Resensi Buku
Mengusir Gulma, Menumbuhkan Keadilan

Mengusir Gulma, Menumbuhkan Keadilan

Judul               : Tahun Penuh Gulma
Penulis            : Siddhartha Sarma
Penerjemah    : Barokah Ruziati
Penerbit         : Marjin Kiri
Terbit              : Desember 2020
Tebal               : vi + 248 halaman
ISBN               : 978-602-07-0788-10-4

Konflik agraria masih menjadi persoalan yang jamak didapati negara-negara Dunia Ketiga. Di dalam negeri sendiri, sengkarut antara masyarakat, tanah yang mereka tinggali, dan pemerintah atau perusahaan tertentu lebih sering menuai keuntungan sebelah pihak saja. Dalam kasus-kasus yang kita dapati selama ini, pihak masyarakat sekitar justru yang lebih sering memperolah kerugian. Keadilan atas jati diri dan ruang hidup mereka kerap kali tak terpenuhi. Imbasnya, selain menelan kerugian materil yang tak sedikit, mereka juga diminta angkat kaki. Sungguh jarang konflik agraria yang menguntungkan kedua belah pihak.

Potret itu tidak terjadi di satu negara atau tempat saja. Di negara berpenduduk kedua terbesar di dunia, India, konflik agraria juga berlangsung sama peliknya. Kepelikan itulah yang lantas diangkat oleh novelis cum jurnalis Siddhartha Sarma dalam novelnya, “Tahun Penuh Gulma”. Terbit kali pertama dalam bahasa Inggris dengan judul “Year of the Weeds” pada tahun 2018, novel ini langsung menyita banyak perhatian publik. Dianggap mengangkat persoalan serius yang tak kunjung usai, satu tahun kemudian ia meraih penghargaan Neev Book Award 2019 untuk kategori Young Adults.

Penyematan penghargaan itu tentu bukannya tanpa alasan. Penyelenggara Neev Book Award tahu diri dengan tidak memilih para kandidatnya secara sembarangan. Yang menjadi pertimbangan mereka tidak saja kualitas kepengarangan si penulisnya, tetapi juga menimbang, apakah novel ini penting untuk dibaca berbagai kalangan? Tentu, hal-hal seperti ini bisa saja diperdebatkan. Namun, yang pasti, kalau kita melihat salah satu indikasi bahwa karya yang baik adalah yang dapat membangun kesadaran, novel ini dengan gagahnya akan mengajukan dirinya.

Bukan hal lain, isu paling dominan yang ditawarkan “Tahun Penuh Gulma” adalah konflik agraria. Lebih spesifik lagi, persoalan tersebut melibatkan masyarakat adat suku Gondi di negara bagian Odisha, India. Sama seperti kebanyakan masyarakat adat di daerah lain, suku Gondi mempunyai sejarah yang panjang dengan tanah, hutan, dan perbukitan di sekitar mereka. Menahun mereka tinggal di sana, beruntut dari generasi ke generasi. Mereka mungkin tampak tertinggal dan jauh dari peradaban modern. Namun, mereka toh tak begitu mempersoalkan itu. Hal utama yang penting bagi mereka, sekaligus yang dijaga selama bertahun-tahun adalah ruang hidup mereka. Menjaga ruang hidup sama dengan menjaga identitas mereka. Dan, mereka tidak ingin diganggu, sehingga kehidupan mereka tetap bisa berjalan sebagaimana biasanya.

Sayangnya, ketenangan itu tidak selamanya berumur panjang. Pada suatu hari yang terik, sekelompok orang mendatangi desa suku Gondi. Mereka jelas orang-orang proyek, sebab di beberapa tempat mereka melakukan pengakuran dengan alat-alat sipil yang kelihatan asing. Sejak saat itu, maksud kedatangan mereka pun menyebar seperti jamur di musim penghujan, kabar itu tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di telinga para penduduk suku Gondi. Disebutkan, akan dilakukan penambangan material bauksitdi bukit Devi, sehingga seluruh penduduk yang tinggal di daerah itu diharuskan untuk pindah ke daerah lain.

Korok, anak laki-laki suku Gondi, tadinya tidak begitu mengerti soal kabar itu. Kenapa kami harus pindah? Bukankah bukit dan tanah ini adalah tempat tinggal kami? Begitu kira-kira isi kebingungannya. Terutama terkait dengan perbukitan Devi, tempat itu lebih-lebih sangat berarti bagi Korok dan penduduk desa. Perbukitan Devi tidak seperti hutan-hutan lainnya. Suku Gondi sendiri yang merawat bukit tersebut, sebab bagi mereka tempat itu keramat. Demikianlah selalu sejak dulu (Hal. 19). Jelas, mereka tidak menginginkan pemerintah dan perusahaan untuk menambang di perbukitan itu.

Nilai perbukitan Devi bukan semata gundukan tanah yang berperan menyediakan sebagian kebutuhan mereka. Lebih dari itu, bukit itu adalah dewi suku Gondi di sini. Mereka percaya itulah sebabnya ada begitu banyak tanaman obat di tubuhnya. Itu sebabnya hanal kot (nisan batu yang diletakkan ketika ada orang yang meninggal)di sini adalah yang terpenting bagi banyak suku Gondi di seluruh distrik (Hal. 31). Oleh karena itu, perbukitan Devi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Adapun bagi bocah bernama Korok itu, bukit itu penting tidak saja lantaran hanal kot ibunya tertanam di sana, tetapi bukit itu juga menyediakan bermacam-macam tanaman obat yang ia kembangbiakan. Ya, Korok adalah tukang kebun di sebuah rumah pejabat kehutanan, dan tugasnya adalah merawat banyak tanaman obat guna kepentingan penelitian. Dan, tentu, kabar itu menggelisahkannya. Ia khawatir akan nasib bukit itu. Ia khawatir akan keberlangsungan kehidupan warga dan tanaman di bukit itu. Namun, apa yang bisa dilakukan bocah buta huruf yang hanya paham soal tanaman seperti dirinya?

Upaya Memberantas Gulma
Banyak. Korok nyatanya berperan banyak dalam perjuangan suku Gondi. Namun, Korok tidak berjuang seorang diri. Malahan, semua penduduk suku Gondi berjuang mempertahankan tanah mereka. Di samping itu, anak perempuan pejabat kehutanan yang menjadi majikannya juga berdiri sisinya. Anak itu bernama Anchita, sosoknya berani dan berpengetahuan luas. Anchita pulalah yang kali pertama memberitahu betapa ganasnya perusahaan yang akan menggelar tambang di perbukitan Devi. Katanya: “… perusahaan-perusahaan seperti ini, mereka seperti gulma. Kita tidak bisa menghentikannya kalau mereka mau mengambil alih. Mereka kompak, penuh tekad, sangat kuat, dan punya banyak uang, kata ayahku. Kalau mereka menginginkan petak bunga atau desamu atau bukitmu, mereka akan mendapatkannya. Pemerintah akan memaksamu pindah, dan memberikan tanahnya pada mereka. Ini sudah terjadi di tempat lain juga.” (Hal. 49)

Kendati begitu, mereka tidak kehilangan harapan sama sekali. Di antara masyarakat suku Gondi, terdapat pemuda paling berpendidikan bernama Jadob. Pemuda inilah yang menjadi sosok yang mengorganisir perlawanan dalam memperjuangkan keadilan masyarakat suku Gondi. Upaya itu tentu tidak selamanya mulus, setelah mereka melakukan demo besar-besar untuk menolak pembukaan tambang, isu ini lantas meluas dan menjadi permasalahan yang ramai mengundang perhatian berbagai pihak. Sayangnya, citra mereka sebagai pihak yang dirugikan, tidak melulu menerbitkan bantuan dari pihak-pihak tadi.

Usaha mereka pun menjadi tampak lebih sukar lagi, sebab “semua orang hanya melihat peluang dan kesempatan untuk memanfaatkan suku Gondi. Polisi melihat suku Gondi sebagai orang-orang yang bisa ditahan untuk kejahatan yang tidak mereka lakukan. Perusahaan melihat logam di bawah tanah mereka. Pemerintah melihat uang. Bahkan Kawan Merah melihat, dalam diri suku Gondi, kesempatan untuk memerangi pemerintah dan mendorong rakyat mengangkat senjata. Politisi melihat kesempatan untuk tampil di berita. Dan pemerintah serta perusahaan akan terus kembali, lagi dan lagi, sampai suku Gondi lenyap (Hal. 216).”

Sama seperti sifat gulma yang mengganggu dan merusak, pihak perusahaan dan pemerintah justru menghadirkan nestapa bagi masyarakat suku Gondi. Mereka sepenuhnya melihat suku Gondi sebagai sekelompok orang tak penting yang bisa didepak dari tanahnya. Kebobrokan sistem juga seolah menyokong mereka, dari mulai polisi dan pejabat yang korup sampai peraturan yang bisa dengan mudah diputar-balik. Dari situ, potret perjuangan suku Gondi adalah sebaik-baiknya gambaran banyak suku atau kelompok masyarakat lain yang memiliki konflik agraria, tanpa terkecuali di Indonesia sendiri.

Diceritakan dengan bahasa yang sederhana, bahkan mengisyaratkan kepolosan (seperti karakter Korok), “Tahun Penuh Gulma”jelas ditulis dengan kesadaran bahwa karya ini dimaksudknya supaya bisa diterima oleh berbagai kalangan. Tentu, sasaran utamanya adalah pembaca muda, yakni usia remaja sampai yang hendak menginjak dewasa. Hal ini bukannya tanpa pertimbangan, sebab penulisnya sendiri, Siddhartha Sarma, ingin mereka memiliki kesadaran kritis atas fenomena kemanusiaan yang masih eksis di mana-mana itu. Ya, ini misi yang agak muluk sebenarnya. Namun, nyatanya Tahun Penuh Gulma bisa menyampaikannya dengan halus, tanpa paksaan, dan tidak terkesan menggurui. Selain itu, pemilihan tokoh Korok sebagai figur kunci perjuangan masyarakat suku Gondi, bagaimanapun, bisa dipandang upaya penulisnya untuk menumbuhkan harapan. Bahwa sebesar apa pun konflik (agraria) yang terjadi di sekitar kita, sikap diam bukanlah pilihan yang tepat. Dari situ, bolehlah kita berharap akan lebih banyaknya pihak yang punya kesadaran dan sikap kritis seperti yang Korok lakukan.


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *