Cerpen
Pemilihan Lurah

Pemilihan Lurah

KEMARIN sore, Badik menerima sebuah pesan singkat dari Ripai: Badik, segera ke rumah! PENTING. Ini kali kedua Badik mendapatkan pesan singkat dari pamannya itu. Dua tahun lalu—Badik masih mengingatnya dengan terang, pesan yang hampir serupa mampir di gawainya: Badik, segera ke penjara! PENTING. Dari balik jeruji yang memisahkan tahanan dengan pengunjung, Ripai menemui Badik dengan alis yang menyatu dan tangan serupa batu, “kau tahu siapa yang membawaku kemari?”

“Samsul,” jawab Badik.

“Cerdas!” Ripai tersenyum. Badik, dengan hati-hati, membalas senyumnya. Badik sudah lama mengamati Samsul—yang bekerja sama dengan seorang pengusaha, mengirim Ripai ke bui demi menjadi lurah. Jika dibiarkan bebas, Ripai memang dengan mudah melenggang berkuasa kembali di Karanggeneng.

“Samsul tengik! Anak tak tahu diuntung! Kalau bukan karena aku, tidak mungkin ia punya rumah dan kerjaan sekarang! Ia tidak tahu siapa Ripai. Dia kira kakaknya ini akan habis ketika masuk penjara. Kau tahu sendiri pamanmu ini kan?” Ripai menyorongkan kepalanya sambil mengangkat alis. Badik hanya menatap balik dengan mengangguk.

“Kau harusnya bangga memiliki paman seorang lurah,” Ripai tergelak sendiri, padahal, bagi Badik, tak ada yang lucu dari kesombongan.

“Pilkades nanti, Janatin akan kupasang!” ucap Ripai dengan urat-urat leher yang menegang. Matanya menatap tajam ke depan dengan bibir yang menyeringai. Dengan kuat, tangannya masih tergenggam mengepal.

Bulan sedang bersinar lembut ketika Badik melangkah menuju rumah Ripai. Si tuan rumah telah menunggu di teras yang menghadap pekarangan luas dengan pohon-pohon mangga yang berjejer-jejer. “Kau telah kutunggu sejak kemarin!” ucapnya saat melihat Badik telah memasuki halaman. Badik mengekor Ripai ke dalam rumah. Memasuki sebuah kamar, Badik melonjak dan terbelalak. Di depannya, Ripai menunjuk enam rak lemari besi penuh tumpukan merah-merah uang kertas. Ini pertama kalinya Badik melihat uang sebanyak itu.

“Atur semuanya! Keparat itu harus mengemis dengan tangis!” tegas Ripai.

Badik masih berdiri mematung. Di kepalanya, pertanyaan-pertanyaan saling bertubrukan. Ia masih tidak percaya Ripai benar-benar nekat. Seperti dugaannya, Ripai terlalu sesumbar. Kebencian telah benar-benar membuatnya kalap. Benar kata orang-orang: Ripai masuk gelanggang bukan demi kemenangan tetapi gejolak balas dendam.

“Dua lembar untuk satu orang. Tiga kotak amplop sudah disiapkan Janatin di belakang,” kata Ripai sambil menyalakan rokoknya, “kalau ia gagal menang, nyawamu akan melayang.” Terbersit nada tak main-main dari ancaman Ripai. Ia tak segan untuk membunuh lawan atau bahkan kawan politiknya. Jeruji besi adalah buktinya.

Sungguh bodoh jika ia menolak tawaran Ripai saat ia benar-benar butuh uang demi melunasi hutang dan operasi anaknya. Tetapi, kemungkinan bibinya menang sangatlah kecil meski bermodal besar. Kepala Badik berputar-putar. Strategi Ripai tidak akan bekerja, ia harus cari strategi lain. Hanya satu hal yang Badik ingat: tiga kamar kosong di samping lapangan desa. Terpencil, sempit, sepi dan tak ada orang sudi ke sana. Kamar-kamar berubah suwung setelah ditinggalkan para pemain akademi bola sejak Felix, pelatih bola Karanggeneng dari Kupang, pulang kampung.

Pendingin ruangan di rumah Ripai tak mampu menahan butir-butir keringat yang bermunculan di balik kemeja Badik. Kedua telapak tangannya telah basah. Sebagai pendamping desa yang tiap hari bertugas berkeliling dari rumah ke rumah, Badik cukup was-was. Selain karena Janatin—seperti yang ia kenal–tidak cukup cakap jika sudah terpilih, dua peristiwa terakhir akibatnya. Sebulan lalu, pesta narkoba di rumah Ripai yang didalangi oleh Aldi, anak Ripai, digrebek polisi. Penggrebekan itu menjadi perbincangan penduduk selama berhari-hari di pasar-pasar, warung-warung, pos-pos ronda dan pematang-pematang sawah. Seminggu sebelumnya, Ripai dibuat berang oleh ulah Asri. Adik Aldi itu pulang tidak dengan gelar sarjana, tetapi dengan perut membesar mengandung bayi. Berita menyebar. Warga berkasak-kusuk. Kepercayaan kepada Janatin tergerus. Alasan moral berbasis agama tentu sangat cukup membuat orang-orang untuk tak memilih Janatin: ibu tak becus, anak-anaknya tak berakhlak, keluarga bejat, dan lain-lain.

“Sebar sebanyak mungkin! Jangan sisakan selembar pun!” Ripai menatapnya tajam sambil menghembuskan asap. Bagi Ripai, naluri bertarungnya berkata: uang enam rak adalah jalan mulus bagi kemenangan Janatin dengan syarat harus dilempar pada saat-saat yang tepat. Tidak mudah memang mengembalikan kepercayaan yang surut, tetapi Ripai percaya duit dapat memulihkannya.

“Kepercayaan akan didapat ketika duit telah digenggam,” Ripai meyakinkan Badik. Tetapi, Badik tetap tidak yakin dengan strategi Ripai.

***

Seorang laki-laki menyambut tiga orang yang masuk ke ruang tamu rumahnya dengan pertanyaan menuntut. “Ada kabar terbaru?”

“Kemarin, mereka membagikan seperangkat sembako—beras, minyak dan gula. Banyak sekali. Entah berapa kali mobil pikep bolak-balik keluar rumah Ripai. Kader-kadernya keluar masuk rumah warga. Meringankan dampak wabah, kata mereka,” seloroh pemuda bertopi sambil melempar pantatnya ke kursi.

“Anjing! Kampanye ya kampanye, kok bilang menolong segala,” umpat lelaki berjaket hijau, “strategi mereka hanya satu: keluarkan duit, duit dan duit!” 

Seorang lelaki berlesung pipi nampak lebih tenang. “Memang benar apa kata Abah Sul kemarin. Strategi Ripai dari tahun ke tahu akan tetap sama. Lumbung-lumbung suaranya terpusat pada dua jalur. Sebagai salah satu pendiri sekaligus donatur tetap yayasan Darul Ma’rifah, tentu pengurus, guru, murid sekaligus keluarga-keluarga diarahkan untuk mencoblos Janatin. Orang-orang Perumahan Karanggeneng Indah juga tentu masih mengingat jasa Ripai sebagai pembuka pemukiman itu. Sepertinya, Ripai juga sudah menyiapkan dana besar untuk serangan fajar.”

“Aku tak menerima kata kalah!” tegas Samsul sambil menggebrak meja.

Samsul menghembuskan nafas berat. Melawan kakaknya sendiri bukanlah hal yang ia inginkan. Dana Ripai tak bisa ia tandingi. Tetapi, bubur tidak bisa kembali menjadi nasi. Untung, wabah datang mengulur pilkades. Semakin lama pemilihan ini diundur, Ripai akan terus menerus kehabisan uang. Masyarakat juga semakin bingung dan gamang. Di sisi lain, ia bisa memanfaatkan penanganan wabah ini sebagai ladang suara sekaligus sumber uang. Ia dapat menyalurkan bantuan hanya kepada orang-orang yang berjanji akan memilihnya kelak. Ia juga bisa memainkan pengadaan bansos untuk bom fajar di hari pemilihan.

“Abah Sul,” lelaki berjaket hijau menyela lamunannya, “kira-kira sawah ganjaran akan dibeli berapa oleh perumahan?”

“Sepetak satu miliar. Dua puluh petak, dua puluh miliar,” jawab Samsul. Ia sudah membayangkan jika ia menang pilkades ini, ia akan mendadak kaya. Tentu, sebagai lurah, ia memperoleh hak guna sawah. Kelak, ia akan menjualnya kepada pihak developer dan membeli sawah dengan ukuran yang sama di daerah pinggiran, tentu dengan harga lebih murah.

“Tak heran, Ripai mau keluar banyak. Siapa yang tidak tergiur dengan sawah ganjaran yang sudah pasti akan dibeli perumahan, ha?” celetuk pemuda bertopi.

Samsul mengisyaratkan agar ketiganya mendekat. “Kalian tahu Aldi dan Asri?” Samsul mengitari ketiga pemuda di depannya dengan pandangan menyelidik. Ketiganya mengangguk bersamaan. Samsul berbicara lirih, lirih dan semakin lirih. Seperti kedatangan seorang lelaki yang nyaris tak bersuara.

“Kalau tidak bisa meraih suara, kita gerus terus suara Janatin. Hanya ada satu kata yang kuinginkan: menang. Titik.”

***

Hari ini pemilihan kepala desa Karanggeneng digelar. Selain para pendukung calon dan para penjudi, tidak banyak orang yang peduli siapa nanti yang akan melenggang menjadi lurah mereka. Toh, selama ini, sungai cukup besar yang membelah desa tetap mengakibatkan banjir. Pembangunan drainase dan got untuk mengurai luapan air yang sudah direncanakan sejak sepuluh tahun lalu tak pernah terwujud. Jalan desa tetap berlubang-lubang tanpa perbaikan. Kesulitan penghidupan akibat pandemi lebih menyita pikiran mereka. Kasak-kusuk tentang Ripai atau Janatin atau Samsul hanyalah pelarian sejenak untuk lepas dari himpitan hidup. Terlebih, amplop-amplop putih yang beredar adalah rejeki yang hanya bisa didapat lima tahun sekali.

“Kau dapat berapa?”

“Kemarin malam, Samsul memberi lima puluh ribu.”

“Lewat Badik, Janatin kasih seratus ribu tadi pagi.”

“Ha? Kosong, Bos. Belum dapat jatah ini!”

“Cepat kau hubungi Badik, sejak subuh tadi, ia membagikan seratus ribu per kepala.”

Di dalam kamar kosong di dekat lapangan desa, Badik menjalankan strateginya. Tidak seperti perintah Ripai, ia hanya menyebar selembar per kepala kepada segelintir orang. Di sampingnya, tergeletak dua koper penuh berisi uang. Berjejer dengan mayat Ripai yang terbujur kaku. Dengan nafas tersengal-sengal, Badik mengingat hutang-hutang, biaya operasi anaknya dan kata-kata Samsul ketika bulan sedang bersinar lembut, “Bagianmu tiga puluh persen dari sawah ganjaran. Ripai pasti hanya memberimu sepuluh persen.”[]


Penulis

M. ROSYID H.W, mahasiswa Kajian Sastra dan Budaya, Universitas Airlangga. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media masa seperti Jawa Pos, Malang Pos, Solo Pos, Radar Malang, dan lain-lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *