Cerpen
Biografi Kepergian

Biografi Kepergian

Mulanya ia memanggil-manggil namaku tanpa henti. Suaranya terdengar begitu dekat, tapi ia tidak kunjung menemukan keberadaanku. Aku hanya mengatakan, “Saya berada di sini, di kamar bla…bla…”. Aku tidak menyelipkan pertanyaan, terkait siapa dirinya. Seorang perempuan yang terbaring tidak jauh dari tempatku berada dan juga senasib denganku—terinfeksi virus korona—bertanya, “Ada apa, Mas?”. Aku menjawab, kalau aku tidak tahu orang yang memanggilku memiliki tujuan apa. Ia malah terheran-heran dan bertanya, “Orang memanggil? Saya tidak mendengar apa-apa.”

Setelah bermenit-menit, mulutku terus berucap kalau aku di kamar anu, orang yang terus memanggil namaku datan—kepada perempuan itu aku bersikeras jika aku mendengarnya. Tidak pernah kuduga, kalau orang yang datang akan berpakaian seputih yang kulihat sekarang, dan tampak begitu rapi—seakan-akan disetrika berkali-kali. Wajahnya begitu tampan. Awalnya aku mengira kalau ia dokter, tetapi setelah kutunggu-tunggu ia tidak kunjung memeriksaku, atau menanyakan keadaanku. Dan kemudian aku baru sadar orang itu tidak mengenakan pakaian hazmat. Apakah ia tidak takut tertular virus korona? Apakah ia sudah merasa kuat? Seharusnya ia bercermin terhadap keadaan di luar sana, banyak orang mengabaikan protokol kesehatan, bahkan ada yang tidak mempercayai adanya virus korona, dan pada akhirnya mati.
Orang itu memperkenalkan dirinya, dan aku sangat terkejut sekali.

“Tuhan telah menghendaki dirimu pulang,” kata orang itu. “Maka dari itu, segeralah mempersiapkan diri. Sebentar lagi kita akan berangkat, aku akan membimbingmu, jalan mana saja yang harus kamu lalui, sebelum menghadap pada-Nya.”

Orang itu adalah malaikat, dan aku tidak berprasangka kalau ia hanyalah berbohong atau bercanda. Nada bicaranya begitu lembut di telingaku. Aku tidak merasa khawatir karena berhadapan dengan malaikat. Meski ia sudah mengaku jika ia malaikat, aku masih merasa ia hanyalah manusia.

“Aku masih kuat menghadapi virus yang menguasai saluran pernapasanku, apa alasan Tuhan menyuruhku pulang? Aku ingin sembuh. Lagi pula, masih ada yang harus kuperjuangkan. Anak-anakku. Mereka sangat membutuhkanku. Tidak ada siapa-siapa di sisinya, selain aku. Aku yakin kau tahu, kalau nyawa ibu dari anak-anakku kau ambil lima tahun yang lalu.”

“Ingat, kau punya penyakit lain. Itulah kenapa kau harus pulang sekarang. Dari Tuhan aku tahu, kalau hari-harimu dihiasi dengan beribadah. Mulai dari lima waktu, sedekah, hingga amalan-amalan sunah kau kerjakan. Tuhan mungkin tidak ingin amalanmu yang kau kumpulkan selama ini berujung pada kesia-siaan. Tuhan mungkin tidak ingin melihatmu lalai menyebut nama-Nya dalam setiap waktumu…”

“Apakah kau tidak bisa menyampaikan permohonanku pada Tuhan untuk menunda mencabut nyawaku? Aku berjanji tidak akan nyeleweng dari apa yang sudah kulakukan di hari-hariku. Bukan aku tidak rela, aku pulang sekarang. Tapi aku ingat dengan anak-anakku. Tidak bisakah kau menyampaikannya?”

“Itu tidak mungkin. Kau seharusnya paham, Tuhan itu jelas-jelas melebihi raja. Jika ia sudah berkehendak, tidak akan bisa dicabut. Kalau setiap kehendaknya bisa dicabut, berarti Tuhan itu plin-plan. Kalau plin-plan, berarti Tuhan itu memiliki kelemahan.”

Akhirnya kuturuti perkataan malaikat itu. Aku beranjak dari terbaringku. Orang itu masih menungguku; siap untuk melangkah. Aku menoleh ke arah ranjang. Tampak jasadku yang terbaring. Meski masker menutupi mulutnya, tetapi aku bisa merasakan kalau ia sedang tersenyum dan bahagia. Pejam matanya menyiratkan ketenangan. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang yang paling beruntung. Pergi menghadap Tuhan tidak dalam kesesatan.

Aku berharap, setelah kabar kepergianku sampai pada anak-anakku, ia bisa segera mengikhlaskan. Aku tidak ingin menjelang perjalanan pulang kepada Tuhan, diliputi gelisah, karena mereka terus mengharapkanku kembali. Aku yakin, keikhlasan akan menguatkan mereka, sehingga hari-hari ke depan mereka tetap dijalani dengan penuh semangat. Aku berharap, amalan-amalan baik yang kuajarkan pada mereka terus dilakukan, meski tanpa diriku di sisinya.

Kami pun melangkah menuju pintu keluar. Di luar, orang-orang berpakaian hazmat berseliweran. Melihat mereka, aku jadi ingat dengan seorang perawat yang merawatku. Di tengah-tengah ia merawatku, ia sedikit mencurahkan isi hatinya.

“Yang membuat saya bertahan, saya selalu ingat dengan kata-kata almarhum ayah saya. Bila di depan kita telah tersedia jalan untuk melakukan hal yang baik, maka jangan pernah sia-siakan, karena tidak setiap orang bisa memperoleh kesempatan itu,” kata perawat itu. “Ya, meski hati saya tidak bisa dibohongi ingin lepas saja profesi saya, tetapi saya juga berpikir, jika saya pergi, saya telah menyia-nyiakan kesempatan. Lagi pula, ayah saya telah mengorbankan segalanyanya agar cita-cita saya menjadi perawat tercapai.”

“Kalau Anda tahu, sudah empat bulan saya tidak pulang. Saya punya anak, masih kecil. Selama saya di sini, ia bersama ayahnya dan mertua saya. Saya berkomunikasi dengan mereka menggunakan video call. Anak saya sering menangis. Kalau boleh jujur, saya tidak tega melihat anak saya menangis. Anda bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang anak kecil tidak bertemu ibunya selama empat bulan?”

Tangis perawat itu pecah. Kucoba untuk menguatkannya. Pakaian yang begitu rapat ia kenakan, membuatnya tidak bisa mengusap air mata. Namun, sebenarnya bukan semata-mata karena pakaian. Pantang bagi perawat dan dokter mengusap wajah mereka menggunakan tangan, sebelum tangan dibersihkan. Hal itu dilakukan tak lain untuk mengurangi risiko penyebaran virus korona. Begitu besar pengorbanan tenaga medis. Aku tidak bisa membayangkan informasi yang kudengar, kalau para tenaga medis menggunakan pakaian hazmat selama kurang lebih delapan jam.

“Kami para tenaga medis hanya ingin satu hal, masyarakat terbuka hatinya, sehingga mereka menuruti apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah. Rasa-rasanya percuma kami bekerja siang dan malam, sementara masyarakat abai dengan protokol kesehatan dan malah berkeliaran ke sana-sini. Lebih parah lagi ada yang tidak percaya dengan adanya korona. Belum lagi, kami masih harus cercaan-cercaan sana-sini. Ada yang bilang kami tidak becus bekerja, ada yang bilang kami ini hanya mencari keuntungan di tengah kesulitan, ada yang bahkan bersorak saat ada tenaga medis meninggal dunia. Mungkin pada saatnya nanti, kami akan kalah.” Nada bicara di akhir ujarannya, lesu.

“Cabutlah kata-kata Anda yang terakhir itu,” ucapku. Kata-kata itu kurasa mempunyai kesan negatif, dan itu seharusnya tidak diucapkannya. Kata-kata negatif itu bisa melemahkan si perawat. “Sekali lagi, cabutlah. Berdoa saja, semoga wabah ini cepat diangkat oleh Tuhan. Atau kalau tidak, berdoalah, supaya tenaga medis segera mendapatkan kemenangan. Percaya sama saya, ada hal baik yang disiapkan oleh Tuhan dengan adanya semua ini.”

Orang itu mengajakku lebih cepat berjalan, tetapi justru aku malah berhenti. Segerombolan orang berlari, ke arahku. Mereka menabrak, aku tidak jatuh. Jelas, aku yang sekarang tidak lain nyawa. Mereka itu…. Mereka kerabat keluargaku. Wajah mereka seperti diliputi kemarahan. Saat mereka berlalu, aku tetap mengikuti mereka meski hanya dengan pandangan saja. Mereka masuk ke dalam ruangan di mana jasadku kini mungkin akan dikeluarkan—aku berdiri dengan jarak relatif tidak jauh dari pintu masuk itu. Aku tidak habis pikir, secepat inikah mereka mengetahui kepergianku? Darimana tahu?

Sekitar sebulan yang lalu, telah viral di media sosial dan berita televisi, mengenai pengambilan paksa jenazah korona oleh keluarganya. Pada pengambilan paksa itu sempat terjadi percekcokan bahkan bentrokan antara pihak keluarga dengan tenaga medis. Pihak keluarga bersikeras jika pengurusan jenazah harus dilakukan oleh mereka, dengan dalih halitu merupakan kewajibannya. Selain itu ada yang berkata kalau rumah sakit dianggap lamban dalam menangani jenazah. Ada juga yang berkata kalau virus sudah mati karena inang tidak bernyawa, jadi virus tidak mungkin menyebar. Mereka berhasil mengambil dengan paksa jenazah. Membawa keluar jenazah tanpa peti dari sebuah ruangan.

Keesokan harinya, beberapa anggota keluarga si jenazah terpapar virus korona. Mereka kembali viral. Teringat dengan hal itu, aku menjadi mengkhawatirkan keluargaku. Kepergianku telah menggiring mereka ke ambang petaka. Semasa masih hidup, di kalangan keluargaku, aku dikenal sebagai orang yang suka membantu apa saja kesulitan mereka. Akibatnya mereka menaruh perhatian lebih padaku. Dan alangkah wajar, jika sekarang mereka ingin mengurusku.

Keluargaku keluar dari ruangan. Mereka membawa jasadku. Agaknya peristiwa yang viral itu akan terulang lagi. Aku tidak tenang, kepergianku benar-benar telah menggiring mereka ke ambang petaka. Aku membayangkan mereka semua terkena virus korona. Hari berikutnya setelah hari pemakaman jasadku, mereka mengalami gejala yang mengindikasikan terinfeksi korona. Mereka semua masuk rumah sakit, lalu meninggal bersama. Sembari menunggu jelang kiamat, dengan alam yang telah berganti, mereka menemuiku, dan menyalahkan kepergianku; gara-gara aku, mereka menyalahkanku. Apakah mungkin?

Namun, aku segera cepat-cepat menghilangkan bayangan yang tidak-tidak itu, beserta rasa khawatir. Aku tidak ingin orang-orang yang kutinggalkan terus menangisiku, dan tidak ikhlas dengan kepergianku. Aku hanya kembali berjalan, dengan harapan mereka yang mengambil paksa jasadku tidak terkena virus yang muncul sekitar akhir 2019 itu.[]

~Jejak Imaji, 2020-2021.


Penulis:
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *