Resensi Buku
Potret Ketimpangan Sosial yang Memprihatinkan

Potret Ketimpangan Sosial yang Memprihatinkan

Judul Buku : Kelanjutan Cerita dan Semesta di Mulut Krishna
Penulis : Hery Sudiono
Penerbit : Basabasi Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2021
Tebal : vi+158 halaman
ISBN : 978-623-305-177-4

Selalu menarik dan berkesan bila saya membaca buku-buku cerita pendek (cerpen) bertemakan kritik sosial atau berbagai ketimpangan sosial di tengah masyarakat kita. Selain dapat menjadi sebuah refleksi juga membantu mengasah kepekaan kita terhadap kondisi masyarakat di sekitar kita. Buku karya penulis yang lahir di Rantau, Tapin, Kalimantan Selatan ini misalnya. Sebagian kisahnya dapat dijadikan bahan renungan bersama. 

Kematian menjadi tema yang banyak ditemukan dalam buku ini. Sebagaimana diungkap penulis dalam kata pengantarnya, “Kematian sering hadir di sebagian besar cerita-cerita ini. Tetapi itu mungkin bukan sepenuhnya tentang maut. Mungkin ia hanya tamu yang setia, yang urung mengetuk pintu dan duduk saja di pelataran rumah, terkekeh-kekeh menertawakan bising jalan, geram klakson, sepasang pencinta di atas motor tua, lelaki yang berpeluh menggenjot sepeda dengan beban kelewat berat. Dingin jemarinya mengingatkanmu pada gumpalan hening di mana kau terlahir. Ia lalu beranjak dan berjanji akan kembali untuk segelas kopi dan remeh-temeh kesementaraan”.

Malam Boneka yang Menghela Lelaki Tua merupakan salah satu cerpen yang mengangkat tema ketimpangan sosial yang memprihatinkan. Dengan tokoh utama seorang lelaki tua yang kesehariannya berjualan mainan anak-anak seperti boneka dengan gerobaknya. Tiap pagi ia berkeliling. Dari gang ke gang. Menjajakan dagangannya yang murah tapi kerap tak terjangkau masyarakat miskin. Cerpen ini meski sebagian kalimat dan paragrafnya panjang-panjang tapi penulis terlihat lihai memilih diksi. Ia berusaha memilih diksi yang tepat dan indah untuk menggambarkan setting dan karakter tokohnya. Berikut petikan sebagian paragrafnya:

Kau menyanyikan lagi dentang lonceng kecil bila pagi menyapa dan gerobakmu bergerak pelan dengan warna-warni boneka dan mainan yang terangguk-angguk pada dingin udara. Menghela setiap gang pinggiran kota dan anak-anak berlarian mengitarimu dengan wajah-wajah sumringah pada segala permainan yang dibayangkan dan para ibu merengut oleh rengekan anak-anak mereka yang minta dibelikan sepasang boneka pengantin dari plastik dengan cetakan yang tidak sempurna dan baju dari kain perca yang mulai lusuh (hlm. 4).

Kehidupan yang harus dijalani lelaki tua itu terasa berat dan memprihatinkan. Istrinya telah tiada. Di sisi lain ia memiliki satu anak perempuan yang masih kecil dan bercita-cita ingin sekolah. Sementara dagangan mainan lelaki tua itu tak kunjung laku. Padahal, ia harus mencukupi kebutuhan keseharian untuk diri sendiri dan anak semata wayang. Belum biaya untuk bayar tunggakan sewa rumah.

Cerpen berikutnya yang mengangkat realitas masyarakat miskin bisa dibaca pada cerpen Matinya Anak Kami. Jamak diketahui, di negeri ini, selain biaya pendidikan yang terkenal mahal, biaya yang harus dikeluarkan saat sakit juga tak kalah mahalnya dan kerap tak terjangkau oleh rakyat miskin. Penulis memaparkan realitas ironis tersebut. Tokoh utama lelaki muda yang tengah merasakan kebahagiaan memiliki anak yang tengah dalam masa-masa pertumbuhan.

Setidaknya lelaki muda itu bersyukur anaknya tak mengalami kekerasan fisik seperti pernah ia alami sewaktu kecil. Dulu, ia terbiasa dimarahi dan ditampar ayahnya. Mungkin karena pernah mengalami hal tak mengenakkan di masa kecilnya, ia lantas berusaha mendidik anaknya dengan kelembutan. Namun takdir ternyata berseberangan dengan harapannya. Ia begitu cemas saat anaknya mengalami kecelakaan. Sementara ia kebingungan menebus biaya rumah sakit yang besar. Berikut kutipan sebagian paragrafnya yang sarat kritikan:

Tapi kini ia terbaring tidak sadarkan diri sementara kau hanya bisa melihat dari kaca jendela ruang gawat darurat. Kau tidak mempercayai dokter yang bekerja setengah hati di bisnis penyakit yang terlalu korup di negeri ini. Kau berusaha meyakinkan petugas administrasi bahwa kau akan sanggup membayar seluruh biaya pengobatan, tapi ia melengos dengan segan ketika kau hanya mampu menyodorkan setengah dari uang muka yang diminta (hlm. 16).

Kelanjutan Cerita dan Semesta di Mulut Krishna, cerpen yang menjadi judul buku ini mencoba mengurai satu kematian tragis yang disebabkan pembunuhan. Kematian seperti ini mungkin telah kerap kita dengar dan saksikan. Bukankah di berbagai media massa dan juga televisi kerap menayangkan berita-berita tentang kasus pembunuhan yang begitu mengerikan dan tragis?

Kisah bermula ketika tokoh “aku” sedang mengendarai motor melewati pinggiran kota, sekadar membunuh rasa bosan karena sang istri sedang sibuk dengan workshop dan pameran bersama kelompoknya. Ketika malam mulai turun, motornya mogok di daerah persawahan yang gelap tanpa lampu jalan. Ia akhirnya menyerah dan merebahkan diri di tepi jalan. Meski gelap tapi langit tampak berbintang. Cahaya kota tampak dari kejauhan. Lalu pandangannya menangkap sesuatu yang mengerikan. Seonggok mayat perempuan muda di belakang pohon dan semak yang roboh. Ia pun segera menghubungi pihak kepolisian meski harus diribetkan dengan sederet pertanyaan (hlm. 146).

Cerpen Randu Mengeja Kehilangan juga layak disimak. Kematian dan kemiskinan membaur dalam cerpen dengan tokoh utama bernama Hery. Seorang lelaki pekerja yang hidup di rumah kontrakan. Ia merasa terhibur meski kadang kesal dengan kehadiran dan ulah Randu, bocah perempuan yang tinggal tak jauh dari rumah kontrakan. Biasanya, Randu datang untuk minta makanan dan minuman. Dalam cerpen ini Hery Sudiono cukup lihai memilih diksi yang memikat. Berikut petikan paragrafnya:

Randu, nama gadis kecil itu, seperti gumpalan kapas yang melayang dari kulit yang terbuka. Terdengar seperti nama anak lelaki. Sepanjang hari hanya keluyuran di seluruh kampung bila ia selesai membantu ibunya mencuci pakaian. Bermain di sawah kosong setelah musim panen yang tidak terlalu menggembirakan. Tubuh kecilnya bergerak liat dengan kulit cokelat terbakar matahari. Bergulat dengan anak lelaki, mengejar layang-layang. Dan bila sudah bosan dengan semuanya ia akan melongokkan kepala di jendela rumahku. Melangkah berjinjit dan menyergapku dengan teriakan yang disusul tawa pekak (hlm. 59).

Keseluruhan cerpen yang terangkum dalam buku ini total 18 judul. Meski sebagian cerpen dituturkan dengan kalimat-kalimat panjang dan kadang membingungkan, tapi masih cukup enak dinikmati. Menurut saya, kemenarikan buku ini terletak pada pemilihan diksi puitis dan pesan-pesan sosial yang layak dijadikan renungan bagi para pembaca. []


Penulis:

Sam Edy Yuswanto. Lahir dan berdomisili di kota Kebumen Jawa Tengah. Penulis lepas di berbagai media. Ratusan tulisannya (cerpen, opini, resensi buku, dll) tersiar di berbagai media massa seperti: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Banyumas, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit antara lain: Percakapan Kunang-Kunang, Kiai Amplop, Impian Maya, Kaya dan Miskin, dan Filosofi Rindu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *