Esai
Solilokui Kematian Narasi Budi Darma

Solilokui Kematian Narasi Budi Darma

PENGAKUAN Budi Darma dalam pengantar Orang-Orang Bloomington (Penerbit Sinar Harapan, 1980) tak pernah saya lupa. Ia memberi judul “Mula-mula adalah Tema”. Saya senantiasa mengingat pernyataannya bahwa yang diperjuangkan setiap pengarang hakikatnya adalah tema. Yang lain-lain, seperti bahasa, plot, karakterisasi, hanya untuk mendukung tema. Karena itu, sesungguhnya, ia melakukan obsesi objek yang suntuk. Ketika ia menuangkan ide cerpennya seolah-olah ditulis di luar kesadarannya. Ia menjadi objek dari kekuatan yang berada di luar pengawasannya sendiri. Menulis, baginya, merupakan proses keterbiusan.

Kekuatan lain cerpen-cerpen Budi Darma, dalam pengamatan Bakdi Soemanto, adalah kekuatan karakterisasinya. Bakdi Soemanto megatakan bahwa  Budi Darma menjabarkan karakterisasi dari sekian banyak segi, seolah-olah sebagian besar tenaga dalam cerpen itu dikerahkan untuk menggarisbawahi karakterisasi.

Yang diperjuangkan Budi Darma pada hakikatnya adalah tema. Bahasa, struktur narasi, dan karakterisasi hanyalah untuk mendukung tema. Kesadaran lain yang tak kalah menarik dalam penciptaan cerpen Budi Darma adalah menulis merupakan solilokui. Ia menulis dengan kepribadian wawasannya. Kematangan kepribadian wawasan inilah yang menuntun pengarang untuk  mencipta cerpen dengan unsur-unsur narasi yang memikat.

***

Di antara tema-tema yang menjadi obsesi cerpen Budi Darma adalah kematian. Dalam antologi Laut Biru Langit Biru (Pustaka Jaya, 1977) yang disusun Ajib Rosidi, Budi Darma sudah berobsesi pada maut, kematian yang dikembangkan sebagai struktur narasi dalam cerpen “Secarik Surat”. Ia tak memandang kematian sebagai suatu peristiwa kelam, menakutkan, dan mencekam. Melalui karakter yang dikembangkan dengan melakonkan tokoh seorang prajurit berpangkat paling rendah yang mati dalam melaksanakan tugasnya sebagai kurir dalam pertempuran, Budi Darma menyampaikan sugesti bahwa kematian sebagai sebuah peristiwa yang berwarna indah.

Dalam cerpen “Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu” yang dimuat dalam antologi Horison Sastra Indonesia 2: Kitab Cerpen (Horison, 2002) menampakkan solilokui Budi Darma terhadap narasi kematian yang tampak  kelam, keji, dan tak terduga. Ia menarasikan kematian yang terjadi karena pembantaian tokoh yang berjiwa iblis. Tema yang absurd menghadirkan tokoh dengan karakterisasi dan struktur narasi yang tak dapat dinalar. Kematian pun hadir dalam sebuah misteri.

Absurditas mewarnai kebanyakan cerpen Budi Darma. Terutama dalam tiga cerpen terbaik Kompas, “Derabat”(1999), “Mata yang Indah” (2001), dan “Laki-laki Pemanggul Goni” (2013), solilokui kematian itu tampak kelam, menjadi pertaruhan ambisi, dan takdir. Tokoh-tokoh bergerak dalam struktur narasi yang tak terduga. Tampak ia mencipta cerpen dalam proses keterbiusan imaji. Budi Darma menghadirkan pertikaian antartokoh yang mempertaruhkan nasib hidup mereka. Peristiwa-peristiwa tak terduga silih berganti menghantam tokoh-tokoh kisahnya, dengan pergulatan fisik, sosial, dan spiritual yang keras, berakhir dengan kematian.

Cerpen “Derabat” memunculkan konflik antara tokoh Matropik, seorang berhati iblis, berperilaku kejam, suka menyiksa, membunuh binatang buruan, dan cara makannya pun rakus. Kekejian tokoh Matropik lebih dipertajam lagi dengan perilakunya yang suka mabuk, meneriakkan kata-kata kotor, cabul, menjijikkan, suka telanjang, mengejar-ngejar perempuan. Eksplorasi tokoh tak hanya berhenti sampai di situ. Ia mengisahkan Derabat, seekor burung jahanam, sangat besar, sangat hitam, sangat cekatan. Matanya menyorotkan sinar jahat, nafsu mencuri, merusak, mencelakakan siapa pun. Bermula dari pertikaian dua tokoh penjelmaan iblis inilah Budi Darma mengembangkan struktur narasi yang mengarah pada pembantaian. Motif ini serupa benar dengan akhir cerpen “Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu”, yakni dua iblis yang saling membinasakan.

Melalui  karya “Mata yang Indah”, Budi Darma mengisahkan tokoh dengan karakter yang unik, menyimpang dari kelaziman, irasional. Ia menghadirkan tokoh Haruman yang diminta ibunya melakukan pengembaraan untuk mencari pengalaman. Seekor burung menyerang mata Haruman, dan ia bisa menyelamatkan diri. Ketika Haruman pulang dari pengembaraannya, ia menemukan ibunya menjelang meninggal. Aroma kematian menjadi solilokui pengarang yang memberi kesadaran transenden pada pembaca.

“Laki-laki Pemanggul Goni” merupakan cerpen Budi Darma yang paling pekat warna kematiannya. Tokoh Karmain menyaksikan laki-laki pemanggul goni yang selalu mengawasinya. Tokoh  laki-laki pemanggul goni menjadi daya tarik struktur narasi cerpen. Kali ini struktur narasi menyentuh sisi spiritualitas, bahkan religiusitas. Ia tak lagi mencipta tokoh-tokoh agnostik yang sekuler. Religiusitas menjadi motif yang dimanfaatkan Budi Darma  untuk mengembangkan kisah yang diakhiri dengan situasai di ambang kematian yang dialami Karmain. Lelaki pemanggul goni berperan sebagaimana malaikat maut yang hendak mencabut nyawa Karmain.  

Cerpen “Laki-laki Pemanggul Goni” ini menyentuh pertanggungjawaban akan religiusitas Budi Darma, yang mulai menyentuh kesadaran ritual beragama. Tokoh Karmain terlibat dengan pertanggungjawaban moral, adab, dan tabiat manusia – sesuatu yang jauh bergeser dibandingkan saat ia mencipta novel Olenka  dan kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington. Ia  melakukan solilokui dengan religiusitas dan kematian. 

***

Dalam antologi Langit Biru Langit Biru, Ajib Rosidi menyebutkan bahwa Budi Darma merupakan salah satu sastrawan dekade tujuh puluhan sebagaimana Putu dan Danarto yang mencipta cerita dengan mengabaikan alur cerita, logika, tema, dan menghanyutkan diri kepada gaya yang menyebabkan pembaca terpukau membacanya sampai habis – tak peduli apakah kisahnya sendiri masuk akal atau tidak. Batas antara kenyataan dan impian tidak lagi jelas, dan cerita menjadi rentetan imaji-imaji yang tempel-menempel – bukan sambung-menyambung – kelihatan menjadi mosaik. Yang dikehendaki para pengarang dengan bentuk cerita semacam itu seakan-akan hanyalah pencapaian keindahan komposisi ornemen itu secara estetis.

Proses penciptaan Budi Darma memang kadang terjadi pergeseran. Beberapa kritikus sastra menyesali pergeseran obsesi pada dunia metafisika, dengan berkelebatnya pikiran, solilokui. Akan tetapi, sesungguhnya, satu hal yang tak pernah bergeser dari penciptaannya adalah cara Budi Darma menghanyutkan diri pada gaya bercerita dalam komposisi mosaik. Termasuk cerpen terakhirnya di Kompas, 4 Juli 2021, “Kematian Seorang Pelukis”, Budi Darma melakukan solilokui tentang maut dalam struktur narasi yang tempel-menempel, bukan kisah yang disusun secara linier berkelindan. []


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan  program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.   

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *