Cerpen
Lelaki yang Takut Bibir

Lelaki yang Takut Bibir

LELAKI paruh baya itu masih tergolek lemah. Wajahnya pucat. Sorot matanya hampa. Terlihat cekung. Tulang-tulang rahangnya seperti menyembul. Pipinya kempis. Sebagian rambutnya telah beruban. Sisanya terlihat hitam, tetapi kusut. Tak lagi tersisir rapi seperti dulu. Selang kecil menembus pembuluh darah di lengan kirinya. Tetes demi tetes cairan infus mengalir masuk ke tubuhnya melewati selang kecil itu. Tetesan-tetesan kecil itu yang memasok energi untuk mempertahankan hidupnya.

Belum lama ia bisa tidur nyenyak setelah dokter menyuntikkan obat penenang. Tubuhnya didera kelelahan yang maha dahsyat. Tenaganya habis terkuras, menahan derita. Denyut jantungnya meninggi. Tarikan napas semakin berat. Tujuh hari ia tak mampu memejamkan mata.

Nama pasien di bangsal VVIP itu Tuan Bambang Widoyoko. Sejatinya ia bukan orang sembarangan. Ia orang nomor satu di Kabupaten Bendrong Kulon. Tiga gelar akademik menempel namanya; satu di depan, dua di belakang. Tak hanya itu, dari nasabnya, ia masih keturunan priyayi keraton Jawa yang terhormat meskipun telah menanggalkan gelar raden.

Dulu ayahnya juga pernah menjabat bupati di Bendrong Kulon. Tak banyak yang heran. Dari keturunan ngaluhur itu terlahir pula sosok hebat seperti dia. Segala kebanggaan dunia telah ada di genggamannya; gelar akademik, istri cantik, jabatan publik. Kurang apa lagi? Hartanya melimpah, mobil mewah, rumah megah, tampilannya selalu gagah. Toserba punya. Resto, kolam renang, dan tempat begadang anak muda tak ada yang kurang. Jangan tanya berapa simpanan uangnya? Kalau deposito dan saham-sahamnya ditarik, uangnya bisa dijejer berkilo-kilo meter panjangya. Belum lagi emas batangan miliknya.

Tapi, kini ia tak berdaya. Benar-benar hilang segala kehebatannya. Tak ada tanda-tanda. Siapapun tak mampu menduga sebelumnya. Tiba-tiba saja orang nomor satu di Bendrong Kulon itu ketakutan melihat bibir. Aneh juga. Bukan binatang liar atau hantu yang bikin ia ketakutan, tetapi bibir. Ya. Lelaki hebat itu memang ketakutan melihat bibir. Daging tipis kemerahan yang menempel di wajah setiap manusia itu telah membuat dia tak bisa berkutik.

Awalnya Tuan Bambang Widoyoko hanya cemas melihat bibir setiap orang yang ia temui. Ia meminta semua orang yang akan bertemu dia memakai masker. Dengan memakai masker, bibir tak kelihatan, dan ia masih merasa nyaman. Tapi itu tak bertahan lama. Sesudah beberapa saat, masker yang tebal sekalipun kelihatan transparan. Masker bergambar apalagi, semakin mengingatkan bibir pemakainya. Gerak mulut orang yang berbicara di hadapannya memperlihatkan bibir lawan bicara. Ketakutan Tuan Bambang Widoyoko semakin menjadi-jadi.

Sesudah itu, Tuan Bambang Widoyoko menyuruh orang-orang yang mau menemui dia harus membelakanginya. Ini memang repot. Kadang orang harus menyampaikan sesuatu dengan bertatap muka. Dengan memunggungi, belum tentu tepat arah tangan saat menyampaikan barang. Tambah sulit lagi kalau bawahannya mau minta tanda tangan. Tugas itu tak mungkin dielakkan. Ia seorang pejabat publik yang pasti dimintai tanda tangan.

Lalu ditunjuklah seorang asisten khusus untuk menemui Tuan Bambang Widoyoko. Benny Setiawan yang terpilih jadi asisten khusus itu benar-benar orang hebat. Lelaki kepercayaan Tuan Bambang Widoyoko itu telah lama bergaul akrab dengannya. Ia seorang bawahan yang paling dekat dengan pucuk pimpinan. Tak aneh kalau ia mampu melayani Tuan Bambang Widoyoko. Meskipun harus memunggungi pimpinannya saat menemui, ia lakukan dengan penuh kehati-hatian demi tugas negara.

Tapi sayang tak semuanya berjalan mulus. Meskipun sudah membelakangi dan memakai masker, bayangan bibir yang bergerak-gerak tetap saja muncul di punggung Benny. Tuan Bambang Widoyoko lari terbirit-birit, sembunyi di kamar mandi, dan harus dievakuasi. Ia berteriak-teriak takut melihat bibir. Setelah dibawa pulang ke rumahnya yang megah, ia tidak bisa tidur hingga tujuh malam. Setiap hari ia berteriak-teriak ketakutan melihat ratusan bibir mengerumuninya. Terpaksa keluarganya membawanya ke rumah sakit. Keluarga bergantian menjaganya. Selain itu, Benny Setiawan juga diberi kesempatan menunggui pimpinannya itu. Dialah satu-satunya orang yang mampu menenangkan hatinya.

Hari kedua setelah Tuan Bambang Widoyoko masuk rumah sakit, tim dokter dan psikiater yang menanganinya memanggil Benny. Ia dianggap sebagai orang yang paling tahu riwayat hidup pimpinannya itu.

***

“Mas Benny sudah berapa lama jadi asisten Tuan Bambang?” tanya Dokter Rafi Rahman mengorek keterangan.

“Kalau jadi asisten baru sekitar satu tahun, tapi sebenarnya sudah lama bersahabat dengan beliau,” jawab Benny.

“Berapa lama mengenal atau bersahabat dengan Tuan Bambang Widoyoko itu?”

“Hmm. Lama sekali, Dokter. Sejak muda aku sudah kenal baik beliau. Pastinya sejak masa SMA. Karena aku adik kelasnya, tetapi sering punya acara bareng-bareng. Aku sering ditraktirnya. Lumayan. Sebagai anak dari keluarga tidak mampu, aku sering beruntung.”

“Bagaimana kehidupan masa mudanya?”

“Yah, biasa saja. Seperti lazimnya anak muda pada zaman itu. Tapi memang Mas Bambang ini, eh Tuan Bambang, maaf dulu aku panggilnya Mas, dia memang lelaki idola. Banyak cewek yang ter-kinthil-kinthil dengannya. Maklum saja, beliau kan anak priyayi. Tampilannya juga keren, sudah naik motor lagi. Siapa cewek yang tidak mimpi jadi kekasihnya?”

“Nah, siapa yang jadi kekasihnya? Maaf itu mungkin urusan pribadi, tetapi ini akan saya hubungkan dengan akar penyebab kelainan psikologis yang dideritanya.”

“Nah itu, saya agak sulit menceritakannya. Dulu beliau ini punya banyak kekasih. Mungkin juga bibirnya telah berulang kali singgah di banyak bibir perempuan muda yang ia temui. Aku nggak tahu pasti Dokter. Tetapi sepertinya ia pernah pacaran sama Dewi, Risti, Endang, Nurul, Rina, Rini, Hesti, Siti, dan ah yang lain lupa.”

Hebat ya? Seperti Arjuna?”

“Iya. Beliau memang lelaki idaman. Tapi anehnya akhirnya ia menikah sama gadis lugu yang jadi istrinya hingga sekarang. Ibu Siti Komariah yang jadi istrinya sekarang justru tak secantik pacar-pacarnya dulu. Meskipun tetap saja aku akui Bu Siti itu juga cantik.”

“Kok bisa begitu? Kok malah dapat yang tidak begitu cantik?”

“Tak tahu pasti Dok. Tapi menurut ceritanya ia dipertemukan dengan Nyonya, dulu Nona, Siti Komariah oleh teman kuliahnya. Tanpa pacaran, lantas menikah. Beliau wanita yang baik-baik serta pintar mengaji. Orangnya sederhana, tetapi hatinya tulus.”

“Luar biasa. Satu perjalanan hidup yang cukup dramatis.”

“Iya Dok. Apa mungkin bayangan ratusan bibir itu datang dari mantan-mantan kekasihnya ya?’

“Bisa begitu. Bisa juga tidak. Masih perlu banyak keterangan yang harus saya kumpulkan. Untuk hari ini saya cukupkan dulu ya Mas Benny. Besok pagi aku akan temui Mas Benny lagi untuk minta keterangan lebih banyak.”

“Ya Dok. Saya selalu siap di bangsal perawatan.”

***

Hari berikutnya Tuan Bambang Widoyoko masih tergolek lemah di pembaringan. Tapi tubuhnya semakin segar. Cairan infus yang masuk ke tubuhnya cukup ampuh memberi kekuatan raga. Ketika matanya terbuka, ia cari istri dan anak-anaknya. Kebetulan semuanya sedang keluar. Benny Setiawan yang mendengar panggilan itu mendekat. Tetapi kembali ia ketakutan.

“Tidak! Tidak! Jangan! Jangan!” teriaknya sambil menutupi wajah dengan selimut.

“Aku Benny Pak Bambang. Benny Setiawan, asisten Bapak. Kenapa takut?”

“Ah, bukan! Bukan! Jangan! Jangan! Jangan mendekat! Pergi sana!” teriaknya sambil menggerak-gerakkan tangan seakan mengusir kerumunan bibir yang mendekati tubuhnya. Tak lama kemudian, ia tertidur lagi. Benny Setiawan berdiri termangu menatap tubuh pimpinanya yang tertutup selimut itu. Sejenak ia duduk di samping tempat pembaringan, sebelum akhirnya dipanggil Dokter Rafi Rahman lagi.

“Nah, sekarang Mas Benny ceritakan masa-masa Tuan Bambang menjabat di Bendrong Kulon?” tanya Dokter Rafi Rahman.

“Ya Dok. Beliau jadi orang nomor satu di Bendrong Kulon karena menang pilihan. Di Pilkada tiga tahun lalu mendapat kemenangan yang cukup tinggi. Jauh melampau perolehan suara pasangan pesaingnya.

“Bagaimana beliau bisa memperoleh kemenangannya itu?”

“Biasa saja Dok. Pada masa kampanye beliau menebar janji-janji. Namanya janji kampanye ya pasti yang manis-manis, yang meyakinkan. Ya kan?”
“Iya. Teruskan!”

“Yang aku cukup heran, saat mengumpulkan masa itu, beliau selalu melepaskan sepasang bibirnya untuk massa yang hadir. Anehnya, bibir itu selalu tumbuh lagi. Saat rapat berikutnya, bibir barunya dilepas lagi, dan dilempar ke pendukungnya. Begitu seterusnya berulang-ulang. Saya nggak tahu dia punya kesaktian apa? Saya juga tidak tahu dari mana kesaktian itu didapat. Tapi peristiwa melepas bibir itu benar-benar terjadi. Beliau melepas ratusan bibir manis untuk para pendukungnya saat berkampanye.”

“Bibir dilepas, dilempar, dan tumbuh lagi? Aneh sekali,” kata Dokter Rafi terheran-heran.

“Betul Dokter. Memang seperti itu. Bibir Tuan Bambang memang punya pesona tersendiri. Tak heran kalau dulu ada ratusan cewek berhasil dia gaet. Semua itu berlanjut. Hingga jadi penguasa, ia selalu menebar bibir manis untuk para pemujanya. Warga Bendrong Kulon tergila-gila kepadanya.”

“Sebentar Mas Benny. Aku ingin tahu apa yang terjadi ketika bibir Tuan Bambang Widoyoko dilepas?”

“Terkelupas Dok. Seperti apa tangkupan daging tipis yang menempel di atas dan bawah mulut. Begitu dilepas tinggal kulit biasa, warnanya coklat tua. Tapi itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian bibir manisnya tumbuh lagi. Lanjut dilepas lagi. Tumbuh lagi. Tidak ada habis-habisnya.”

“Fenomena aneh. Menurut ilmu anatomi, seharusnya bibir manusia itu menyatu dengan kulit wajah yang berdekatan dengan mulut sepanjang hidup. Belum pernah ada sejarahnya bibir bisa mengelupas dan tumbuh lagi seperti semula. Dilepas lantas tumbuh lagi. Yang ada operasi bibir sumbing yang sedikit membantu memulihkan cacat fisik di bibir. Ini satu keanehan yang tak masuk akal,” kata Dokter Rafi Rahman sambil geleng-geleng kepala.

“Begitulah Dokter. Kenyataan itu saya saksikan sendiri. Aku berani sumpah. Aku yang menyaksikan apa yang pernah terjadi. Mungkin tak hanya aku, banyak warga Bendrong Kulon yang juga melihatnya. Coba lain kali tanya pada orang-orang Bendrong Kulon Dokter.”

Terima kasih Mas Benny. Lain kali akan aku cari keterangan dari orang lain. Sementara sampai di sini dulu ya.”
***

Seminggu setelah perawatan Tuan Bambang Widoyoko rumah sakit itu didatangi beberapa rombongan warga Bendrong Kulon dan sekitarnya. Rombongan yang datang selalu diterima petugas dan satpam. Rombongan yang datang paling awal di rumah sakit itu terdiri para pedagang di pinggir jalan. Rombongan kecil ini dipimpin Kang Bejo, seorang penjual wedang ronde.

“Ada keperluan apa Kang?” tanya Satpam.

“Kami mewakili rombongan penjual makanan di pinggir jalan mau menemui Tuan Bambang Widoyoko.”

“Tapi, keperluannya mau apa, Kang? Mau jenguk atau mau apa? Untuk sementara beliau tidak bisa menerima tamu yang mau menjenguknya.”

“Kami tak mau menjenguk. Kami hanya ingin mengembalikan bibir manis yang dulu diberikan ke para pedagang. Tidak bisa masuk ke bangsal tidak apa-apa. Ini bibir pemberian dia sudah aku bungkus kain putih. Semoga tidak cepat membusuk. Sampaikan saja kepada dia. Aku sudah tidak butuh lagi bibir manis pejabat seperti dia!” katanya dengan nada semakin tinggi.

“Ya. Titipan Kang Bejo aku terima. Nanti akan aku sampaikan kepada beliau kalau kesehatannya sudah membaik. Sekarang Kang Bejo dan rombongan pulang saja ya? Masih banyak rombongan lain di belakang.”

“Memang hanya itu keperluanku. Tak ada yang lain. Kami pamit saja,” jawab Kang Bejo sambil balik kanan meninggalkan rumah sakit itu diikuti teman-temannya.

Tak lama kemudian datang ke rumah sakit itu rombongan ibu-ibu yang menyebut diri mereka Srikandi Ba-Wi. Mereka membawa beberapa bunga tabur. Di atasnya ada bungkusan kain putih. Ketika ditanya satpam isinya apa, salah seorang dari mereka menyebut bungkusan itu berisi bibir manis Tuan Ba-Wi yang telah kering.

Setelah itu datang lagi beberapa rombongan besar dan kecil. Mereka menyebutkan jati diri mereka masing-masing; Pasukan Berani Mati Ba-Wi, Relawan Ba-Wi, Pasukan Ijo Ba-Wi, Pejuang Ba-Wi, Ikatan Petani Pendukung Ba-Wi, Rohaniawan Pendukung Ba-Wi, Kumpulan Orang Baik Pendukung Ba-Wi, Calon Ahli Surga Pendukung Ba-Wi, Taruna Muda Mudi Ba-Wi, Pecinta Moge Ba-Wi, Seniman Pendukung Ba-Wi, dan Persatuan Pedagang Bakso Pendukung Ba-Wi. Mereka diterima petugas secara bergiliran.

Setelah ditanya satpam, jawaban mereka mirip. Pada intinya mereka ingin mengembalikan bibir manis pemberian Tuan Bambang Widoyoko. Bahkan ada karangan bunga yang dibawa para rombongan pemuda. Pesan di karangan bunga itu sangat jelas, “Aku Kembalikan Bibir Manismu!” Karangan bunga itu ditaruh di depan pintu masuk rumah sakit. Satpam rumah sakit hanya bisa geleng-geleng kepala melayani rombongan tamu-tamu yang tidak ada habis-habisnya itu.[]

Wadaslintang, 9 April 2021

Keterangan :
Terkinthil-kinthil (bahasa Jawa) : Tergila-gila


Penulis:

KI SUDADI, lahir di Sukoharjo, 19 Maret 1969. Pendidikan S-2 UNNES (2001). Pekerjaan : Guru SMP Negeri 1 Wadaslintang (1992 – 2019), dosen UMP (2001 – 2014), Kepala SMP Negeri 4 Wadaslintang (2019 – sekarang). Penerima penghargaan Penulis GLN Kemendikbud Tahun 2017 & 2018, IC-Claw Green Pen Award 2019, Pemenang Lomba Penulisan Esai Nulis Di Rumah Kemenparekraf 2020, Pemenang LPNSR Dinas Kebudayaan DIY 2020, Penerima Anargya Serayu Penawara 2020, Pemenang Lomba Nulis Geguritan Yayasan Podang Jawi 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *