempol kakiku seperti habis diinjak seisi Mako Brimob, ngilu minta ampun. Tapi itu bukan soal. Masalahnya, tendanganku tadi mengenai gembok balok pemasung Bosmen, yang entah karena terus-terusan terkena ompolnya atau bagaimana, rupanya sudah dol kaitan penguncinya.

Menyaksikan gembok terlepas, kami berdua bengong. Bosmen yang pertama bereaksi, cepat-cepat dibukanya apitan balok pemasung. Dia itu belum makan berhari-hari, tapi entah dari mana sumber kekuatannya, aku saksikan sendiri dia mengangkat balok kayu yang aku yakin beratnya minta ampun itu dalam sekali angkatan.

Kini dia berdiri tepat di hadapanku. Kakinya bergoyang gemetar. Aku cuma bisa melongok dan menelan ludah, mataku terus mengekor gerak-geriknya. Bosmen berjongkok dan meraih sebatang rokok yang tadi kuselentikkan dekat kakinya.

“Monyet,” katanya. Dia terkekeh, lalu beranjak ke pintu belakang yang terbuka lebar-lebar.
Hal pertama yang kusadari setelah itu adalah Bosmen sudah tidak ketahuan lagi di mana rimbanya. Orang-orang sibuk bertanya kepadaku di mana dia, mengapa dia bisa lari, atau bagaimana kalau dia tiba-tiba membacok orang dalam pelariannya. Aku, terus terang saja, tidak lagi peduli dengan orang-orang ini.


Subuh esoknya, mayat Bosmen ditemukan mengambang di bekas kolam ikan milik salah seorang warga. Aku tidak merasa sedih atau bersalah atau apalah waktu mendengar berita ini. Hanya teringat lagak Bosmen sebelum kabur petang itu. Seolah jagoan di film-film koboi, dia berhenti sebentar di ambang pintu, mengapit rokok yang belum menyala di celah bibirnya, lalu mengedip ke arahku, sebelum berlari menerobos semak mawar yang sempat ditanam adiknya menjelang berangkat ke Tangerang. Pemandangan terapik yang pernah kusaksikan. Atau? Aku hanya membayangkannya saja?[]


Okta Saputra.
Lahir di Lahat. Penonton Inter.Twitter: @saputraokta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *