Resensi Buku
Film: Sejarah dan Kekuasaan

Film: Sejarah dan Kekuasaan

Judul Buku : Bersekutu: Film, Majalah, Buku
Penulis : Bandung Mawardi
Penerbit : Bilik Literasi & Kembang Gula
Cetakan : Pertama, 2021
Tebal : 128 Halaman
ISBN : 978-623-7848-38-7

Indonesia ketiban film sejak dulu. Bentangan sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan oleh faktor film-isasi. Kegairahan berfilm digembar-gemborkan beriringan dengan tutuntan zaman. Zaman-zaman awal kemerdekaan film-film berhamburan memenuhi bioskop-bioskop Indonesia. Film pun diharapkan mampu membentuk kepribadian dan cara pandang masyarakat mengenai politik, sejarah, dan budaya.

Mengingat film mengingat buku. Buku-buku yang membahas perfilman di Indonesia terus tercetak demi memenuhi keingintahuan dan membangkitkan daya intelektualitas perfilman di Indonesia. Judul-judul terus tercetak melalui pelbagai tema baik dari sistem, teori, sampai proses produksi film. Salah satu buku mengenai seluk beluk perfilman tertuang dalam buku baru bertajuk Bersekutu: Film, Majalah, Buku (2021) garapan Bandung Mawardi (BM). Dalam buku ini BM memaparkan cara lain untuk mengenal perfilman di Indonesia. BM melakukan pelacakan dan mengejawantahkan dalam sebuah kumpulan tulisan (esai) yang terangkum dalam 23 (duapuluh tiga) esai mengenai perfilam Indonesia dengan rujukan majalah lawas, buku lawas, brosur, dan poster yang tersiar di pelbagai media (cetak).

Kegiatan mengkliping dan mendokumentasikan riwayat panjang sineas di Indonesia menghasilkan buku dengan tebal 128 halaman. Proses penulisan buku diawali dengan niat keisengan dan kengawuran. Hal itu diakuinya lewat kata persembahan di buku, kita simak “penulis tak mengerti film, iseng saja masuk ke film dengan kengawuran dan penasaran. Penasaran dan keisengan dibarengi dengan menonton film, dan membaca buku yang bertautan dengan film”. Keisengan yang berfaedah.

Esai-esai mengenai perfilman ini menyoal banyak hal yakni sejarah, identitas, budaya, percaturan politik, dan bahasa. Riwayat panjang film di Indonesia bertautan dengan kegairahan mencipta film yang beririsan dengan semangat nasionalisme dan kepribadian bangsa.

Konstelasi penggarapan film dengan dalih nasionalisme tertuang dalam esai “Zaman Bioskop”. Esai memaparkan, dorongan memproduksi film bertemakan nasionalisme turut serta didukung oleh Soekarno dengan pernyataan untuk memenuhi keprbadian nasional. Dibarengi dengan latar zaman Indonesia sedang mencari identitas dan jati diri sebagai sebuah bangsa, dan negara, yang dibarengi dengan beragam persoalan pelik yang menimpa. Di lain hal, benturan ideologi didalam kritik perfilman kemudian muncul dan memanas yang mempersoalkan laba, dan kemutuan film di tahun 1950an.

Dobrakan lain muncul dengan membawa wajah dan perspektif baru dalam film. Dalam hal ini, muncul film yang berlawanan arah dengan rilisnya film Darah dan Doa, dan Lewat Djam Malam (1954) digawangi Usmar Ismail sebagai pembuat film (sutradara), yang kemudian disematkan sebagai bapak perfilman Indonesia. Dobrakan lewat film garapan Usmar ini diselingi kritik bias yang berkaitan dengan kritik ideologi, militerisme dan alur pesan yang disampaikan. BM mengamati bahwasanya dalam film Darah dan Doa, lajur film memang menjelmakan corak idealisme tapi menimbulkan nalar sensor politis. Di lain hal kelangsungan film ini kemudian melahirkan resepsi dan represi dari para elit politik, tokoh, penonton maupun dari para sineas lainya. Di film Lewat Djam Malam garapan Usmar Ismail yang lain, menyuguhkan cerita pelik dengan bingkisan yang kompleks yakni, korupsi, pengkhianatan perjuangan, dan idealisme yang dicampakan. Di tahun awal kemunculan, film ini diganjar penghargaan sebagai film terbaik pada ajang Film Festival Indonesia (FFI) tahun 1955. Di abad XXI film pun mendapat kesempatan khusus tampil diajang Internasional. Dalam laporan majalah Tempo bertajuk Djam Malam yang Cemerlang film ini mendapat penghormatan di Prancis setelah direstorasi di Negeri seberang (Italia). Film diputar dalam Festival Film Cannes, dan masuk dalam kategori Cannes Classic—program pemutaran film-film klasik (Tempo, 3 Juni 2012).

Film dan Pengekal Kekuasaan
Peralihan kekuasaan dipicu oleh geger politik yang panas nan mendebarkan. Persoalan politik yang pelik menimbulkan wacana publik dari dulu hingga sekarang. Pada akhirnya negara mendapat pemimpin baru—saat itu—yang kemudian disebut sebagai rezim Orde Baru (Orba). Misi-misi lain kemudian muncul lewat muslihat rezim kala itu. Rangkaian kebijakan dikeluarkan atas nama ideologi (baca; Pancasila). Kebijakan demi kebijakan terlontar yang menjamah beragam sektor kehidupan warga negara baik dari pangan, bacaan, budaya, dan tak ketinggalan film.

Film-film di masa itu memuat banyak bingkisan atau pesanan dari penguasa Orde Baru yang tak lain untuk meninabobokan imajinasi perfilman Indonesia dengan nalar kritisnya. Kata-kata “kontrol”, “perintah”, dan “pengamanan” melahirkan seteru. Kita simak dalam esai, imajinasi disebarkan atas nama “perintah” dan hiburan. Dominasi film-film yang diawasi pemerintah. Lagi dan lagi, pengontrolan itu dilabeli atas nama ideologisasi.

Ingatan lekas membekas tatkala kita menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984) garapan Arifin C. Noer. Proses pelanggengan kekuasaan Orde Baru merambah dalam gagasan produk budaya: film dan novel. Dalam esainya “1965: Menonton Film dan Membaca Buku”, BM memaparkan narasi sejarah yang bertautan dengan pembuatan film yang memperlihatkan geliat politik diperalihan tampuk kekuasaan. Esai memberikan konsep, gambaran, dan narasi sejarah bersumber buku yang bertalian dengan pembuatan film. Kehendak yang musti dijalankan atas nama penghormatan dan melanggengkan ingatan politik dijalankan begitu masif.

Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film” garapan Wijaya Herlambang, mendedah seluk beluk dan pandanganya dalam film G 30 S PKI sebagai bagian dari proses legitimasi kekuasaan yang merupakan citra dan produk Orde Baru yang sangat kentara. Menurut Wijaya Herlambang justifikasi atas kekerasan yang ditampilkan dalam film—yang diputar setiap tahun baik di sekolah dan lapangan—pada akhirnya merupakan pengekalan atas praktik kekerasan itu sendiri. Pendulangan gagasan yang berasaskan ideologi pun melahirkan wacana publik di kemudian hari. Kritik bermunculan dari pelbagai elemen baik dari sejarawan, kaum politik, dan seniman.

Film lumrah terjamah bagi khalayak namun luput dalam bacaan. BM dalam esainya, pengekalan ingatan atas prahara politik tahun 1965 dipengaruhi pula oleh terbitan buku dengan judul yang sama “Pengkhianatan G 30 S/PKI” garapan Arswendo Atmowiloto. Kebijakan pemerintah mendompleng pada gerakan bacaan. Pemerintah berdalih bahwa membaca buku bakal membuka segala fakta sejarah dan menghasilkan konklusi. Harapan pemerintah menghasilkan celaan dan dampratan dari pelbagai kalangan. BM menuturkan “pemufakatan sejarah dibentuk melalui pikat pengisahan dan sajian data-data sepihak tanpa harus mengadakan perbandingan tafsir-argumentatif”. Film menjadi meduim beragam kepentingan. Film bisa dijadikan media hiburan di tengah kepenatan dan bisa menjadi mata pisau yang mematikan yakni; lahan pengontrolan masyarakat dengan menjerumuskan dan mendangkalkan nalar imajinatif-kritis. Pada akhirnya rangkaian konstelasi sineas di Indonesia melahirkan sejarah dan tak jarang melahirkan sengkarut karena dorongan dan ambisi kekuasaan.


Oscar Maulana. Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. Bergiat di Komunitas Serambi Kata Solo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *