Esai
Kesusastraan dan Lingkungan: Sebuah Refleksi

Kesusastraan dan Lingkungan: Sebuah Refleksi

Dalam catatan editor World Literature Today edisi musim panas 2019, Daniel Simon menuliskan bahwa persoalan perubahan iklim telah berada di tengah-tengah panggung global. Kerusakan kolosal pada lingkungan, lanjutnya, telah menggerakkan para penulis untuk berakselerasi menciptakan dunia baru agar penyebab manusiawi dari kerusakan itu dapat ditekan. Usaha ini tentu tidak gampang atau lebih tepatnya bisa cepat surut ketika melihat dimensi faktual mengenai kerusakan lingkungan terus menerus terjadi, dari waktu ke waktu. Dengan perspektif ini maka menggemakan ekologi dalam kasusastraan senantiasa menjadi momentum penting, mendesak dan tidak boleh ditunda-tunda.

Kontribusi sastra dalam persoalan lingkungan jelas tidak dapat dilihat serupa obat instan. Internalisasi nilai-nilai kearifan yang direpresentasikan melalui kasusastraan membutuhkan waktu, proses. Tetapi kenyataan penting yang tetap perlu disadari bahwa kasusastraan merupakan sub sistem penting dari keseluruhan sistem yang berjalin-kelindan untuk memulihkan dunia dari kerusakan ekologis. Namun dengan membawa “beban” ekologi itu bukan berarti kasusastraan berubah menjadi semacam propaganda, tetapi ia tetap bergerak dalam alur dunianya sendiri—terutama karena ia dibentuk melalui leputan-letupan kreativitas sastrawi. Pembaca tidak dapat semata-mata dijejali dengan kandungan “moral ekologis” dengan mengabaikan bagaimana sebuah cerita dituliskan secara menarik misalnya.

Dengan demikian konteks dari eco-literature (yang di masa modern gelombangnya dimulai pada 1970-an), sependek amatan penulis, lebih berupa gerakan kesadaran. Secara logis, kesadaran ini diperuntukkan untuk mengubah pemikiran dan perilaku manusia, yaitu kita yang meminjam perspektif Islam dianugerahi peran sebagai “khalifah fil ‘ardh”. Dengan kesadaran ini maka keberadaan manusia didefinisikan ulang. Jika selama ini kasusastraan cenderung menempatkan manusia sebagai pusat, maka dalam perspektif ekologis, manusia dan alam bergumul pada dimensi yang sama. Kepentingan manusia tidak menjadi satu-satunya tujuan yang legitimate bagi setiap kreasi. Dengan kata lain, eco-literature merupakan kritik terhadap antroposentrisme.

Dalam konteks yang lebih luas, kritik ini membuka mata kita bahwa manusia dan alam saling terhubung sehingga dibutuhkan kepekaan. Manusia memiliki hubungan intim dan timbal balik dengan alam atau lingkungan, dan tentu dengan seluruh spesies lain yang ada di bumi, dan karena itu sebetulnya kita saling mendefinisikan. Apa yang terjadi terhadap alam memengaruhi kehidupan manusia dan apa yang terjadi dalam kehidupan manusia memengaruhi alam. Sebab itu krisis ekologi adalah persoalan yang dihadapi oleh manusia tanpa mengenal batas, dan bahkan lintas waktu. Pandemi coronavirus disease-19, yang saat ini masih kita hadapi, menjadi penanda bahwa perubahan iklim telah mendorong persoalan-persoalan baru dalam kehidupan umat manusia seperti perubahan habitat hewan yang terdampak dari rusaknya ekosistem mereka.

Perubahan buruk di atas tentu meresahkan dan hal itu menstimulasi kesadaran baru mengenai pentingnya hidup damai dengan lingkungan. Dalam ruang sastra kita, genre “sastra hijau” misalnya, telah menjadi salah satu jembatan bagi pengembangan kasusastraan dengan basis ide atau isu lingkungan hidup. Genre ini dapat ditelusuri jauh ke dalam istilah eco-criticsm yang pertama kali disebut akademisi William Rueckert pada tahun 1978 melalui tulisannya yang terbit di Iowa Review (akurat.co, 2020). Meskipun di awal-awal kemunculannya tulisan atau isu ini memicu polemik, tetapi di kemudian hari kita tahu sastra dan persoalan ekologi memiliki korelasi yang kuat sehingga memungkinkannya diterima sebagai salah satu genre, atau sub genre seperti cli-fi (climate fiction) yang fokus dalam kepenulisan fiksi berbasis isu-isu perubahan iklim dan pemanasan global (Subramanian, 2017).

Ketika pandemi mulai dirasakan di Indonesia tahun lalu, pegiat-pegiat sastra tidak tinggal diam. Yayasan Dapur Sastra Jakarta misalnya, menginisiasi penerbitan buku antologi yang kemudian diberi judul Pandemi Puisi: Antologi Bersama Melawan Covid-19 (cetakan pertama pada Mei 2020). Antologi ini berhasil mengumpulkan 459 puisi dari 459 penyair dan—diakui sendiri oleh panitia—hal itu merupakan sesuatu yang mengejutkan karena undangan antologi hanya diberikan waktu selama 10 hari. Antusiasme ini menunjukkan bahwa para penyair memiliki keterikatan, baik secara emosional maupun praktis, untuk berkontribusi dalam musibah pandemi—yang tentu saja para penyair ini juga menjadi salah satu pihak yang terdampak, tak terkecuali secara ekonomi. Dalam pengantar buku ini, Riri Satria, Dewan Pengawas yang sekaligus menjadi Ketua Panitia, juga menuliskan maklumat mengenai peran penyair dalam pandemi. Penulis akan kutipkan di sini:

“Bagaimanakah peran penyair? Para penyair tentu tidak akan terlibat langsung dalam penanganan Covid-19 di lapangan. Tetapi para penyair harus mampu menyatukan semua energi positif bangsa dengan cara menggugah kesadaran bahwa ini adalah perang kita bersama. Ini juga perang para penyair!”

Dalam sejarah kita, pandemi atau wabah atau pageblug atau sebutan lain serupa itu, telah menjadi medan magnetik bagi para penyair atau sastrawan. Serangkaian karya sastra nusantara di masa lalu menjadi penghubung kesadaran bahwa pandemi merupakan fenomena kosmologis. Inti utama dari kosmologi ini adalah keseimbangan: manusia dan alam. Karena itu kemunculan wabah menjadi penanda bahwa kualitas lingkungan yang mengelilingi manusia sedang atau telah mengalami kerusakan. Rekaman pageblug ini terdapat dalam sejumlah karya sastra baik yang tertulis maupun lisan. Mengutip Eko Hendro Putro (2020), diantara karya sastra tertulis adalah Sudamala, Karmawibhangga, Calon Arang dan Cariyos Dalang Karungrungan. Sementara itu karya sastra lisan termasuk cerita pageblug mayangkara dalam dunia pewayangan. Di sisi lain, dari rekaman karya-karya sastra ini juga, pageblug atau pandemi selalu menjadi citra dari zaman kaliyuga yang menisbatkan sebuah masa dengan tingkat kerusakan tinggi akibat ulah manusia. Sehingga tak ayal karya-karya sastra kita sebenarnya cukup banyak merefleksikan amatan, pikiran dan imajinasi dalam upaya menggugah kesadaran mengenai pentingnya kehidupan seimbang antara manusia dan alam.

Refleksi itu diantaranya dapat kita periksa dari dua puisi Taufik Ismail, yaitu puisi yang berjudul Membaca Tanda-Tanda (1982) dan Menengadah ke Atas Merenungi Ozon yang Tak Tampak (1989). Apabila dicermati, kesadaran ekologis dari dua puisi ini diawali dengan kegelisahan-kegelisahan seperti dalam bait-bait awal puisi Membaca Tanda-Tanda:

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya

Kegelisahan itu lahir karena terdapat perubahan-perubahan yang dirasakan oleh manusia sendiri, sesuatu yang memberikan dampak, yang kemungkinan secara individual—baik fisik maupun psikologis—ataupun sosial. Pada bait-bait berikutnya kegelisahan itu mulai mendapatkan bentuk nyata dari sebuah krisis ekologi sebagaimana potongan bait-bait:

Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari 

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan 

Suasana yang lahir dari bait-bait puisi ini menjelaskan bahwa kerusakan telah tampak di mata manusia sebagai sesuatu yang disadari. Frase “dahan kehilangan hutan” sendiri merupakan ujung representasi dari kerusakan hutan, yang memang secara faktual, adalah persoalan yang terus menggelayut sampai hari ini. Menurut temuan Global Forest Watch (globalforestwatch.org., 2020), pada tahun lalu saja, dunia kehilangan 12,2 juta hektar hutan. Dari angka itu sekitar 4,2 juta hektar (yang kira-kira seluas Belanda) merupakan hutan primer tropis basah yang menjadi entitas penting untuk menjaga keanekaragaman hayati dan penyimpanan karbon.

Pada puisi kedua Taufik Ismail, Menengadah ke Atas Merenungi Ozon yang Tak Tampak, kita akan menemui hal serupa. Perilaku manusia yang tidak sadar ekologis telah memberikan dampak kurang baik bagi lingkungan, terutama karena alasan-alasan kesejahteraan (ekonomi). Dalam bait-baitnya Taufik menulis:

Kini yang beringsut adalah gemuruh kendaraan
Menderu di jalanan kota besar
Menderu di jalanan kota sedang
Menderu di jalanan kota kecil
Semua berkejaran dalam jalur nafkah dunia
Semua menanam mesin dan menabur industri
Semua memburu panen angka-angka

Frase “angka-angka” ini, jika ditilik, menggambarkan bias dari pertumbuhan ekonomi yang dipacu melalui industri dengan basis emisi. Dampak ini telah disadari sejak lama karena terdapat hubungan positif antara industri dan pencemaran lingkungan. Bahwa semakin tinggi kebutuhan manusia terhadap industri, maka tingkat pencemaran lingkungan juga semakin tinggi. Pemerintah Indonesia sendiri—meskipun hasilnya belum begitu meyakinkan—telah menyusun program pengembangan industri yang ramah lingkungan (green growth program) melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Rany, dkk., 2020). Meskipun demikian, kita juga tahu fakta lain bahwa perubahan iklim atau krisis ekologis memerlukan kesadaran global, terutama dari negara-negara industri besar yang seringkali menjadikan isu lingkungan sebagai isu minor karena berkebalikan dari tujuan kesejahteraan.

Pada akhirnya dua puisi Taufik sesungguhnya dapat menjadi refleksi tentang bagaimana kita, manusia, harus bersikap, yaitu dengan mengedepankan kearifan. Dalam Membaca Tanda-Tanda, Taufik menuliskan:

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari

“Membaca”, bagaimanapun, adalah medium bagi sebuah pemahaman, pengertian dan kesadaran. Membaca tanda mengandaikan kemampuan kita dalam menyadari adanya krisis ekologi sehingga memunculkan aksi untuk mengubah. Dengan kata lain, sastra mendorong pada keyakinan kepada para pegiat di dalamnya dan masyarakat luas bahwa krisis ekologi adalah masalah bersama sehingga setiap ruang, termasuk kasusastraaan, perlu berkontribusi dan membangun kepedulian. []

Daftar Rujukan

Hendro, Eko Puto. 2020. Pageblug: Tinjauan Aspek Antropologis untuk Mendukung Penerapan Protokol Kesehatan dalam Menghadapi Covid-19 di Jawa Tengah. Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, Vol. 4 No. 1: Desember.

https://akurat.co/kontribusi-covid-19-dan-sastra-hijau-untuk-bumi

https://www.globalforestwatch.org/blog/id/data-and-research/data-kehilangan-tutupan-pohon-global-2020/

Rany, Alya P., Salsabila A. Farhani, Vidya R. Nurina, Laila M. Pimada. 2020. Tantangan Indonesia dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi yang Kuat dan Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan melalui Indonesia Green Growth Program oleh Bappenas. JIEP-Vol. 20 , No 1, Maret.

Satria, Riri, dkk. (tim penyusun). 2020. Pandemi Puisi: Antologi Bersama Melawan Covid-19. Jakarta: Teras Budaya Jakarta.

Setyorini, Nurul dan Cintya Nurika Irma. 2018. Representasi Krisis Ekologi di Indonesia Puisi Membaca Tanda-tanda dan Menengadah ke Atas Merenungi Ozon Yang Tak Nampak. Jurnal Bahtera Jilid 5, Nomor 9, Maret.

Simon, Daniel. 2019. editor’s note, World Literature Today. Summer 2019. Volume 93, Number 3.

Subramanian, Rajesh. 2020. Could Eco-Literature Be the Next Major Literary Wave?. dalam https://thewire.in/books/eco-literature-next-major-literary-wave.


Penulis:

M. Najib AR, sesekali menulis baik di media cetak maupun daring. Saat ini bekerja dan bermukim di Semarang.

1 thought on “Kesusastraan dan Lingkungan: Sebuah Refleksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *