Esai
Dari Dlancang hingga Rhapsodist

Dari Dlancang hingga Rhapsodist

Bapak Dr. Sutejo,
Nuwun sewu, kulo saweg saged ngaturi dlancang-dlancang punika sakmeniko, amargi minggu kepengker kula kejibah kathah pedamelan.
Ingkang kulo aturaken punika namung sekawan dlancang, dados kirang jangkep.
Jangkepipun wonten enem dlancang, nanging duko kenging punopo, Akademi Jakarta namung maringi sekawan dlancang puniko.
Cekap semanten rumiyin atur kulo, lan matur nuwun. 

 Budi Darma
(NB: Mohon maaf, kutipan di atas dituliskan sesuai dengan ejaan tulisan tangan Pak Budi)

***

Kutipan di atas, adalah surat pengantar Pak Budi (begitulah beliau ingin dipanggil) ketika mengirimkan empat makalah dalam seminar bertajuk “Perkembangan Novel Indonesia Mutakhir Era Reformasi” yang diselenggarakan Akademi Jakarta, Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, 24 November 2016. Sebelumnya, beliau menawarkan kertas kerjanya melalui WA. Sontak, saya mengiyakan. Terbayang di pikiran saya makalah beliau tetapi ternyata menerima 4 makalah sementara 2 makalah lain Pak Budi tak bisa mengirimkannya.  Itu yang diberikan oleh panitia, tulisnya berbahasa Jawa. Teriring permohonan maaf Pak Budi telah terlambat mengirimkan dlancang, karena seminggu sebelumnya beliau ada kesibukan dan tugas. Pengiriman empat makalah pun teriring surat berbahasa Jawa dengan tanggal tertera 6 Desember 2016.

Saya memahami setelah sepuluh tahun menjadi mahasiswanya. Begitu peduli dan rendah hati Pak Budi. Sebelumnya, tentu, lamat-lamat saya mencoba mencari ingatan tentang dlancang, tetapi gagal. Kamuslah yang memahamkan saya, bahwa yang dimaksudkan dlancang adalah kertas. Kertas? Sebuah diksi eufimisme yang menggambarkan kerendahan hati sang maestro Indonesia. Memang, Pak Budi dikenal sastrawan besar Indonesia (bahkan diakui dunia), sebagai sastrawan rendah hati. Prof. Faruk HT, di awal-awal mengenal Pak Budi sempat bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin sosok selembut beliau, sesantun beliau, melahirkan karya sastra absurd dan menggambarkan dunia jungkir balik?” (baca: Obituari Tempo, Kelebat Budi Darma, edisi 28 Agustus 2021).

Begitu membaca makalah Pak Budi Perkembangan Novel Indonesia Pascareformasi, saya tersentak. Sebelumnya, dengan rendah hati, beliau mengungkapkannya dengan dlancang. Sementara, isinya adalah sebuah dokumentasi pemikiran genius tentang panorama novel mutakhir –meskipun terasa sebagai kilatan dan kelejatan saja—tetapi sesungguhnya sebuah cermin historis novel Indonesia yang komprehensif.

Pak Budi mempokokkan diskursus pemikirannya pada titik-lejat yang lezat: (i) Sastra dan politik; (ii) New Historisisme; (iii) Politik sebagai panglima; (iv) Kebebasan dalam tekanan; (v) Eforia pascareformasi; (vi) Paradoks feminism; (vii) Literasi; (viii) Bahasa emotif; (ix) Penelitian; (x) Sudut pandang; (xi) Motivator; (xii) Mitos dan realism; dan (xiii) Wishful tinking. Tampak, bagaimana Pak Budi memotret dengan kritis-analitik, asosiatif, dan satire.

Tengoklah penutup makalah Pak Budi, yang sebelumnya diawali dengan isyarat bahwa makalah yang ditulisnya bersifat komprehensif tetapi tidak detil tentang realita novel pascareformasi tetapi menukik dalam ke sebab-akibat yang terjadi dengan tidak melupakan sejarah sastra Indonesia sebelum reformasi.

“Ada kebebasan untuk berkreasi, ada pula tekanan dalam berkreasi, antara lain butir inilah yang mengemuka dalam perbincangan di atas. Bagi pengarang tertentu, tekanan justru merupakan kebebasan, dan bagi pengarang tertentu, kreativitas akan buntu manakala tidak ada kebebasan berkreasi. Tapi pada hakikatnya, setiap zaman pasti menghadirkan tekanan, dan karena itulah New Historisisme lahir.

Kalau pengarang pascareformasi merasa bebas berekspresi, pasti pada dasarnya, karena pengarang itu merasa bebas menulis tanpa tekanan apa-apa. Sebaliknya, kalau pengarang pascareformasi merasa tidak bebas dalam berekspresi, mungkin juga ada benarnya. Sama-sama benar, tapi mungkin pengarang pascareformasi yang merasa ada tekanan dalam berkekspresi jauh lebih benar.

Andaikata pengarang macam kedua jauh lebih benar, maka pada suatu saat kelak paradigma New Historisisme tetap akan berlaku. Mengapa? Karena didasari atau tidak situasi politik pascareformasi juga mendapat berbagai macam tekanan, misalnya intoleransi, penindasan, diskriminasi, dan sebagainya, meskipun semuanya terselubung.”

Saya terus terang tersanjung membacanya, tercerahkan membaca kilatan-kolase dinamika novel mutakhir Indonesia dalam pagutan jejak sejarah yang mengulik-ngulik kesadaran (mungkin juga bawah sadar bangsa Indonesia). Pak Budi menyebutnya kertas (dlancang), hem, eufimisme yang menghentak.

Sontak, teringatlah saya awal menjadi mahasiswa S3 Pak Budi, di Unesa, pada semester pertama, kala itu mengampu Teori Sastra. Pak Budi memberikan ilustrasi filosofis tentang dunia sastra: kedudukan karya sastra, sastrawan, teori, dan kritik (esai). Ingat saya, ketenangan, kecermatan, kejernihan, dan keruntunan berbahasa beliau menjadi pesona tersendiri. Di alunan “dongeng magis” di ruang kelas itulah terkelebat kata baru yang saya susah mencerna: rhapsodist. Tetapi, berkat keengganan diri yang hanyut dalam khusuk mental murid dalam menyimak, tak berani sekadar bertanya. Kala itu, Pak Budi mendongengkan tentang hubungan sastrawan-filsuf. Sepulang kuliah, di minggu pertama itu ke Ponorogo, kulacaklah apa sebenarnya yang dimaksudkan Pak Budi tentang rhapsodist.

Jawabannya saya temukan dalam esai Pak Budi berjudul Esai adalah Sebuah Jendela Terbuka (2005:ix-xx), dalam buku berjudul Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera yang diterbitkan kerjasama Pusat Bahasa Depdiknas dengan Rosda. Sastrawan ekuivalen dengan filsuf yang rhapsodist, yakni orang-orang yang  mempunyai gagasan cemerlang dan mampu pula mengemukakan gagasan-gagasannya dengan cemerlang pula.

Ujungnya, saya ngeh; usai membaca paragraf simpulan bagian sastra dan filsafat, di esai Pak Budi yang jernih itu. “Bagaikan filsafat dan sastra, esai adalah rhapsody, dan filsuf, sastrawan, dan esai adalah rhapsodist. Rhapsody adalah pemikiran cemerlang yang dituangkan dengan cemerlang pula, sebagaimana halnya karya sastra yang cemerlang. Kedudukan Monatigne sebagai filsuf dan sastrawan, dengan demikian, bertemu antara lain dalam genre yang diciptakannya, yaitu esai (Darma, 2005:xi).

Antara “kerendahan hati” dan “ilustrasi filosofis” dalam mengajar di ruang kelas, sungguh memantik otak mahasiswa berkelejatan, berkelebat-kelebat indah seperti kibaran bendera sutera. Begitulah seterusnya, pertemuan demi pertemuan di ruang kelas, tak pernah saya lewatkan. Maka, dari ruang kuliah itu, hati kecil saya bisa mengungkapkan kesan tentang Pak Budi begini: (i) Disiplin, tak pernah terlambat; (ii) Runtut dan sistematis dalam menyajikan materi; (iii) Selalu membawa catatan tulis; (iv) Mengenalkan sastrawan secara personal dalam kelindan estetik karya; (v) Menjawab atau memberi tanggapan secara tidak langsung, dengan ilustrasi asosiatif-metaforik, kadang satire lembut; (vi) Tak pernah menyalahkan, apalagi merendahkan mahasiswa; (vii) Sangat menghormati lawan bicara; (viii) Menuliskan nama mahasiswa yang hadir di buku catatan; (ix) Pelopor pembahasa Indonesia yang total dan jernih; dan (x) Bahasa Inggris hanya dipergunakan manakala dibutuhkan bagi kepentingan internasionalisasi. Di semester selanjutnya, ketika Pak Budi mengampu Filsafat Sastra, sungguh, saya seperti sedang mendengarkan sosok seorang rhapsodist di ruang kuliah.

Hal lain yang masih bisa diingat dari Pak Budi di ruang kelas adalah: (i) Beliau menyapa mahasiswa dengan Ibu dan Bapak, bukan Bapak dan Ibu; (ii) Sangat mengapresiasi tulisan mahasiswa, kadang merujuk referensi tulisan/karya mahasiswa; (iii) Menjadwalkan bimbingan disertasi/tesis dan mengabarkannya lebih awal jika berhalangan menepati jadwal tersepakati; (iv) Membaca penuh disertasi mahasiswa yang dibimbing dan tidak pernah menyalahkan tetapi meminta mencoba membaca lagi; (v) Jika mengoreantasi pendalaman teori, Pak Budi menginduksikan dengan prolog “Coba baca buku …”; dan (vi) Sosok yang meneladankan agar tidak menjadi manusia yang wishful tinking.

Bagaimanakah kita bisa menggambarkan kepribadian Pak Budi sebagai sosok dosen yang kebapakan? Imajinasi kerendahan hati, kesantunan, dan kesederhanaan tentu telah menjadi contoh terbaik jika kita sebagai guru/dosen ingin berdiri indah di depan para murid/mahasiswa. Bukankah Pak Budi selalu berjalan kaki ke kampus? Bukankah beliau selalu menyapa, menanyakan kabar, dan berjalan dengan tenang? Kuliah bersama Pak Budi sesungguhnya adalah perkuliahan sastrawi, pembelajaran kehidupan, dan fiksi keteladanan yang platonik.

***

Sementara itu, ketika di luar kelas Pak Budi menjelma seorang ayah yang santun dengan selalu berbahasa krama kepada lawan bicara (termasuk mahasiswa). Ingatan beliau sangat tajam. Bayangkanlah, bagaimana seorang wartawan Jawa Pos, Eko Hendri Saiful, terkagum-kagum dengannya. Usai bertanya kode wartawan kepadanya, Pak Budi langsung menyebut dua berita yang dituliskan si wartawan di dua hari terakhir. Pengakuan si wartawan, Pak Budi membaca detil hingga kode wartawan, dan membaca adalah asupan pikiran yang menyehatkannya.

Pun teman saya, wartawan senior Antara, Masuki M Astro, beberapa kali menemui Pak Budi mendapati kesan sama: ingatan tajam, tenang, dan santun yang begitu dalam. Saya masih ingat, bagaimana Pak Budi mengikuti dinamika sastra Indonesia dengan utuh, yang kala tahun 2013 sedang muncul fakta penulisan novel kolaburatif. Wartawan itu kemudian menurunkan berita tertanggal 15 Februai 2013 9:18 WIB dengan judul: Prof Budi Darma: Kolaborasi Penulisan Novel Bagus. Dengan demikian, Pak Budi adalah sastrawan besar yang selalu mengikuti dinamika sastra di samping realitas sosial bangsa pengiringnya. Apalagi, kesukaan akan film dan seni lainnya, sungguh sulit mencitrakan tentang “karakter imajinasi” beliau.

Demikian pula sejumlah mahasiswa yang pernah saya tanya tentang Pak Budi, kesan itu, nyata.

Pak Budi juga melayani-membersamai sastrawan/penulis. Sepengetahuan saya, banyak penulis yang berguru kepadanya. Segelintir hitungan jari sebagai contoh di antaranya: M Shoim Anwar, Mashuri, Imam Muhtarom, Sirikit Syah, Much Khoiri, Audifax, Lan Fang, Fira Basuki, hingga Prof Faruk HT. Di Indonesia, jika kita mengintip media sosial kala beliau berpulang 21 Agustus 2021, begitu banyak penulis/sastrawan yang mengaku terinspirasi oleh Pak Budi. Sebuah kemuliaan budi, dasar mutiara keimanan kepenulisan berlapis benteng-benteng kebaikan dalam pikiran dan perbuatannya.

Nah, jika Anda tanya, kenangan apa yang teringat selama menjadi murid dan “sahabat” Pak Budi? Hem, rasanya teramat dalam untuk digali, mengingat “laut tanpa dasar” itu begitu tenang: bagaimanakah mungkin dapat menyelami? Narasi di awal tulisan ini, hanyalah butiran kecil yang terbang di antara beraian kebaikan Pak Budi yang sampai ke saya.

***

Sisi lain tentang Pak Budi adalah ingatan tentang kebiasaan malam-malam beliau yang menanyakan kabar diri dan aktivitas kepenulisan. Sebuah tanda kesuntukan beliau pada dunia kata dan sastra! Saya sebenarnya, ingin menuliskan tentang pesan dan “candaan” Pak Budi dalam WhatsApp literasi beliau, tetapi sungguh sayang tersebab nomor Mentari saya, mati. Itulah kebiasaan beliau usai kami ujian doktor, 6 Februari 2013. Kala itu, Pak Budi menjadi penguji dan promotor Hetty Purnamasari (Unitomo), yang ujian bersamaan kemudian diberitakan kantor berita Antara dengan judul: Unesa Luluskan Dua Doktor Sastra dan Penjual Kresek Itu Raih Gelar Doktor.

Pak Budi sangat mengapresiasi kami kala menerbitkan media online lensasastra.id, di WA pendeknya dia menulis: “Selamat para pejuang sastra, maju terus, pantang mundur!” (ini dikirimkan beliau pada pukul 17.00, tanggal 18 Januari 2021).  Sebelum itu, ketika cerpen Arafat Nur dosen STKIP PGRI Ponorogo dimuat Jawa Pos (6 Desember 2020) berjudul Tangisan Sedu Sedan di Antara Siaran Iklan Radio, beliau pun mengapresiasi dengan mengirimkan pesan WA kira-kira begini, “Karya-karya teman Pak Tejo, bagus-bagus.” (Tentu, yang dimaksudkan adalah karya-karya Arafat Nur). Dan, itulah memang kebiasaan beliau: apresiatif.

Sama ketika ujian doktor saya dan Pak Kasnadi beliau melakukan hal yang tak beda. Kala ujian Pak Kasnadi, para tamu menerima kado buku Menulis Kreatif: Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen (Pustaka Felicha, 2006). Pak Budi bilang, kami sebagai dosen kreatif dan produktif menulis buku. Sementara, kala ujian terbuka saya, ketika saya kadokan buku tebal Senarai Pemikiran Sutejo: Menyisir Untaian Kata, Menemukan Dawai Makna (Pustaka Felicha, 2013), beliau mengirimkan pesan WA begini: “Buku Pak Tejo bagus, dokumen tulisan media yang menarik, untuk bab I, tulisan-tulisan pendek itu bisa dikembangkan lagi.”

Ketika saya menerbitkan buku sebagai kado pernikahan anak saya, berjudul Senarai Aforisme Seorang Ayah: Ragam Pesan Kehidupan Ayah kepada Anak dan Menantunya (Tera Kata, Yogjakarta, 2019), beliau berkenan memberi endorsement lima paragraf panjang berjudul Belajar dari Moralitas Sastra  (hal. xxiv-xxv). Di situlah, tampak bagaimana harapan tidak saja pada keluarga kami, tetapi juga pada generasi milenial.

Kutipan berikut adalah salah satu pesan menarik Pak Budi: “Makin lama dunia makin dipenuhi oleh dunia mimpi, seperti yang dipamerkan dalam kehidupan para selebritis, dan pameran ini menimbulkan wishful tinking bagi orang-orang yang imannya kurang kuat: ingin cepat kaya tanpa kerja keras, ingin hidup mewah dengan jalan menerabas nilai-nilai moral, dan pemikiran serta perbuatan negatif lain (Sutejo, 2019:xxv).

Terakhir, ketika buku Pak Budi diterbitkan Penerbit Kompas berjudul Pengantar Teori Sastra (2019), beliau dengan ringan mengabarkan dan memberikan hadiah buku kepada saya, teriring rendah hati beliau yang menitipkan kata-kata begini, “Barangkali berguna …” Subhanallah, kerendahan dalam kemuliaan yang melantakkan niat kesombongan siapa pun.

Maka, izinkan saya mengulik keteladanan Pak Budi dengan menggambarkan sebagai pribadi yang: (i) berwibawa dan nyungkani, (ii) mengayomi, (iii) teladan dalam berguru dan bersahabat, (iv) sangat mengormati orang lain, tanda utamanya bahasa krama, (v) tak membeda-bedakan, (vi) tenang bak gunung, (vii) luas laksana samudera, (viii) dalam serupa lautan, dan (ix) kemahiran berbahasa yang sederhana dan jernih tetapi seringkali juga metaforik, asosiatif, terkadang satire.

***

Saya mengenal Pak Budi, tidak saja di ruang kelas tetapi juga di berbagai forum dan komunitas. Nah, bagaimanakah pesan kekaryaan dan inspirasi kepenulisan sastra Pak Budi yang menarik?  Pak Budi memiliki “jargon” unik yang dapat merangsang generasi meneladaninya. Di antaranya adalah: (i) Bahwa dunia sastra adalah dunia jungkir balik; (ii) Pada mulanya karya sastra adalah tema; (iii) Menulis itu berpikir; (iv) Menulis rangkaian dari peristiwa kebetulan; (v) Menulis itu seperti naik pesawat terbang (kuatnya imajinasi); (vi) Menulis sebagai identitas budaya, karena itu ia hampir menuliskan seluruh tulisannya dalam bahasa Indonesia; (vii) Menulis asal menulis dan asal mengikuti mood, tanpa draft, dan tanpa apa pun (sebuah kondisi terbius); (viii) menulis adalah masalah waktu, karena itu menulis akan lancar, manakala suasana menyenangkan untuk menulis tidak terganggu-ganggu; (ix) Falsafah “realitas burung” yang mengerakkan; (x) Pengarang adalah proses mencari, dan karya sastra adalah rangkaian proses mencari itu; (xi) Pengarang tidak pernah puas dengan karyanya sendiri; dan (xii) pengarang adalah filsuf, seorang rhapsodist.

Sebelum menulis Pak Budi seringkali melakukan beberapa kegiatan. Sebagaimana dituliskan Wahyudi Siswanto dalam Budi Darma: Karya dan Dunianya (2005). Ada empat kegiatan penting yang dilakukan: (i) berjalan-jalan, (ii) membaca, (iii) mendengarkan, dan (iv) memperoleh pengalaman.

Penyair Beni Setia yang kini tinggal di Caruban, pernah bertutur bahwa dia juga melakukan kegiatan seperti Pak Budi. Berjalan-jalan untuk menemukan ide. Mas Beni pada suatu kesempatan naik bus jurusan Surabaya, bus kota, sampai menemukan ide kepenulisan. Tak heranlah kita sering menemukan Pak Budi berjalan kaki. Ketika di kampus, saya sebagai mahasiswanya, selalu menemukan Pak Budi berjalan kaki ke kampus. Sapaan halus seringkali dalam bahasa krama merupakan kekhasan “kelembutan hati”-nya.

Novel-novel Pak Budi ternyata sering diilhami oleh kegiatan awal berjalan-jalan ini. Sebut novel Ny Talis, Rafilus, dan Olenka. Pun, cerpen-cerpennya macam Derabat, Gauhati, dan Mata yang Indah dia tulis saat “berjalan-jalan” ke India. Orang-Orang Bloomington adalah refleksi pengalaman perjalanan tentang kota dan orang-orang di Bloomington. “Di samping menghadapi kompleksitas pekerjaan, Budi Darma suka berjalan-jalan. Tak peduli cuaca buruk, berjalan tiap hari… Bahkan pada saat hujan salju pun Pak Budi tetap berjalan kaki (Budi Darma, 1980:iv). Refleksi “perjalanan” itu tampak menonjol dalam cerpen Bambang Subali Budiman, Laki-Laki Tua Tanpa Nama, Charles Lebourne, Ny. Elberhart, Yorrick, Orez, Joshua Karabish dan Keluarga M. Sebuah hasil amatan dan refleksi-impresif dalam perjalanannya.

Beberapa kali sebenarnya, saya sempat bertemu Pak Budi sebelum menjadi “cantriknya” di lembaga formal. Di komunitas Toga Mas, misalnya, dua kali penulis temukan Pak Budi bersama Lan Fang dan kawan perempuan sastrawan. Pak Budi, seakan memberi contoh bagaimana sebenarnya komunitas adalah “cara” mengoptimalkan potensi kepenulisan. Selalu memuji karya sastrawan lain sebelum bercerita tentang sebuah filosofi kehidupan, yang kemudian menjadi kudapan sedap yang memberadabkan pendengar.

Tak jarang, pengalaman memersamai komunitas, diceritakan di ruang kelas. Suatu waktu di ruang kelas, Pak Budi pernah bercerita tentang Lan Fang dan Fira Basuki. Saat itu, hati kecil saya bertanya, “Kok begitu runtut Pak Budi bercerita “latar pribadi”, eh, ternyata secara komunitas memang berlibat dengan penulis-penulis muda itu. Teman-teman lain (yang sebenarnya santrinya) banyak sekali, sedikit contoh: Much Khoiri, Lan Fang, Sirikit Syah, Mashuri, Wawan Setiawan, dan Shoim Anwar. Di sini, mengingatkan pengalaman banyak orang akan pentingnya komunitas. Sebuah ruang berbagi, belajar, bergumul “dipelukan” guru kehidupan yang tak berdinding.

Hal lain, yang menonjol dari Pak Budi adalah membaca dan berbahasa “sangat baik”. “Ketertiban berbahasa” tentu modal besar yang memesona. Di berbagai forum, yang saya ingat, adalah kemengaliran dan kejernihan logika dalam berbahasa. Sebagian orang menyebut sebagai “pendongeng ulung”. Suatu waktu, Pak Budi bercerita cerpen Mashuri yang bertutur tentang latar dan tokoh dari kota kecil Lamongan, sungguh sama sekali tidak terprediksikan (ini diceritakan saat diminta memberikan sambutan dalam acara pelepasanUnesa atas purna tugas beliau secara formal tahun 2007).

Secara filosofis, dapatlah dipahami bahwa menulis fiksi sesungguhnya mendongeng gaya baru.

Dari cerpen-cerpen Pak Budi, kita bisa menemukan bahwa kemampuan imajinasi dan visualisasi dalam menciptakan citra pembaca menjadi kunci pentingnya. Sugesti bahasa dengan sendirinya adalah pintu kemenarikan di samping “keruntutan penalaran” cerita yang memesona.

Cerpen Pilot Bejo, misalnya, secara teks bersifat kontekstual tetapi secara maknawi memiliki filosofi makna menyadarkan akan eksistensi kehidupan bangsa konspiratif dan kolutif. Sebuah universalitas bangsa yang menyedihkan. Dalam teks Pilot Bejo, mengingatkan kita akan perbincangan yang dipicu oleh esai Pak Budi (baik dalam forum maupun media Jawa Pos) tentang fakta dan fiksi dalam sastra. Abdul Hadi, dalam perbincangan dengan saya di Universitas Paramadina (di jelang pengukuhan guru besarnya 2008), menyadarkan bahwa hakikat teks tulis itu memang fiksi. Baik itu teks ilmiah maupun karya fiksi. Bukankah pengungkapan pikiran itu fiksi belaka?

Dalam pengakuan pengalaman Pak Budi, teks sastra yang dihasilkan—sesungguhnya—berawal dari fakta. Khususnya, fakta bersifat kebetulan. Dalam narasi presentasi Pak Budi, membedakan mana yang fakta dan fiksi dalam komunikasinya terjadi secara tipis. Mungkin kerena kemampuan dirinya sebagai seorang pendongeng ulung, atau memang, sengaja Pak Budi memformulasikannya dalam kebiasaan estetika pengucapan yang indah.

Sesungguhnya berbicara tentang pengalaman menulis Pak Budi nyaris tidak dapat diceritakan. Bagi Pak Budi, menulis adalah takdir. Ruang bercermin, tidak ada salahnya “mempolakan” pengalaman itu. Tulisan kecil ini sesungguhnya semacam sekunderisasi dari empirisitas kreatif Pak Budi. Paling tidak, mengingatkan bahwa kepenulisan adalah belantara lebat-komprehensif dan bukan parsial sebagaimana ditemukan di ruang-ruang kuliah kita yang cenderung memparsialkannya. Bukankah di karya sastra semua bidang tak berdinding? Nyata dan ada keberadaannya?

***

Akhirnya: bagaimana membayangkan kepribadian Pak Budi di sebuah forum, kelas? Atau, di tempat lain, atau bahkan di ruang-ruang terbatas? Adalah seorang pendongeng magis, jernih bahasa dengan kelejatan imajinasi dan pikiran yang saling mengikat, runtut, dengan kejutan di akhir. Sosok yang menggilai filsafat, jika menjawab selalu dengan ilustrasi yang filosofis, ujungnya bisa satire. Bahasa datar tapi mendebarkan. Ekspresi biasa tapi cerita bisa meliuk-liuk penuh pesona. Adalah sosok yang bisa mengingat nama dengan baik, berikut kejadian dan pertemuannya.

Secara kepribadian dan keilmuan adalah sosok berwibawa yang nyungkani, tak heran kemudian Kompas pernah menokohkannya sebagai cendekia berdedikasi. Pak Budi adalah pengayom teladan yang bisa jadi guru sekaligus sahabat. Simaklah satu ilustrasi tak terlupa berikut ketika Pak Budi mengulas presentasi mahasiswa S3 di ruang kuliah, narasinya kurang lebih begini.

“Ibu Bapak yang saya hormati… Dulu manakah antara sastra dan teori? Bagaimana jika kita akan mengkaji tentang sastra? Kalau kita salah menulis kajian sastra, skripsi misalnya ketika S1, tidak masalah karena bisa diperbaiki manakala kita studi di S2.

Selanjutnya, salah lagi ketika meneliti sastra sebagai tugas tesis, tidak masalah juga, masih bisa diperbaiki kala belajar S3. Tetapi… jika di ruang kelas ini, konon belajar di tataran philosophy of doctor, jika salah kapan akan mengoreksinya? Karena itu, kita perlu berhati-hati memilih-milih dan memilah-milah teori dan karya sastra ketika akan mengkajinya.”

***

Selamat jalan Pak Budi, izinkan saya bersaksi sebagai murid panjenengan, Panjenengan orang baik: samudera luas dengan gelombang yang tenang, gunung tinggi dengan pesona biru-hijau menggoda, dan belantara filsafat lebat yang menyehatkan jika mau memanennya. Panjenengan serupa pohon besar dengan dahan dan ranting kuat, dedaunan lebat yang meneduhkan, mengalirkan O2 bagi mereka yang mau berteduh di bawahnya.

***

Ponorogo, 10 September 2021


Penulis:

Sutejo Ponorogo
Budayawan dan Ketua STKIP PGRI Ponorogo

1 thought on “Dari Dlancang hingga Rhapsodist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *