
Puisi Iswadi Bahardur
Riwayat Surga
Pada taman ingatan
kau menghukum takdir
sejak Dia mengusir ular dari surga
Tapi busur panahku kunfayakun
tiada lelah kuraut dengan pisau lidahmu
tirakatku pohon ketabahan
dalam perjalanan musafir mencari kitab damai
Menggenggam nasib
Tuhan memperjalankan abadku di terik gurun pasir
kuseru kau kuseru persuaan
Hawa, datanglah tapi jangan bersama ular
mereka mengotori sebilah tulang rusuk
kutitip pada kelahiran takdirmu
Mari genapkanlah jalan ini
kubawakan kerinduan dalam pesan-Nya
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
Kau Hawa aku khilafah
**
Padang, 2020
Aroma Kapur dari Barus
Haburuan
kisah purba mencatat kau
tubuh-tubuh pohon negeri Lobu Tua
Penjelajah peta menamai rahim asalmu Laurel Kamper—cemara menjulang kuna
mengalirkan surga bagi napas-napas di Loemoet dan Hoeraba
bila musim kelahiranmu tiba
berkuintal-kuintal nasib baik mengucur dari nadi tubuhmu
pejal tangan perajin menyulap licin air tubuhmu
menjelmakan putih nan kristal
kapur dari Barus kau dinamai
Maka berlayarlah kau ke seberang pulau-pulau
menghantar pikat wangi
sihir pikatmu merentang kuasa dari Mongol hingga keabadian raga Firaun
Gema namamu memanggil-manggil pelaut Timur datang menghidu sejarah
mabuk hasratnya merampas kuasa rahim asalmu
dilarikannya rekah aromamu ke dalam kuali kari
kini sisa jejak wangimu saja di Papan Tinggi
**
Padang, 2020-2021
Ke Pulau Barus Ke Lekuk Sejarah
Bila rindu garba sejarah
jejak tanah jiwa kami
Barus berwangi getah kamper
Jika telah sampai tualangmu di Sibolga
berbeloklah, ke barat
saat jam. sampailah jejakmu di Barus.
Sebelum tenggelam disesap wangi cemara
rumpun kemenyan
kenanglah
cerita kanak. ibumu menaruh sebutir kapur
pada lipat buku dan baju-baju
di sana sejarah kami mengendap lelap
Bila telah kau kecap sedap rempah di perut Barus
bacalah riwayat di Papan Tinggi
rumah abadi
Syekh Mahdun
Syekh Ibrahim
Syekh Badan Batu
mengabarkan pituah
Di sini.Papan Tinggi menunggu kau petualang
jajal 730 jenjang pituahnya
rengkuh puncaknya sejarah
nun 215 meter bukit purba mengangkang dunia
jika kau lelah, kami hidangkan seguci air tanpa jeda
**
Padang, Agustus, 2020
Anjing-anjing di Beranda
Anjing-anjing berkerumun membaca kisah
cinta terserak di jalan menuju kamp pembantaian
Gonggong menjalar jauh ke persidangan
tersungkup dalam kepala hakim botak
Anjing-anjing berkerumun di beranda
menulis kisah anak-anak belajar cara menembak ibunya
dari horor di kamar-kamar televisi
**
Padang, 2020-2021
Berburu Nasib
Pancaroba telah usai
burung-burung melayah menemu rimbun dahan
bercinta. pohon-pohon gugurkan daun tua
pucuk-pucuk cemburu rindu dihidu angin syahdu
Buah memutik menanti degup syur pori kulit
menuju ranum
petiklah hidup pada jantung kami wahai juru bumi
**
Padang, 2021
Anjing-anjing Menggonggong Walau Suaranya Batuk Berdahak
Mereka datang dari dalil-dalil tak berkitab
Menghampar di sajadah tak bertuan
diriwayatnya segala dosa adalah kegagalan gonggong
mengutuk ngeri musafir padang kembara
Pada musim matahari merelakan kaki
menggelinding lambat ke bujur timur
para berhala dari dalil tak berkitab memainkan gambus
senar rumpang
zapinnya liuk lenggok menipu abad
Anjing-anjing di kepala mereka terus menyalak melempar gonggong
kutipu suara Tuhan kutenung jejak Tuhan
Berhala-berhala makin berkepala anjing
menggonggong dengan suara batuk berdahak
Di ujung langit Tuhan merentak
gunung bergetar lelangit runtuh
**
Padang, 2021
Ujung
Dalam perpisahan
kau sesap segenap ingatan silam
napas menjelma kosong
mata menjelma lamur
kabut-kabut merundung jendela
rintik gerimis menggigil dada
di sudut kamar
sisa sedap parfummu membius luka
**
Padang, 2021
Migrasi Nasib
Kau hantar suhu tubuhku
ke medan pertempuran merebut gravitasi
tubuhmu dari Rahwana
pedang asmara
kukulit rumus relativitas semula mendarah
di sendi
Telah kumenangi perang di padang Kurusetra
kuserahkan senjata nun birahi cinta ke singgasana jantungmu
“mari kita hapus riwayat teori relativitas,” bisikmu dalam perjalanan
pensucian ke sungai Gangga
“Akulah tempat pulang dari migrasi nasib,” bisikmu menuntun tanganku
mengiris apel perawan di garis tangan
Darahku mabuk candu dari matamu
kuhapus siluet wajah Tuhan murung menjelang magrib
Gravitasi pada tubuhmu ternyata hukum timbal balik bersifat negatif
kini kau bermigrasi dengan teori konspirasi
aku tinggal dalam unggun waktu, dalam racun rayu
**
Padang, 2021
Penulis

Iswadi Bahardur menetap di kota Padang, Sumatera Barat.Selain menulis puisi dan prosa, juga bercatat sebagai dosen di STKIP PGRI Sumatera Barat. Buku cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Menunggu Damar. Novel-novel digitalnya dapat dibaca di platform Novelme.Catatan memoar dan kisah inspiratifnya terhimpun dalam buku Memoar Guru Berprestasi dan Allah Tahu Kita Mampu. Dia dapat dijumpai melalui instagram @adhi_trusardi dan facebook Iswadi Bahardur Adhi.